Penerbitan Perppu KPK bisa menjadi pilihan rasional di tengah kondisi politik saat ini. Sikap fraksi di DPR relatif masih beragam menyikapi wacana perppu.
JAKARTA, KOMPAS— Peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau perppu terkait Komisi Pemberantasan Korupsi diyakini bisa menjadi pilihan alternatif yang rasional di tengah situasi politik saat ini. Kajian untuk mempertimbangkan penerbitan perppu dan juga pembahasan kontennya perlu dilakukan secara inklusif dengan melibatkan pemangku kepentingan.
Suasana kondusif perlu dijaga menjelang hajatan besar ketatanegaraan Indonesia, yakni pelantikan anggota DPR, DPD, dan MPR periode 2019-2024 pada 1 Oktober 2019. Agenda itu akan diikuti pelantikan presiden-wakil presiden pada 20 Oktober.
Peneliti politik senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Mochtar Pabottingi di Jakarta, Jumat (27/9/2019), menyampaikan, Perppu UU KPK bisa berdampak positif bagi kondisi masyarakat saat ini. ”Itu yang kemarin menjadi salah satu sumber kekecewaan dari masyarakat,” ujarnya.
Sepekan terakhir, gelombang unjuk rasa mahasiswa dan elemen masyarakat di Jakarta dan juga di sejumlah daerah salah satunya mendesak pembatalan revisi Undang-Undang KPK yang sudah disahkan DPR.
Presiden Joko Widodo, setelah bertemu dengan sejumlah tokoh, menyatakan akan mempertimbangkan mengeluarkan Perppu KPK (Kompas, 27/9/2019). Perppu menjadi salah satu opsi yang dikaji Presiden Jokowi. Opsi lain ialah revisi UU KPK oleh badan legislatif dan uji materi di Mahkamah Konstitusi.
Ketiga pilihan itu juga pernah Presiden Jokowi sampaikan saat mengumpulkan sukarelawan pendukungnya pada Pemilu 2019 di Istana Merdeka, kemarin. ”Presiden bertanya kepada kami sebagai pendukungnya, kalau beliau ambil salah satu opsi, apakah akan didukung? Kami menyampaikan kami siap mendukung,” kata Sekretaris Jenderal Seknas Jokowi, Dedy Mawardi, setelah pertemuan.
Syarat perppu
Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Sunanto menuturkan, perppu merupakan satu-satunya jalan untuk meredam gelombang protes masyarakat. Dia khawatir, jika Presiden Jokowi tak segera menerbitkan Perppu KPK, kondisi bangsa akan semakin buruk. Gelombang unjuk rasa bisa membesar karena tuntutan publik tak kunjung dipenuhi.
Ketua Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari menuturkan, Mahkamah Konstitusi dalam putusan tahun 2005 mengatur rinci syarat-syarat tertentu dikeluarkannya perppu. Pertama, keadaan masyarakat yang memaksa untuk segera dikeluarkan aturan. Kedua, kekosongan hukum atau ada hukum, tetapi tidak menyelesaikan masalah. Ketiga, proses legislasi biasa perlu waktu yang panjang untuk menghasilkan aturan itu.
Menurut Feri, tiga kondisi itu telah terpenuhi jika melihat suasana kini dan bisa masuk kategori mendesak.
Terkait konten perppu, muncul beberapa alternatif di kalangan pakar hukum tata negara. Ada usulan yang lugas membatalkan revisi UU KPK. Namun, ada pula alternatif lain, seperti perppu masih mengakomodasi sebagian konten revisi UU KPK, tapi tak sampai membuat KPK sulit bergerak.
Soal kalkulasi hal yang hendak dilakukan Presiden Jokowi, pengajar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti, menganggap hal itu wajar agar Presiden tidak berhadap-hadapan secara keras dengan DPR nantinya. Sejumlah hal yang muncul dalam revisi UU KPK yang sudah disahkan bisa dipertimbangkan masuk perppu.
Dia mencontohkan, salah satunya kontrol Dewan Pengawas bisa dipertahankan. Namun, peranannya tidak masuk ke ranah pro-yustisia. ”Fungsinya pengawasan saja dan persoalan etik,” kata Bivitri.
Beragam tanggapan fraksi
Sikap fraksi di DPR relatif beragam menyikapi langkah Presiden Jokowi mempertimbangkan penerbitan Perppu KPK. Sebagian besar anggota dan pimpinan fraksi di DPR yang ditanya mengaku belum bisa bersikap karena, kalaupun Perppu KPK dikeluarkan, hal itu akan dibahas DPR periode 2019-2024.
Sekretaris Fraksi PDI-P Bambang Wuryanto menilai Presiden tidak seharusnya mengeluarkan Perppu KPK. Ia menjelaskan, jika ada pihak yang tidak setuju dengan revisi UU KPK, sebaiknya mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Menurut Bambang, Presiden memiliki hak untuk mengeluarkan perppu, tetapi DPR juga memiliki hak apakah nantinya akan menerima perppu tersebut atau tidak. Fraksi PDI-P akan membahas secara internal jika perppu itu diterbitkan.
”Kami menghargai pertimbangan Presiden untuk mengeluarkan perppu. Namun, revisi UU KPK ini belum dijalankan. Sebaiknya kita nikmati dulu prosesnya karena revisi UU KPK memiliki tujuan yang baik,” kata anggota Komisi III dari Fraksi PDI-P, Arteria Dahlan.
Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan mengatakan, dirinya menghormati sikap Presiden yang ingin mengeluarkan Perppu KPK. Menurut dia, pemerintah dan DPR juga akan mendengarkan aspirasi mahasiswa.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP, Arsul Sani, tidak mempermasalahkan jika Presiden Jokowi menerbitkan Perppu KPK. Menurut dia, perppu tersebut bukan berarti membatalkan semua aspek dalam revisi UU KPK. ”Bisa jadi perppu dikeluarkan hanya untuk memperbaiki pasal-pasal tertentu yang dipermasalahkan masyarakat,” katanya.
(REK/DVD/SHR/NTA/IAN/INA)