Warisan Sunan Gunung Jati tetap hidup hingga kini, termasuk menghargai perbedaan. Bersama itu, Cirebon masih berjuang mengembalikan kejayaan.
Terik mentari di kota pesisir Cirebon, Jawa Barat, Kamis (26/9/2019), meredup saat Suljani (60) memasuki lorong kecil Masjid Jagabayan di RW 009 Panjunan. Masjid yang berusia 500 tahun lebih itu menjadi penanda peradaban Islam di Panjunan.
Dulu, masjid yang dibangun Pangeran Jagabayan itu menjadi batas bagian utara Dalem Agung Pakungwati, awal Keraton Cirebon. Kini, meski berada di antara kepungan toko, supermarket, dan mal, masjid itu masih kerap dikunjungi peziarah hingga peneliti.
”Banyak yang datang kepada saya untuk ingin tahu masjid itu. Saya antar mereka bertemu kuncen yang lebih paham,” kata Suljani, keturunan Tionghoa yang dipercaya menjadi ketua RW di Kampung Arab itu sejak 2008. Soal keamanan, lingkungan, hingga posyandu di daerahnya, Suljani bisa menjelaskan. Namun, soal Masjid Jagabayan, ia serahkan kepada Muhammad Faozan, kuncen masjid.
Begitulah secuil interaksi warga berbeda agama dan budaya di Panjunan. Dihuni 90 keluarga, warga RW 009 punya latar belakang beragam: keturunan Tionghoa, Arab, Jawa, Sunda, hingga India. Suljani lebih senang menyebut ”wong (orang) Cirebon”. Mata sipit, hidung mancung, kulit putih atau sawo matang, semua fasih bahasa Cirebon.
”Tak ada pesan khusus dari orangtua tentang keberagaman. Kami yang berbeda agama dan budaya sejak kecil sudah main bareng,” kata Suljani yang membuka usaha jamu. Sebagai keturunan Arab, Ketua RW 005 Panjunan Zaki Mubarak (59) juga tak mempermasalahkan hidup berdampingan dengan warga lain. Di wilayahnya, 40 persen dari 180 keluarga keturunan Arab, lalu Tionghoa, Jawa, dan Sunda.
Melahirkan kuliner
Keberagaman budaya dan agama itu melahirkan nikmat kuliner legendaris. Mi koclok Panjunan di Jalan Pekarungan yang berdiri lebih dari setengah abad salah satunya.
Pengunjung menikmati mi bertabur bawang goreng, kuah kental dari sagu, dan irisan daging ayam. Bersama makanan khas Cirebon lain, seperti nasi jamblang hingga docang yang kaya bumbu dan bahan masakan, semua itu bukti keberagaman nikmat di lidah. Saat bersamaan, menarik wisatawan untuk datang.
Docang dan nasi jamblang terkait erat dengan Sunan Gunung Jati. Kabarnya, docang merupakan sisa makanan para wali yang disantap masyarakat dengan harapan dapat berkah. Ada juga pendapat docang masakan Ki Gede Bungko atas permintaan Sunan Gunung Jati.
Adapun jamblang berawal dari akhir abad ke-14 ketika pembangunan Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Saat itu, pekerja mengambil serpihan kayu dari jamblang untuk masak nasi. Beda lauk menggambarkan keberagaman etnis Cirebon. ”Di sini, makanan Cirebon, Timur Tengah, atau China ada semua,” ujar Zaki, yang membuka warung makan Padang.
Tata kota
Nama besar Sunan Gunung Jati tak bisa lepas dari perayaan bagi keberagaman di Kota Cirebon. Sebagai salah satu wali sanga atau ulama besar penyebar agama Islam di tanah Jawa, perannya besar membentuk warga hidup berdampingan meski beda latar belakang. Sunan Gunung Jati memimpin Cirebon tahun 1479-1568.
Menurut pengamat sejarah Cirebon, Mustaqim Asteja, keturunan Tionghoa dan Arab diberi tempat di bagian utara Keraton Pakungwati yang kini menjadi Keraton Kasepuhan. Alasannya, antara lain, dekat laut yang menjadi pintu masuk para pendatang. ”Ini juga untuk memudahkan perdagangan. Saat itu, Cirebon merupakan kota pelabuhan bagi sejumlah negara,” katanya.
Dari sisi arsitektur, Sunan Gunung Jati juga arsitek andal. Jejaknya terlihat dari tata letak Keraton Kasepuhan di sisi selatan, Masjid Sang Cipta Rasa di sisi barat, pasar di utara. Di tengahnya, alun-alun luas. ”Letak alun-alun di tengah menyimbolkan pusat kekuasaan di rakyat. Dua pohon beringin simbol raja mengayomi,” ujar Kepala Bagian Pemandu Keraton Kasepuhan Cirebon Raden Muhamad Hafid Permadi.
Mengutip manuskrip ”Suma Oriental” (1513-1515) karya Tome Pires, Pelabuhan Cirebon termasuk terbesar di Pulau Jawa dan masuk peta Asia. Manuskrip China, ”Shun-Feng Hsiang-Sun”, disusun tahun 1430 juga mencatat instruksi jalur pelayaran dari Shun-t’a (Sunda Pajajaran) ke arah timur menuju Che-Li-Wen (Cirebon).
Kini, pelabuhan itu masih ada, sekitar 2 kilometer dari Keraton Kasepuhan dan didominasi bongkar muat batubara. Namun, tak banyak aktivitas lain. Kedatangan kapal pesiar terganggu infrastruktur minim. Kini, revitalisasi pelabuhan dirancang. Mimpi harapan kejayaan Cirebon dibangun lagi dari pesisir. (ABDULLAH FIKRI ASHRI)