”Lord Didi” Kembali Muda
Genap 30 tahun sudah Didi Prasetyo alias Didi Kempot (52) berkarya di dunia musik campursari. Di usianya yang melampaui tahun emas, kepopulerannya tidak terdisrupsi. Didi malah seperti lahir kembali. Berjoget bersama anak-anak muda, merayakan keping-keping hati yang patah.
Tak heran ia merasa muda kembali. Perasaan itu agaknya ditularkan oleh anak-anak muda masa kini yang mengelu-elukan namanya. Saat berjalan kaki pada suatu malam di Jalan Raden Saleh, Jakarta, sekerumunan penggemar silih berganti minta swafoto bareng Didi, bersalaman, bahkan ada yang melompat-lompat senang seusai menyalami Didi.
”Ya, Allah! Seneng banget ketemu Pakde,” kata seorang remaja perempuan yang tampak hampir menangis.
Tak ada raut kesal atau terganggu kala ia dikerumuni banyak orang. Ia atentif dan sebisa mungkin meladeni mereka satu per satu. Padahal, ia baru saja kelar manggung menghibur ratusan sad bois dan sad girls, generasi muda pencinta Didi Kempot sekaligus barisan remaja patah hati.
Fenomena sad bois dan sad girls ini juga jadi suntikan awet muda ala Didi. Ia senang sekali anak-anak muda ini menyukai lagu-lagu karyanya. Lagu-lagu itu termasuk tembang lawas, salah satunya ”Cidro”. Ada juga lagu yang baru lahir Juli 2019, yakni ”Ambyar”.
”Selama 30 tahun ini, saya sudah membuat 700-an lagu. Hampir semua produser di Jakarta pernah rekaman sama saya waktu dulu,” kata Didi.
Kini, Didi memilih jalan sebagai musisi independen. Ia memproduksi sendiri lagu-lagunya tanpa naungan label rekaman tertentu. Setelah lagunya rampung, baru ia menawarkannya kepada produser dan distributor.
Berkarya sendiri membuat Didi merasa lebih bebas. Ia telah menjadi musisi independen setelah lagu ”Stasiun Balapan” meledak di pasaran. ”Kalau seniman sekarang tidak berjuang sendiri, ya, setengah mati (jalannya),” katanya.
Didi berkarya tidak melulu harus di studio rekaman besar. Ia kerap keliling daerah dan rekaman di studio-studio yang ada di pelosok desa di Jawa Timur dan Jawa Tengah, misalnya Sidolaju, Ngawi, dan Sragen. Hal itu ia lakukan agar pemilik usaha studio kecil-kecilan turut menerima rezeki dari lagu-lagunya. Beberapa karya hit pun lahir dari studio kecil, antara lain ”Banyu Langit”, ”Suket Teki”, dan ”Pamer Bojo”.
Ia tidak melihat perbedaan signifikan antara studio di kota besar dan di kampung. Asal berkarya dilandasi dengan niat baik dan komitmen, niscaya hasilnya baik. ”Kalau dibandingkan dengan studio kota, bedanya cuma studio desa tidak punya AC (penyejuk ruangan). Tapi, di situlah uniknya. Siapa tahu lagu yang saya buat laku. Itu, kan, seperti bagi-bagi rezeki sama yang punya studio.”
Sebelum dikenal sebagai salah satu legenda campursari Indonesia, Didi melewati jalan panjang berliku. Hasrat menjadi seniman telah ia pupuk sejak remaja. Dalam benaknya, ia ingin menjadi seperti ayahnya, pelawak Ranto Eddy Gudel. Ia pun terinspirasi oleh kakaknya yang pelawak grup lawak Srimulat, almarhum Mamiek Prakosa, dan kakaknya yang juga seorang penyanyi, Sentot (Kompas, 7/11/1999).
Di bangku SD, Didi pernah menjuarai lomba menyanyi di Ngawi, Jawa Timur. Hasrat menyanyi masih ia pendam seusai SMA. Didi mengakui, ia gagal dalam studi. Ia menjual sepeda pemberian ayahnya untuk membeli gitar. Gitar itu lalu jadi ”teman”-nya mengamen dan mencipta lagu.
Hidup di jalan
Didi pernah menghabiskan 10 tahun mengamen di Keprabon, pusat jajanan di Kota Solo, Jawa Tengah. Ditolak orang pun pernah ia alami. Namun, tekadnya kuat. Kala itu ia tergabung dengan kelompok bernama Kelompok Pengamen Trotoar. Akronim dari kelompok itulah yang kelak dijadikan Didi nama panggungnya, Didi Kempot.
”Dulu kalau sakit hati harus menghibur diri sendiri. Mau mengadu ke siapa wong hidup di jalanan. Kalau masuk angin, ya, dikeroki sendiri atau minum puyer. Semua lagu itu (lagu ’Cidro’) bernuansa menyanjung (sang gadis) walau sebenarnya saya sedang patah hati,” kenang Didi terkekeh.
Didi sengaja tidak menjelaskan secara detail siapa gadis pujaannya kala itu. Mungkin ia sungkan kepada Yan Vellia, istrinya, yang berprofesi sebagai penyanyi dangdut dan sore itu duduk dengan jarak lebih kurang 2 meter dari Didi.
Menjelang akhir 1985, ia bersama teman-temannya memberanikan diri mengadu nasib di Jakarta. Setelah lagu-lagunya mengudara di jalanan beberapa waktu, baru pada 1989 Didi mendapat kesempatan merekam karyanya dalam bentuk album. Lagu ”Cidro”, ”We Cen Yu” (Kowe Pancen Ayu), dan ”Moblong-moblong” berada di album perdana itu.
Album tersebut, menurut Didi, tidak sukses di dalam negeri. Lagu-lagu Didi justru mulai mereguk sukses di luar negeri setelah ada warga Suriname di Belanda yang membeli album perdana Didi, lalu membawanya ke luar negeri.
Sejumlah karya Didi pun mengudara lewat radio di Suriname dan Belanda. Popularitas Didi di kedua negara itu mendorong munculnya undangan untuk manggung di luar negeri. ”Saya kaget waktu diminta manggung di luar negeri karena saya naik pesawat saja belum pernah dan menurut saya, lagu-lagu saya biasa-biasa saja,” tutur Didi.
Didi akhirnya mengiyakan undangan yang kelak mengubah jalan hidupnya itu. Kepopuleran Didi di Suriname dan Belanda tidak main-main kala itu. Setiap kali bertandang ke Suriname, Didi selalu disambut hangat. Perdana menteri setempat juga tidak pernah absen mengunjungi Didi.
Jaya kembali
Tahun 2019 menjadi tahun kejayaan kembali seorang Didi Kempot. Lagu-lagunya digandrungi banyak anak muda setelah video saat ia manggung di Taman Balekambang, Solo, Juni 2019, viral. Selanjutnya, para penggemar muda Didi menamai diri mereka sad bois dan sad girls. Didi pun diberi julukan ”The Godfather of Broken Heart” atau Bapak Patah Hati Nasional. Mereka juga kerap menyebutnya ”Lord Didi”.
”Yang disebut pencapaian buat saya adalah lagu kami diterima. Itu saja sudah cukup. Sekarang, yang paling menyenangkan adalah anak-anak muda yang tiba-tiba seperti ini (menyukai lagu saya),” kata Didi.
Didi menduga lagu-lagunya disukai karena kebanyakan bertema patah hati. Topik ini menjadi topik terlaris di kalangan anak muda, khususnya yang baru patah hati dan sedang galau berat. Kendati begitu, musik pada lagu Didi tidak cengeng, justru bikin para pendengarnya ingin berjoget. ”Tapi, ada juga yang sampai nangis pas menonton konser saya. Ada juga yang nyanyi sambil misuh,” tambah Didi.
Sebagai musisi spesialis patah hati, Didi berniat terus mendalami bakatnya mencipta lagu-lagu bertema nelangsa. Ide lagu mengalir begitu saja tanpa terbendung di benak Didi. Ia mengatakan, patah hati mungkin sudah ia rasakan sejak lama. Ibu dan ayahnya bercerai ketika usia Didi masih balita. Ia menduga itulah sumber patah hatinya.
Menjelang dewasa, jumlah saudaranya semakin banyak karena kedua orangtua kandungnya masing-masing berumah tangga kembali. ”Setelah saya mulai agak paham membuat lagu, saya merasakan bahwa yang dialami keluarga saya ternyata juga menjadi salah satu inspirasi saya.”
Didi pun melihat fenomena sad bois dan sad girls sebagai sinyal kejayaan kembali tembang bernuansa tradisional. Di tengah era banjir informasi, pria asal Solo ini menegaskan pentingnya merawat ingatan akan akar kebudayaan.
”Lagu apa pun boleh Anda sukai, tapi jangan sampai melupakan lagu-lagu kita sendiri, yakni lagu tradisional,” ujar Lord Didi yang bertekad terus berkarya.