JAKARTA, KOMPAS – Kepolisian Negara RI dituntut untuk lebih transparan dan terbuka dalam proses hukum terhadap mahasiswa dan pelajar yang diduga terlibat dalam demonstrasi yang berujung kericuhan di sejumlah wilayah, sepekan terakhir. Akses informasi masih menjadi kendala utama bagi pihak keluarga dan kerabat dari para tersangka untuk menjenguk dan memberikan bantuan hukum kepada mereka.
Di sisi lain, Polri juga didorong untuk mengungkap kasus dugaan kekerasan yang dilakukan oknum aparat kepolisian, salah satunya yang menyebabkan tewasnya dua mahasiswa di Kendari, Sulawesi Tenggara, yaitu Randi dan Yusuf Kardawi.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Arif Maulana menuturkan, sejak 24 September lalu, pihaknya masih kesulitan untuk mendapatkan informasi terkait identitas para mahasiswa dan pelajar yang ditahan oleh Kepolisian Daerah Metro Jaya.
Pada Jumat lalu, Polda Metro Jaya telah menetapkan 24 mahasiswa dan 12 pelajar sebagai tersangka aksi massa anarkistis di sekitar Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, 24-25 September. Tetapi, lanjut Arif, informasi secara terperinci tentang para tersangka masih sulit diakses.
“Dampak dari kesulitan informasi itu, kami kesulitan memberikan bantuan hukum dan keluarga juga tidak bisa menemui sejumlah mahasiswa atau pelajar yang telah ditetapkan tersangka. Langkah ini jelas melanggar Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana,” ujar Arif di Jakarta, Minggu (29/9/2019).
Hingga Minggu, LBH Jakarta telah menerima sekitar 90 aduan masyarakat terkait demonstrasi, pekan lalu. Sebagian besar laporan itu disampaikan keluarga, kerabat, hingga pihak universitas/sekolah yang mencari keberadaan anggota keluarga dan mahasiswa/siswa.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Yati Andriyani menambahkan, pihaknya juga telah menerima 158 pengaduan masyarakat dari seluruh Indonesia. Sejumlah pengaduan itu mengeluhkan dampak dari gas air mata, menjadi korban penganiayaan dan tembakan peluru karet, serta menjadi saksi pengeroyokan dan pelemparan batu oleh aparat.
Dari sejumlah laporan itu, Yati mengatakan, para pelapor juga telah diminta melampirkan bukti pendukung berupa foto dan video sebagai langkah awal untuk menindaklanjuti laporan itu. Utamanya, terkait dugaan tindakan represif oleh oknum aparat penegak hukum.
Menurut komisioner Komisi Kepolisian Nasional, Poengky Indarti, tindakan tegas sah dilakukan aparat kepolisian apabila dalam aksi massa dilakukan dengan menggunakan kekerasan, tetapi langkah aparat kepolisian itu harus tetap berpedoman pada aturan hukum dan prosduer operasional standar, di antaranya, Peraturan Kepala Polri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Hak Asasi Manusia, Perkap no 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan, serta Protap Kapolri No 1/2010 tentang Penanggulangan Anarki.
“Pengawas internal dan pengawas eksternal Polri wajib memonitor tindakan anggota Polri di lapangan, terutama dugaan adanya tindakan kekerasan berlebihan. Pengawas internal, yaitu Inspektorat Pengawas Umum (Irwasum) atau Inspektorat Pengawas Daerah (Irwasda) serta Divisi Profesi dan Pengamanan Polri harus pro aktif memeriksa anggota-anggota yang diduga melakukan kekerasan,” katanya.
Peristiwa Kendari
Yati menyatakan, Kontras telah berkomunikasi dengan keluarga korban, jaringan masyarakat sipil, dan mahasiswa di Kendari seiring kematian dua mahasiswa Universitas Halu Oleo. Mutasi terhadap Kepala Polda Sulawesi Tenggara Brigadir Jenderal (Pol) Irianto dianggap tidak cukup untuk membongkar akar masalah tindakan brutalitas, represi, dan penggunaan kekuatan berlebihan oleh anggota kepolisian di lapangan.
“Tidak boleh ada impunitas dalam kasus di Kendari. Sebab, peristiwa itu akan terus berulang apabila penanganan peristiwa itu tidak diselesaikan dengan akuntabel sesuai aturan hukum yang berlaku,” kata Yati.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, lanjutnya, perlu melakukan penyelidikan dalam rangka peristiwa HAM berat. Upaya itu untuk mengungkap latar belakang peristiwa itu, misalnya untuk memastikan apakah peristiwa itu terjadi secara sistematis dan apakah ada pembiaran atau pengendalian yang tidak efektif dari komandan pasukan di lapangan.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati mengatakan, bantuan hukum telah disiapkan oleh tim dari LBH Makassar untuk mengungkap secara jelas peristiwa di Kendari. “Kami menuntut agar semua yang terlibat dalam peristiwa itu diproses hukum,” ucapnya.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Mohammad Iqbal menuturkan, dalam setiap bertugas, anggota kepolisian selalu merujuk pada prosedur operasional standar yang berlaku. Apabila ada dugaan kekerasan berlebihan yang dilakukan oknum kepolisian, tambahnya, Polri berkomitmen untuk melakukan tindakan tegas melalui prosedur etik internal.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.