Randi dan Yusuf Kardawi, mahasiswa Universitas Halu Oleo, Kendari, meninggal karena tembakan peluru tajam dan pukulan benda tumpul di kepala dalam unjuk rasa lalu. Presiden menegaskan lagi jangan ada tindakan represif.
Oleh
·3 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Mahasiswa Universitas Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara, Randi, meninggal karena tembakan peluru tajam yang mengenai dadanya. Sementara itu, Yusuf Kardawi, mahasiswa Universitas Halu Oleo lainnya, meninggal karena luka di kepala akibat pukulan benda tumpul.
Di tengah keprihatinan atas munculnya korban ini, aparat Polda Metro Jaya menjemput musisi Ananda Badudu pada Jumat (27/9/2019) dini hari dari tempat kosnya. Sekitar enam jam sebelumnya, polisi juga menjemput jurnalis Dandhy Laksono dari rumahnya. Dandhy telah dipulangkan dengan status tersangka ujaran kebencian, sementara Ananda dipulangkan dengan status saksi.
Presiden Joko Widodo, Jumat, kembali menegaskan agar tidak ada tindakan represif.
Presiden juga menyampaikan dukacita atas meninggalnya Randi dan Yusuf, dua peserta unjuk rasa di kantor DPRD Sulawesi Tenggara untuk menuntut pembatalan sejumlah rancangan undang-undang (RUU) kontroversial pada Kamis lalu.
”Semoga yang diperjuangkan ananda Randi dan ananda Yusuf menjadi kebaikan bangsa ini dan mendapatkan tempat mulia di sisi-Nya,” kata Presiden. Presiden meminta ada investigasi menyeluruh terhadap kasus itu.
Terkait hal itu, Kepala Polda Sultra Brigadir Jenderal (Pol) Iriyanto berjanji akan mengusut kasus ini sampai tuntas. ”Iya benar, (penyebab Randi meninggal) itu dari peluru tajam. Kami masih mendalami kejadian ini,” katanya.
”Jika pelakunya anggota kami, silakan tuntaskan, silakan kawal. Saya akan menyidik dan memproses sebagaimana proses penyidikan sipil. Siapa pun pelakunya akan diproses,” kata Iriyanto.
Menurut Iriyanto, polisi tidak dibekali peluru karet, terlebih peluru tajam dalam mengawal unjuk rasa di DPRD Sulawesi Tenggara. Randi
meninggal pada Kamis sore dan Yusuf meninggal Jumat dini hari.
Putri (23), perempuan yang tengah hamil enam bulan, juga terkena peluru di bagian betis kanan. Kepala Bidang Humas Polda Sultra Ajun Komisaris Besar Harry Goldenhart mengatakan, Putri sedang tidur di rumahnya di Jalan Supu Yusuf, Mandonga, Kendari, yang berada sekitar 2 kilometer dari lokasi unjuk rasa.
Ujaran kebencian
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Argo Yuwono menjelaskan, pemeriksaan terhadap Dandhy dilakukan terkait dengan cuitan di Twitter tentang Papua.
Dua cuitan Dandhy yang diunggah pada Senin (23/9/2019) menggambarkan kondisi tentang Jayapura dan Wamena. Menurut Argo, cuitan itu bisa mengandung ujaran kebencian dan unsur suku, agama, ras, dan antargolongan. Namun, Argo tidak bersedia menjelaskan tentang kalimat ujaran kebencian atau unsur kebencian dari cuitan itu.
Terkait Ananda, menurut Argo, salah satu mahasiswa berinisial N menyebutkan bahwa ada kiriman (transfer) uang Rp 10 juta dari Ananda. N merupakan tersangka penyerangan polisi saat unjuk rasa menolak RUU kontroversial.
Ananda menggalang dana atau urun dana melalui platform Kita Bisa pada Minggu (22/9/2019). Ia pun menjelaskan pada Selasa lalu bahwa dari total Rp 175,6 juta yang terkumpul, telah digunakan Rp 80,1 juta.
Ananda tidak banyak berbicara seusai diperiksa. ”Saya salah satu orang yang beruntung bisa segera dibebaskan. Tetapi di dalam (saat pemeriksaan), saya lihat banyak sekali mahasiswa yang diproses tanpa pendampingan,” ujarnya.
Pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Franz Magnis-Suseno, menuturkan, penjemputan terhadap Dandhy dan Ananda merupakan bentuk kemunduran demokrasi di Indonesia. ”Kebebasan berpendapat dan berserikat itu seharusnya dilindungi oleh undang-undang. Ini jelas ada kemunduran di negara demokrasi,” ujarnya.
Franz Magnis-Suseno mengingatkan, negara tidak seharusnya tampil represif dengan memakai polisi untuk menangkap para pengkritik.
Komisioner Komnas HAM, Beka Hapsara, juga menilai penangkapan terhadap Dandhy dan Ananda bisa jadi preseden buruk bagi demokrasi dan HAM. ”Demokrasi semestinya memberi ruang bagi perbedaan pendapat. Komnas HAM memastikan kawan-kawan kami ini mendapat layanan yang manusiawi dan akses untuk bantuan hukum,” ujarnya.