Jiwa Pandu Pertiwi Tetap Hidup Menjaga Negeri
Gerakan kepanduan pernah menjadi wadah menempa karakter generasi muda Indonesia. Lewat aktivitas berkelompok di luar ruang, para pandu menyerap nilai-nilai kebajikan, seperti jujur, setia, suka menolong, gotong royong, dan cinta Tanah Air. Konsep ini masih relevan di tengah maraknya sikap apatis, korupsi, dan radikalisme.
Frans Mardi Hartanto (79) melangkah pelan memasuki Gedung Olahraga Maya Adhi Puri di Kota Bandung, Jawa Barat, Sabtu (14/9/2019). Namun, suaranya lantang saat menyanyikan lagu ”Indonesia Raya” dalam pembukaan Jambore Pandu Tua (JPT) 2019.
Ingatannya juga masih tajam. Jambore itu membawa memorinya melompat ke masa 58 tahun silam. Salah satu fase paling penting dalam lembaran hidupnya saat bergabung bersama Pandu Katolik di Semarang, Jawa Tengah.
”Tidak menyangka bisa berkumpul dengan mantan pandu dari beberapa daerah. Kami berasal dari beragam gerakan pandu, tetapi tetap satu Indonesia,” ujarnya.
Mardi–panggilan akrabnya– datang dengan mengenakan kemeja putih dan celana coklat. Tidak ketinggalan peci hitam dan kacu berwarna jingga dengan lis biru.
Kedua ujung kacunya terikat. Hal itu bukan tanpa makna. ”Ini memang sengaja diikat. Dulu, saat menjadi pandu, kami dipesankan hanya boleh melepaskan ikatannya setelah berbuat baik kepada orang lain,” ujarnya.
Kebaikan yang dimaksud beragam, seperti membantu orangtua, anggota regu, atau masyarakat. Menurut dia, hal itu menanamkan kebiasaan suka menolong di dalam diri pandu.
Mardi bergabung dengan Pandu Katolik pada 1951. Saat itu usianya masih 11 tahun. Kesenangan bermain membuatnya tertarik menjadi pandu karena banyak beraktivitas di luar ruangan.
”Kegiatannya dalam bentuk permainan. Jadi, tanpa disadari sebelumnya, banyak nilai kebajikan diperoleh,” ujar pensiunan Guru Besar Fakultas Teknik Industri Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.
Mardi mencontohkan, dalam permainan mencari jejak, pandu tidak hanya diasah ketangkasannya. Mereka juga dilatih bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu.
Selain itu, permainan menciptakan persaingan antar-regu. Dalam konkurensi itu, pemenang diingatkan tidak sombong, sementara yang kalah ditanamkan untuk berlapang dada menerima kekalahan.
Mardi aktif di Pandu Katolik hingga 1961 saat pemerintah membubarkan gerakan kepanduan. Pemerintah lalu membentuk Pramuka sebagai pembaruan dari gerakan tersebut.
Meskipun sudah dibubarkan, ia menilai konsep kepanduan masih relevan diterapkan. Tujuannya, menempa karakter generasi mudah dengan nilai-nilai kebajikan.
”Nilai-nilai itu lebih gampang diterapkan dalam aktivitas di luar ruang. Namun, sekarang kita dihadapkan pada kenyataan, bermain di luar ruang tidak semudah dulu,” ujarnya.
Filosofi semut
Manfaat aktivitas luar ruang juga dirasakan Uun Harun Syamsuddin (80), anggota Pandu Hizbul Wathan (HW), organisasi otonom Muhammadiyah. Menurut Uun, menjadi pandu tidak hanya dekat dengan masyarakat, tetapi juga lebih mengenal dan belajar dari alam.
Uun masih ingat betul ketika baru masuk Pandu HW di Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 1952. Saat itu ia dan anggota regunya sedang menjelajah alam sejauh 5 kilometer.
Mereka melewati hutan dan perkebunan warga. Namun, di tengah perjalanan, pembimbing regu meminta mereka berhenti dan melihat ke bawah. Banyak semut sedang berjalan membawa makanan.
Meskipun jumlahnya banyak, tak ada semut bertabrakan. Dengan bekerja sama, semut-semut itu dapat membawa makanan yang lebih besar daripada tubuhnya.
”Dari semut kami belajar pentingnya gotong royong dan bersabar mencapai tujuan. Pesan itu masih tertanam sampai saat ini,” ujar pensiunan pegawai Kantor Wilayah Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama) Jawa Barat.
Para pandu juga ditanamkan jiwa cinta Tanah Air. Hal itu terikat dalam Janji Pandu HW. Janji yang tak hanya diucapkan, tetapi juga diamalkan.
Uun dengan lugas menyebutkan dan menjelaskan janji tersebut. Satu dari tiga poin janji itu berbunyi: ”Setia mengerjakan kewajiban saya terhadap Allah, undang-undang, dan Tanah Air”.
”Dalam undang-undang Pandu HW disebutkan untuk menyayangi semua makhluk. Artinya, tidak hanya yang seagama sebab perbedaan itu juga ciptaan Allah,” ujarnya.
Menurut Uun, pembinaan kepanduan sangat tepat untuk menghalau gerakan eksklusivisme. Sebab, pandu selalu diajarkan untuk menerima keberagaman dan menjunjung tinggi kebinekaan.
Ia mencontohkan perbedaan gaya bermain anak-anak zaman dulu dengan sekarang. Saat ini anak-anak lebih sering menyendiri bermain dengan gawai. Hal ini dikhawatirkan membuat mereka terasing sehingga tidak peka dengan lingkungan sekitarnya.
”Kebiasaan seperti itu bisa memupuk individualisme. Ini harus dicegah agar generasi Indonesia ke depan tidak apatis,” ujarnya.
Bagi Bambang Hidayat (85), mantan anggota Pandu Rakyat, kesetiaan menjadi nilai utama dalam gerakan kepanduan. Satu di antaranya setia menjaga kemajemukan Indonesia agar tidak mudah diadu domba.
Sejak masuk Pandu Rakyat di Salatiga, Jawa Tengah, pada 1946, Bambang mulai mendalami semboyan ”Bhinneka Tunggal Ika”. Menurut dia, semboyan itulah yang menyulut semangat persatuan bangsa di tengah kemajemukan agama, suku, dan perbedaan lainnya.
”Jika gerakan kepanduan digencarkan kembali, saya optimistis melihat masa depan Indonesia tetap berbineka,” kata Bambang.
Makna pandu
Meskipun terselip dalam lagu ”Indonesia Raya”, kata pandu dinilai kurang populer saat ini. Jadi, selain bereuni, JPT juga bertujuan mengenalkan kembali makna kata tersebut.
”Pandu itu berarti perintis atau penunjuk jalan. Artinya, seorang pandu harus mampu memberi arah bagi kelompok yang dimpinnya,” ujar penggagas JPT 2019, Darmanto Djojodibroto.
Jambore itu diikuti 120 orang dengan usia di atas 65 tahun. Mereka merupakan eks pandu dari sejumlah organisasi kepanduan yang berasal dari beberapa daerah, di antaranya Bandung, Jakarta, Semarang, Yogyakarta, dan Malang.
Darmanto berharap masyarakat dapat mengetahui pentingnya pembentukan karakter melalui gerakan kepanduan. Tidak hanya dalam kepemimpinan, tetapi juga dalam berbagai ruang lingkup pekerjaan.
Tujuan kepanduan bukan untuk menjadi tentara atau pemimpin, melainkan menanamkan nilai kejujuran dan karakter positif lainnya.
”Kata kuncinya, membentuk karakter. Saat menjadi pemimpin, bisa berlaku adil. Jika menjadi penambal ban, tidak menebar paku di jalan. Kalau menjadi penjual mi, jangan memakai formalin. Sederhana saja,” ucapnya.
Lewat jambore itu, Darmanto berharap para peserta dapat bertukar cerita. Para peserta merumuskan kembali konsep pembinaan kepanduan agar tidak lekang dalam memori generasi mendatang.
Di usia senja, para pandu tua tak mau hanya berdiam diri. Mereka ingin tetap menjaga negeri. Bukan dengan mengangkat senjata, melainkan menanamkan nilai-nilai kebajikan.
Semua itu dilakukan agar negeri ini tidak tumbang dihantam badai korupsi, eksklusivisme, dan radikalisme yang dapat meracuni dan memecah belah bangsa. Semoga jiwa pandu tetap menyatu dalam dinamika dan karakter bangsa untuk menjadi benteng terkuat menghadapi disrupsi dahsyat yang dapat merobek nilai-nilai kehidupan sosial ataupun karakter bangsa.