Masyarakat adat di Kalimantan Tengah meminta agar peladang yang ditangkap untuk dibebaskan. Kebakaran hebat yang berdampak pada kabut asap dinilai di luar dari kearifan lokal masyarakat adat, khususnya Dayak.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS – Masyarakat adat di Kalimantan Tengah meminta agar peladang yang ditangkap untuk dibebaskan. Kebakaran hebat yang berdampak pada kabut asap dinilai di luar dari kearifan lokal masyarakat adat, khususnya Dayak.
Hal itu terungkap dalam diskusi dengan tema Menjaga dan Memulihkan Ruang Hidup dan Hak Masyarakat Adat yang diselenggarakan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) Kalteng, Yayasan Pusaka Bentala, dan Yayasan Petak Danum, Minggu (29/9/2019) di Palangkaraya, Kalteng.
Ketua Yayasan Petak Danum Muliadi mengungkapkan, kebiasaan membakar merupakan tradisi Suku Dayak saat berladang sejak nenek moyang dulu. Kebiasaan itu tidak pernah membuat kebakaran hutan dan lahan hingga menjadi bencana asap.
Menurutnya, lahan gambut yang kering menjadi salah satu faktor kebakaran tak terkendali hingga mencemari udara di Kalteng. Namun, gambut yang juga disebut petak sahep dalam bahasa Dayak, tidak pernah digunakan untuk berladang awalnya.
“Gambut itu dulu kala semuanya rawa, airnya tinggi, sehingga tigak bisa diapa-apakan, orang Dayak menggunakannya untuk mencari ikan membuat tambak dan kolam, bukan ditanami padi,” ungkap Muliadi.
Muliadi menambahkan, gambut mulai dikelola menjadi perkebunan bahkan dipaksa menjadi sawah ketika Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) dilaksanakan pada 1995. Saat itu, hutan dibuka lahan dengan kedalaman gambut dalam juga kubah gambut dibuka.
“Tapi proyek itu kan gagal, tidak jadi apa-apa tak ada yang ditanam. Lalu tanahnya terbengkalai dan terjadi kebakaran hebat pada 1997, setelah itu malah diberikan ijin di atas tanah terbakar itu dan menjadi perkebunan sawit,” ungkap Muliadi.
Sejak saat itu, banyak orang kemudian mulai mengelola gambut. Di satu sisi, perijinan perkebunan sawit, pertambangan, dan ijin lainnya juga semakin banyak.
Tapi proyek itu kan gagal, tidak jadi apa-apa tak ada yang ditanam. Lalu tanahnya terbengkalai dan terjadi kebakaran hebat pada 1997, setelah itu malah diberikan ijin di atas tanah terbakar itu dan menjadi perkebunan sawit, ungkap Muliadi.
Sampai saat ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat kebakaran menghanguskan 44.769 hektar di Kalteng. Di Indonesia, luas kebakaran mencapai 328.000 hektar di mana 189.000 hektar merupakan lahan gambut.
Saat gambut terbakar, kondisi bara api bisa bertahan hingga sebulan lamanya di dalam tanah gambut dan membuat kebakaran meluas begitu cepat. Hal itu yang kemudian membuat asap mampu menyelimuti kota-kota di dekat lokasi kebakaran bahkan hingga keluar negeri.
Ketua Badan Pengurus Harian Wilayah AMAN Kalteng Ferdi Kurnianto mengungkapkan, pihaknya saat ini mendampingi tiga komuunitas adat yang anggotanya ditangkap dan dipenjara karena membakar lahan. Dari tiga kasus itu, ia menduga petani dikriminalisasi.
“Mereka ini sedang mencari makan, membakar itu bukan hanya untuk membersihkan tetapi juga menyuburkan tanah dari abu sisa pembakaran, lagi pula banyak petani yang berladang bukan di gambut, harusnya ada perbedaan,” ungkap Ferdi.
Ferdi menambahkan, pihak kepolisian harus patuh terhadap UUD 1945 amandemen keempat untuk tidak mengkriminalisasi peladang atau petani. “Menangkap tidak akan menyelesaikan masalah,” ungkap Ferdi.
Program Manajer Yayasan Pusaka Bentala Ditta mengungkapkan, polisi menangkap petani dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 32 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dibuat dalam spanduk-spanduk di setiap jalan. Padahal, undang-undang yang sama juga memperbolehkan petani membakar lahan dengan syarat tertentu.
"Syaratnya tidak boleh lebih dari dua hektar, salah satu dampingan kami di Murung Raya, dia disabilitas, buta dan tuli, ditangkap padahal tidak sampai dua hektar kebun sendiri dan sudah lapor pemerintah desa," kata Ditta.
Sebelumnya, saat aksi climate strike,perwakilan pemuda di Palangkaraya bertemu dengan anggota DPRD Provinsi dan Gubernur Kalteng Sugianto Sabran. Di momen itu, pemerintah sepakat untuk memenuhi tuntutan masyarakat terkait peladang yang ditangkapi.
Syaratnya tidak boleh lebih dari dua hektar, salah satu dampingan kami di Murung Raya, dia disabilitas, buta dan tuli, ditangkap padahal tidak sampai dua hektar kebun sendiri dan sudah lapor pemerintah desa, kata Ditta.
Lahan perkebunan terbakar
Di Kalteng terdapat, Polda Kalteng sedang menyelidiki 18 perusahaan perkebunan yang lahannya terbakar, satu orang dari perusahaan sudah menjadi tersangka, sedangkan sisanya masih dalam penyelidikan. Gakkum KLHK pun menyegel sembilan perusahaan, dua di antaranya sudah ada tersangka.
Sampai saat ini Polda Kalteng sedang menyelidiki 148 kasus pembakaran lahan baik korporasi maupun peladang, dengan jumlah tersangka 88 orang yang semuanya sudah ditahan. Belum ada tersangka dari dua kasus korporasi yang sedang diseldiki Polda.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Kalteng Ajun Komisaris Besar Hendra Rochmawan mengungkapkan, saat ini pihaknya berkomitmen untuk menindak tegas pembakar lahan. Selama bisa dibuktikan hukum sesorang atau korporasi melakukan pembakaran lahan maka pilihannya adalah pidana.
“Kami sudah lakukan berbagai cara untuk sosialisasi aturan larangan membakar, namun tetap saja melakukannya. Maka perlu ada tindakan tegas agar ada efek jera,” kata Hendra.