Mencari Jawaban di Antara Bintang
Film bertema penjelajahan antariksa dan mimpi manusia mencari kehidupan lain di luar bumi bukan hal baru. Namun, berlatar penjelajahan ambisius itu, ”Ad Astra” mengupas lapis demi lapis emosi dalam relasi seorang anak dan ayahnya.
Film yang mengangkat penjelajahan antariksa sudah dibuatkan beragam jenis genrenya, mulai dari laga, drama, komedi, hingga thriller. Tak ketinggalan disertai pula bumbu romansa percintaan, horor, ataupun yang mencoba setia pada fiksi sains.
Meski begitu, banyak kalangan menilai film terbaru Ad Astra (2019) besutan sutradara James Gray ini menawarkan hal baru. Film ini lebih menonjolkan sisi manusiawi melalui hubungan personal, terutama antara ayah dan anak, H Clifford McBride (Tommy Lee Jones) dan Mayor Roy McBride (Brad Pitt).
Relasi bapak anak yang sama-sama astronot ini digambarkan terputus belasan tahun. Sang ayah dinyatakan hilang dan diyakini tewas saat menjalankan misi antariksa. Di film ini, penjelajahan antariksa seolah menjadi wadah di mana pergulatan emosional keduanya terjadi dan membingkai seluruh jalan cerita.
Saking personal dan emosionalnya, alur cerita dalam film ini mengalir dengan sangat hening, lambat. Bahkan, pada beberapa bagian cenderung monoton. Hal itu juga yang membedakan Ad Astra dengan beberapa film bertema sejenis. Sebut saja drama misteri Gravity (2013) garapan Alfonso Cuarón, Interstellar (2014) dari Christopher Nolan, atau The Martian (2015) besutan Ridley Scott.
Dalam alur yang lambat dan hening itu, tekanan emosional dan penggambaran pergulatan batin sang tokoh justru menguat dan tak menerbitkan kebosanan. Keheningan dalam ruang serba hampa itu justru dengan cerdas dimanfaatkan oleh Gray untuk menggugat ruang kesadaran.
Lapisan emosi
Penonton dibawa ikut mengenali lapis demi lapis emosi yang dikupas dalam film ini. Ad Astra menggambarkan sang astronot harus terus-menerus dipantau melalui evaluasi kejiwaan. Degup jantung si astronot pun selalu dipantau secara intens.
Saat menunjukkan gejala stres mereka harus beristirahat di sebuah ruangan ”terapi” untuk menenangkan diri. Keraguan atau kecemasan dalam kadar sekecil apa pun bisa dianggap sangat membahayakan misi mahal perjalanan antariksa tersebut.
Di awal film ini, penonton diperkenalkan pada Roy yang sangat piawai mengelola emosi. Ia punya denyut jantung stabil, bahkan saat menghadapi kondisi ekstrem sekalipun. Dalam perjalanan cerita, si tokoh cerita—dan penonton-—pelan-pelan mengenali benteng-benteng emosi yang ia bangun untuk mempertahankan stabilitas dan performa kerja itu.
Pertanyaannya, mengapa ia membangun benteng-benteng emosi itu? Apa pun alasannya, pada akhirnya setiap manusia selalu dihadapkan pada situasi-situasi yang menggedor ketahanan benteng emosi itu.
Akting Brad Pitt sebagai Roy dalam film ini cukup menggigit meskipun dalam sebagian adegan ia harus menampilkan karakternya dengan dialog minimal. Saat diwawancara seusai pemutaran perdana Ad Astra di Venice Film Festival, Kamis (26/9/2019), Brad Pitt mengakui film ini sebagai film paling menantang sepanjang perjalanan kariernya.
Menurut dia, film ini lebih berkisah tentang perjalanan jiwa yang sangat intim sekaligus juga membahas kemungkinan keberadaan kehidupan di luar sana.
”Cerita di film ini sangat delicate. Selain itu, saya juga ingin memercayai bahwa di satu tempat di luar angkasa sana, dalam derajat tertentu, ada kehidupan lain, baik yang lebih maju atau bahkan lebih berada jauh di belakang kita. Akankah kita menemukannya dalam kehidupan kita? Saya tidak tahu,” ujarnya.
Misi rahasia
Ad Astra bercerita tentang misi perjalanan ruang angkasa yang dilakukan Roy untuk menemukan sang ayah. Clifford adalah astronot pionir perjalanan manusia menuju lintasan terjauh tata surya. Belasan tahun sebelumnya Clifford memimpin sebuah tim bermisi rahasia, Proyek Lima.
Proyek Lima tak hanya bermaksud mengarungi angkasa luas hingga ke ujung tata surya. Misi ini juga bertujuan mencari kehidupan atau kecerdasan lain di luar bumi. Proyek rahasia Komando Antariksa Angkatan Bersenjata Amerika Serikat (SpaceCom) itu lalu dinyatakan gagal. Semua anggota tim, termasuk Clifford, dianggap tewas atau hilang.
Kondisi itu terus dianggap sebagai kenyataan hingga satu waktu bumi dilanda entakan gelombang besar energi misterius, yang sempat tak diketahui dari mana asalnya. Kejadian itu berdampak besar dan dinilai membahayakan bumi serta seluruh konstelasi tata surya.
Belakangan diketahui sumber entakan gelombang energi besar tadi berasal dari titik di mana terakhir kali Proyek Lima terpantau. Tak hanya itu, SpaceCom juga meyakini Clifford masih hidup dan memiliki data berharga terkait proyek rahasia yang dijalaninya belasan tahun itu.
Roy yang memang sudah punya reputasi andal sebagai astronot sebelumnya kemudian dipanggil dan ditugasi secara rahasia oleh pihak SpaceCom. Dia dianggap cocok untuk menjalankan misi rahasia, menjadi kurir penyampai pesan, mencari tahu keberadaan Clifford dan Proyek Lima.
Untuk mencapai titik terakhir keberadaan sang ayah Roy harus menempuh misi antariksa rahasia secara estafet. Mulai dari pendaratan di bulan untuk menuju pangkalan roket rahasia di sisi gelapnya. Lalu, menuju planet Mars sebagai titik perhentian terakhir, sebelum menuju Neptunus. Pangkalan antariksa Proyek Lima diketahui terakhir berlokasi di dekat salah satu dari lima cincin Neptunus.
Penggambaran perjalanan antariksa yang sepi, hampa udara, juga hampa suara, selain bunyi-bunyian monoton dari mesin atau instrumen pesawat, juga dikemas untuk menghadirkan drama tersendiri.
Pergulatan batin Roy pun semakin memuncak mendekati akhir cerita. Jawaban yang dicari Roy di antara bintang dan planet itu mengancam ketahanan benteng emosinya. Hal ini bukan saja berpusar pada relasi Roy dan ayahnya.
Pergulatan emosi itu juga amat memengaruhi relasi Roy dengan istrinya yang menanti di Bumi, diperankan Liv Tyler. Relasi Roy dan istrinya digambarkan dengan menarik melalui kilas-kilas memori dan potongan rekaman pesan jarak jauh di antara keduanya.
Apa pun jawaban yang ditemukan Roy di misi antariksa terjauhnya itu, ketika film ini berakhir, penonton pulang membawa perenungan mereka masing-masing.
Cukuplah petunjuk dari ungkapan Latin, yang juga menjadi asal muasal judul film ini, Ad astra per aspera, menuju bintang melalui jerih payah. (REUTERS/DAY)