Memupuk Cita-cita di Bawah Atap Rumbia
Setahun pascagempa, banyak sekolah di Sulawesi Tengah yang menggelar kegiatan belajar- mengajar di bangunan darurat. Dinding papan dan atap rumbia menemani siswa memupuk cita-cita.
Pagi itu, siswa-siswi kelas IA SD Negeri Pengawu, Kecamatan Tatanga, Kota Palu, Sulteng, masih belajar di bangunan darurat. Atap bangunan dari rumbia, sedangkan dindingnya dari bambu yang hanya setinggi satu meter.
Rendahnya dinding itu membuat orangtua siswa ataupun siswa dari kelas lain bebas menyaksikan aktivitas di dalam kelas. Kadang mereka berteriak kepada temannya di dalam kelas. Tak jarang, orangtua juga turut berbicara kepada anaknya di dalam kelas.
Kondisi itu membuat Hajiar (58), guru kelas IA, tidak maksimal mengajar para siswa. Dari 28 siswanya, hanya separuh yang memahami materi pelajaran hari itu.
”Saya pusing. (Suasana kelas) Gaduh. Lebih enak mengajar di ruang kelas tertutup,” katanya, seusai mengajar.
Di SDN Pengawu terdapat lima kelas yang berupa bangunan darurat. Dua kelas, termasuk kelas IA, konstruksinya dari dinding bambu setinggi satu meter. Tiga kelas lainnya berdinding papan dan kain.
Kegiatan belajar diselenggarakan di bangunan darurat itu karena sejumlah ruang kelas rusak akibat gempa bermagnitudo 7,4 yang melanda Sulteng pada 28 September 2018.
Bangunan darurat dipakai kelas I-IV dengan 9 rombongan belajar yang dibangun oleh Kemdikbud. Sementara siswa kelas V dan VI masih bisa belajar di gedung lama yang hanya rusak ringan. Total ada 482 siswa di SDN Pengawu.
Sebelum beratap rumbia, kelas-kelas darurat itu dinaungi terpal. Saat matahari mulai terik, ruang kelas menjadi sangat panas. Anak-anak pun terpaksa pulang lebih cepat dari waktu seharusnya. Kondisi itu terjadi sejak Oktober 2018, saat sekolah dimulai kembali pascabencana hingga Juli 2019.
Kepala SDN Pengawu Norma Dahlia Akuntu mengatakan, semua pihak memahami kondisi itu karena bencana. Ia senang kegiatan belajar-mengajar tetap bisa dilaksanakan, meskipun dalam kondisi serba terbatas.
”Dalam dua bulan ke depan, ruang kelas permanen mulai dibangun. Tim penilaian (dari Kemdikbud dan Dinas Pendidikan Kota Palu) sudah pernah melihat kondisi ini,” katanya.
Belajar di bangunan darurat juga harus dilakoni siswa dan guru SDN 21 Palu dan SD Inpres Bayaoge di Kelurahan Bayaoge, Kecamatan Tatanga. Bangunan darurat kedua sekolah itu didirikan berdampingan di tanah lapang, berjarak 100-200 meter dari gedung lama yang hancur karena gempa.
Masing-masing empat kelas dari dua sekolah itu masih belajar di ruangan dengan dinding papan dan bilah bambu setinggi satu meter. Atapnya pun dari rumbia. Dua kelas masing-masing sekolah sudah menempati gedung semipermanen yang dibangun sebuah yayasan.
Oleh karena relatif terbuka, debu sering beterbangan hingga ke ruang kelas. Selain itu, pemelajaran di suatu kelas terdengar cukup jelas dan mengganggu para siswa di kelas lain. ”Kegaduhan di kelas lain membuat pemelajaran tak optimal,” ujar Unkir (30), guru SD Inpres Bayaoge.
Putra Andika (9), siswa kelas III SDN 21 Palu, menuturkan, tidak suka dengan kondisi belajar sekarang. Ia sering tak bisa mendengar materi yang disampaikan guru karena keributan dari kelas lain.
”Tapi, saya tidak pernah absen,” kata siswa yang rumahnya berjarak 500 meter dari sekolah itu.
Bantuan pembaca Kompas
SD Inpres Bayaoge sedikit beruntung karena tak lama lagi menempati gedung sekolah yang hampir rampung pembangunannya. Sekolah baru itu dibangun oleh Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas, yang menghimpun bantuan dari pembaca harian Kompas.
Namun, pembangunan gedung permanen bagi SDN 21 belum terang. Kepala SDN 21 Sunarti mengaku sudah memasukkan semua dokumen yang diperlukan untuk pembangunan ulang gedung sekolah lama. Kemungkinan gedung sekolah dibangun tahun depan.
Derita SDN 21 kian bertambah. Seminggu lalu, ruang guru dan perpustakaan darurat terbakar pada dini hari. Api berasal dari korsleting listrik. Buku-buku pelajaran senilai Rp 30 juta ludes terbakar. ”Beruntung, penjaga sekolah yang tidur di ruang guru bisa menyelamatkan diri,” kata Sunarti.
Kepala SD Inpres Bayaoge Salbia menyampaikan, sebagai sektor strategis, seharusnya dari awal pemerintah menyediakan ruang kelas semipermanen dengan material dinding papan lapis dan atap seng untuk sekolah yang rusak berat. Dengan semikian, kegiatan belajar-mengajar berlangsung nyaman, sambil menunggu pembangunan gedung permanen.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Palu Ansyar Sutiadi mengatakan, dari sekitar 200 sekolah yang rusak di Palu, baru separuh yang diperbaiki. Perbaikan menunggu anggaran dari pemerintah pusat dan daerah, serta bantuan lembaga atau yayasan sosial. Pembangunan semua gedung sekolah ditargetkan selesai tahun depan, sesuai dengan jangka waktu rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana Sulteng.
Khadafi Badjerey, Sekretaris Jenderal Pasigala Center—sebuah konsorsium swadaya masyarakat yang terlibat dalam pemulihan Sulteng—berpendapat, pembangunan sekolah seharusnya menjadi salah satu prioritas, setidaknya dalam jangka satu tahun.
Pemulihan dunia pendidikan menjadi salah satu indikator tangkas atau tidaknya pemerintah dalam penanggulangan bencana.