KENDARI, KOMPAS—Investigasi terhadap pengamanan unjuk rasa yang berujung meninggalnya dua mahasiswa di Kendari, Sulawesi Tenggara, mulai berlangsung. Setelah menemukan tiga selongsong peluru, tim Polri mulai melakukan pemeriksaan internal dan memeriksa semua senjata anggotanya. Pemeriksaan secara menyeluruh diharapkan berlangsung terbuka dan cermat hingga mengungkap pelakunya.
Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Ari Dono Sukmanto, Sabtu (28/9/2019), mengungkapkan, selain memeriksa tempat kejadian, pihaknya juga mulai memeriksa internal kepolisian. Senjata polisi dikumpulkan untuk diidentifikasi dan diperiksa. Hal itu sekaligus untuk mengetahui jumlah amunisinya.
Identifikasi senjata, menurut Ari, penting untuk mengetahui pemakaian senjata di kalangan kepolisian. Sebab, standar operasional prosedur pengamanan aksi tidak membolehkan petugas yang mengawal unjuk rasa mahasiswa menggunakan peluru karet, apalagi peluru tajam. Polisi hanya dibekali tameng, pentungan, water cannon, dan gas air mata.
Ari menegaskan, investigasi mendalam terus dilakukan. Pihak kepolisian akan membuka penyelidikan yang melibatkan berbagai pihak, seperti Komnas HAM, Pemprov Sultra, Ombudsman, serta perwakilan mahasiswa dan kampus. Penyelidikan intensif di tempat kejadian masih dilakukan, terutama di sekitar lokasi dua mahasiswa meninggal.
Di bawah pengawasan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Mabes Polri Brigadir Jenderal Hendro Pandowo, tim dari kepolisian memeriksa Jalan Abdullah Silondae, dekat kantor Disnakertrans Sultra, Sabtu pagi. Lokasi itu merupakan tempat Randi (22) dan Muhammad Yusuf Kardawi (19) roboh. Randi tertembak di ketiak bawah kiri yang tembus di dada kanan, sedangkan Yusuf mengalami luka parah di kepala.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divhumas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo mengungkapkan, selain selongsong, pihak kepolisian juga menemukan satu proyektil peluru kaliber 9 milimeter dari seorang korban lainnya, Putri (23), yang tertembak di bagian betis kanan. Putri saat itu berada sekitar dua kilometer dari tempat kedua mahasiswa yang tewas tersebut. Temuan proyektil akan diuji balistik.
Pelanggaran HAM berat
Ketua BEM Teknik UHO La Ramli mengatakan, mahasiswa terus menginginkan agar kasus ini dituntaskan dalam ranah hukum. Investigasi yang dilakukan, diharapkan juga mengungkap secara gamblang tentang dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi. Selain itu, mahasiswa konsisten menolak aturan yang dinilai bermasalah.
Dihubungi terpisah, ahli patologi forensik di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) Djaja Surya Atmadja, menjelaskan, proyektil yang diduga mengenai Randi itu masih di sekitar tempat kejadian. Sebab, luka yang dialami Randi adalah luka masuk dan keluar, sehingga tidak meninggalkan proyektil di tubuh. ”Artinya itu masih di lokasi. Peluru itu harus ditemukan untuk mengungkap dengan jelas pelakunya. Secara forensik, sejauh ini kita bisa bilang, ada benda dengan kecepatan kuat yang menembus tubuh korban. Analisis residu di tubuh korban melalui luka seharusnya bisa dilakukan, tetapi tidak tahu kalau di sana peralatannya lengkap atau tidak,” ungkapnya. (JAL)