Perempuan adalah Gading
Perempuan adalah gading. Perempuan adalah harta tak ternilai. Kata-kata itu meluncur dari Petrus Raya Buan (72), tetua adat suku Korebima di Adonara, Nusa Tenggara Timur, seraya menunjukkan gading besar sekali yang diyakini berasal dari gajah yang pada masa lampau pernah hidup di Pulau Adonara.
”Gading ini ada sejak tahun 1500-an. Ini disampaikan melalui tradisi lisan turun-temurun kami,” kata Petrus, Sabtu (14/9/2019), di rumah adat kampung yang disebut korke di Desa Kiwangona.
Pelataran rumah adat itu digunakan untuk rangkaian Festival Lamaholot, yang sebelumnya digelar di Larantuka, 11-13 September 2019. Dua hari berikutnya dilangsungkan di Adonara, tepatnya di Desa Kiwangona dan Karing Lamalouk.
Gading besar
Ada tiga gading besar di korke Desa Kiwangona. Gading paling besar punya panjang sekitar 2,2 meter. Dua gading lainnya hanya berselisih sedikit.
Terasa sulit dipercaya, ketika dikatakan Petrus, bahwa gading gajah yang sangat besar itu asli berasal dari gajah Adonara. Petrus kemudian menuturkan cerita rakyat yang mengisahkan dulu di Adonara hiduplah gajah-gajah besar yang tentu juga memiliki gading sangat besar.
”Dari cerita rakyat itu pula disampaikan pernah terjadi gempa besar di Adonara. Gempa itu mengakibatkan semua gajah di sini mati,” ujar Petrus.
Dengan gading-gading sebesar itu, terlintas bayangan gajah purba di Adonara. Tebersit pula kemudian hewan purba lain yang hingga kini masih hidup di wilayah kepulauan Nusa Tenggara Timur, yaitu kadal raksasa atau komodo.
Bencana seperti gempa besar mungkin saja memusnahkan gajah purba di Adonara. Seperti bunyi peribahasa, gajah mati meninggalkan gading. Ini benar adanya di Adonara. Gajah-gajah yang mati di sana telah meninggalkan gading-gadingnya.
Perbincangan bersama Petrus ketika itu didampingi Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Flores Timur Apolonia Corebima. Apolonia juga berasal dari Kiwangona, Adonara. Ia memiliki pengalaman dilamar dengan belis atau mahar berupa gading gajah pula.
”Gading sampai sekarang masih digunakan untuk belis atau mahar, ketika seorang pemuda melamar gadis di Adonara,” tutur Apolonia.
Ketika dilamar, Apolonia mendapat belis tujuh gading gajah. Ia anak kedua sehingga belis gadingnya hanya tujuh. Jika ia anak pertama, belis gadingnya bisa lebih banyak lagi, maksimal sampai sepuluh gading. Gading tua itu merupakan properti adat yang turun-temurun lintas generasi.
Mewariskan nilai
Gajah sudah tidak lagi hidup di Adonara. Lama-kelamaan gading tentu mengalami kelangkaan. Apolonia membenarkan hal itu.
Terlepas dari fakta bahwa di masa kini secara hukum gading gajah dilindungi lewat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, tradisi masyarakat setempat menyangkut gading masih terawat.
Menurut Direktur Kesenian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Restu Gunawan, gading gajah sebagai belis di Adonara merupakan warisan tradisi lokal yang sudah berlangsung ratusan tahun. Gading tua itu jadi barang yang beredar terbatas di Adonara. ”Kemungkinan besar, perputarannya bersifat lokal untuk kebutuhan adat,” kata Restu.
Petrus menjelaskan, ukuran gading untuk belis pun tidak sama. Untuk belis pertama haruslah gading besar yang panjangnya melebihi panjang rentang kedua tangan gadis yang ingin dilamar. ”Baru kemudian belis berikutnya gading yang berukuran lebih kecil. Gading kedua lebih kecil daripada gading pertama, gading ketiga lebih kecil daripada gading kedua, begitu seterusnya,” katanya.
Tradisi belis gading di Adonara seperti menyiratkan hal yang bersifat materialistik. Namun, sekarang mulai mengikuti perkembangan zaman yang makin tidak mudah untuk mendapatkan gading.
”Belis gading dengan jumlah tertentu tetap disampaikan saat prosesi pelamaran seorang gadis di Adonara. Tetapi, itu sebagai komitmen yang tidak harus dipenuhi sesegera mungkin, tetapi ini menjadi nilai tradisi yang harus diwariskan,” kata Apolonia.
Nilai tradisinya, tak jauh-jauh dari yang diungkap Petrus. Perempuan itu harta yang tak ternilai sehingga perempuan harus dihormati sepanjang hidupnya.
Keyakinan dipelihara
Direktur Festival Lamaholot dari Keuskupan Larantuka, Thomas Labina, mengungkapkan, festival ini dibuat atas dasar kebutuhan. Jadi, bukan semata bersinergi dengan program Indonesiana dari pemerintah pusat.
”Kita membuat festival ini karena kebutuhan. Kalau tidak demikian, festival ini hanya sekadar seremonia,” ujar Thomas di Adonara.
Kebutuhan itu salah satunya untuk memelihara keyakinan terhadap suatu nilai tradisi. Seperti nilai tradisi yang tertuang dalam falsafah gading untuk belis atau mahar itu.
Thomas mengungkapkan, kebutuhan sebetulnya jauh dari sekadar memelihara keyakinan akan suatu nilai tradisi. Ada kebutuhan lain yang diselaraskan agar berdampak makin luas.
”Dulu, orang berbuat salah itu takut. Sekarang, orang melakukan kesalahan dan hanya akan merasa dosa ketika kesalahan itu diketahui orang lain,” kata Thomas.
Bahkan, kemunduran terjadi luar biasa. Kesalahan yang tidak bisa diketahui orang lain sekarang dianggap menjadi sebuah prestasi. ”Melalui Festival Lamaholot, melalui ekspresi nilai-nilai seni tradisi, nilai dasar kejujuran ini ingin dibangkitkan,” ujar Thomas.
Sepanjang dua hari Festival Lamaholot di Adonara banyak diwarnai tarian tradisi, seperti halnya di Larantuka. Ketika rombongan Bupati Flores Timur tiba di Pelabuhan Adonara, ritual penyambutan dengan makan sirih dan pinang serta arak digelar.
Sesudahnya, tarian Hedung sebagai ritual penjemputan kwsatria dilangsungkan. Setiba di jalan menuju panggung di Desa Kiwangona, tarian tradisi lainnya menyambut.
Ada tarian Sole khas Adonara yang dilakukan secara massal. Mereka membentuk beberapa lingkaran. Di antara satu sama lain harus saling melingkarkan lengan masing-masing dan menari bersama membentuk lingkaran.
Sole sangat populer di Adonara. Muda-mudi kerap terlibat menarikannya dan tak ayal lagi menjadikannya sebagai ajang untuk menemukan jodoh.
Mereka memberikan berbagai nama untuk ragam tarian Sole ini. Ada ragam Sole Dolo dan Oha, Liang, Beku, Liang Smosok dan Brotok, Nama Ula, Lebe, serta Lilin.
Pada hari penutupan Festival Lamaholot di Adonara, tarian Sole Oha digelar sepanjang malam hingga subuh. Tarian itu digelar di sebuah lapangan bola di Desa Karing Lamalouk.
Dominikus Dei (72), salah satu maestro tarian Sole Oha, menceritakan, tak jarang pasangan muda-mudi menemukan jodohnya saat menarikan tarian ini. Senda gurau dan kegembiraan terasa teramat kental di situ.
”Di tarian itu ada aturan, kalau saja ada seorang gadis berteriak kencang akibat dicolek seorang pemuda, maka pemuda itu bisa dikenai denda gading,” tutur Dei.