Semarak Kostum Banyuwangi
Banyuwangi Ethno Carnival bukan sekadar festival yang menyemarakkan kota. Karnaval kontemporer itu juga mendorong ekonomi kreatif di Banyuwangi berputar lebih kencang. Salah satunya kreasi kostum.
Festival itu tak ubahnya pesta besar bagi para pembuat kostum, penata rias, toko tekstil, penjual pernak-pernik, persewaan pengeras suara, bahkan pedagang kaki lima hingga tukang becak juga ikut merasakan tetesan rezeki.
Dinas Pariwisata Banyuwangi pernah memprediksi jumlah uang yang berputar dari satu kali pergelaran Banyuwangi Ethno Carnival (BEC) bisa mencapai Rp 5 miliar.
Festival itu membuka peluang ekonomi baru. Sekitar 10 tahun lalu, jumlah penata rias tak sebanyak sekarang. Pembuat kostum karnaval bahkan tak pernah terpikirkan saat itu.
Kini, bulan Agustus selalu menjadi momen karnaval di Banyuwangi. Selain BEC yang meramaikan kota, setiap desa atau kecamatan juga mengadakan karnaval serupa untuk menyambut HUT Kemerdekaan RI. Pesta kostum dipastikan ada di karnaval-karnaval tersebut
Pada pergelaran BEC akhir Juli lalu, misalnya, jalan sepanjang 3 kilometer menjadi landas peraga bagi 200 model untuk berjalan, menari, berekspresi dengan mengenakan busana karnaval bertajuk ”The Kingdom of Blambangan”.
Siapa sangka di balik meriahnya festival jalanan itu, kemeriahan lebih dulu terjadi di sejumlah gang sempit di sudut kota Banyuwangi.
Salah satu pembuat kostum yang dikenakan di ajang BEC ialah pasangan suami istri Trisya Dewi Sartika (32) dan Sutikno (32) yang tinggal di Kampung Melayu, Banyuwangi. Rumah berukuran 5 x 5 meter itu tak hanya jadi tempat tinggal, tetapi juga bengkel kerja Sutikno dan Trisya. Aneka bekas cat warna-warni menempel di lantai gang yang lebarnya tak lebih dari 1 meter jadi saksi kerja keras mereka.
Trisya semula adalah penari tradisional, sedangkan Sutikno ialah tukang sablon. Mereka beralih profesi menjadi pembuat kostum karnaval sejak merancang kostum pada pergelaran pertama BEC pada 2011.
”Kostum pertama rancangan kami digunakan oleh paman saya. Kostum itu mendapat penghargaan The Best Costume,” ungkap Trisya.
Tak hanya sekali kostum rancangan Trisya mendapat gelar The Best Costume. Pada pergelaran kedua BEC yang mengusung tema tari Gandrung, rancangan Trisya kembali diganjar predikat The Best Costume. Bahkan, pada BEC tahun lalu, kostum bertema Puter Kayun miliknya kembali menggondol predikat yang sama.
Kepercayaan warga pada kemampuan pasangan suami istri ini terus tumbuh seiring prestasi mereka. Pesanan demi pesanan pun mengalir datang pada mereka untuk merancang kostum yang akan digunakan ke sejumlah pergelaran.
Trisya mengatakan, setiap tahun dirinya membuat 6 kostum hingga 12 kostum untuk BEC. Rancangan itu belum termasuk empat kostum atau lebih yang digunakan di Jember Fashion Carnival.
Tak hanya kostum karnaval, Trisya dan Sutikno juga merancang aneka pernak-pernik, seperti mahkota, sayap, dan aksesori pundak. Jumlah pesanan mereka minimal 20 item per bulan.
Trisya dan Sutikno kini memilih fokus memproduksi kostum karnaval. Keuntungan mereka cukup untuk menghidupi kedua putra mereka yang masih duduk di bangku SMP dan berusia balita.
”Satu kostum full set biasanya menghabiskan biaya untuk bahan Rp 3 juta hingga Rp 4 juta. Kami nantinya bisa menjual minimal Rp 7,5 juta. Dari satu kostum kami dapat untung bersih minimal Rp 500.000. Keuntungan itu sudah dipotong untuk upah empat karyawan kami yang masing-masing minimal mendapat Rp 300.000,” tutur Sutikno.
Sutikno masih ingat betul kostum termahal yang pernah ia buat ialah kostum pesanan Polres Banyuwangi untuk BEC 2018. Kostum itu dihargai Rp 12 juta. Kostum itulah yang diganjar predikat kostum terbaik.
Upaya model
Di BEC, pengunjung memang disuguhi ragam budaya Banyuwangi melalui aneka kostum. Tampil dalam festival jalanan itu tidaklah mudah. Para model harus melewati sejumlah tahapan untuk akhirnya dinilai layak berlenggak-lenggok di depan ribuan warga yang berjubel di pinggir jalan.
Teriknya matahari tak menyurutkan langkah para model untuk tampil sempurna di hadapan ribuan mata itu. Salah satunya Athaya Filia Maduwangi (8) yang berjalan sembari diiringi Lusiati (38), ibundanya, dari jarak jauh.
”Dari sekolah ada lima orang yang mendaftar, tetapi setelah audisi, hanya tiga yang terpilih untuk tampil. Selama audisi saya dites menari, modeling, dan berekspresi. Setelah lolos audisi kami wajib ikut beberapa kali workshop,” kata Madu, nama panggilannya.
Madu mengatakan, selama workshop, ia dan peserta lainnya dilatih untuk mematangkan keterampilan modelingsesuai karakter karnaval kontemporer. Para peserta juga dilatih mendesain sendiri baju yang rencananya akan mereka gunakan saat tampil.
Mendesain dan membuat kostum untuk karnaval tentu juga tidak mudah dan murah. Namun, mengapa banyak orang masih ingin tampil dengan biaya mahal, di tengah panas terik?
”Anaknya sendiri yang suka, mau bagaimana lagi? Saya sebagai orangtua hanya mendukung. Saya yakin, tampil di BEC bisa membentuk pribadi anak saya menjadi pribadi yang percaya diri,” tutur Lusiati.
Lusiati menambahkan, keikutsertaan di BEC secara tidak langsung juga mendukung pendidikan di sekolah. Sebab, setiap peserta BEC akan mendapat piagam yang bisa menjadi bahan pertimbangan saat hendak mendaftar sekolah.
Menjadi model BEC memang memberi tantangan tersendiri. Mereka tak hanya berlenggak-lenggok dengan kostum biasa, tetapi juga dengan kostum khas karnaval yang besar, mewah, dan megah.
Cahya Ramdany Prasetya (13), yang siang itu membawa kostum bertema kapal jong, misalnya, harus berusaha menahan beratnya kostum di bawah terik matahari Banyuwangi pada pukul 14.00. Pelajar SMP yang sudah empat kali ikut BEC itu berharap mampu bertahan hingga akhir meski harus melayani banyak permintaan warga untuk berfoto.
”Lumayan berat ini. Beratnya setengah berat badan saya. Saya beratnya 40 kg, kostum ini sekitar 20 kg,” ujarnya. Meski begitu, Ramdany senang bisa tampil lagi di BEC. Ia berharap BEC 2018 bukan terakhir kali bagi dirinya.
BEC memiliki kekhasan tersendiri sebagai karnaval kontemporer. Tema yang diangkatnya selalu berbasis pada lokalitas kedaerahan. BEC pun menjadi wahana kebanggaan masyarakat Banyuwangi untuk mengenalkan cerita rakyat, tradisi, dan potensi daerah yang ada.
Beberapa tema yang diangkat pada festival ini, antara lain, ”The Legend of Kebo-Keboan”, ”Re-Barong Osing”, dan ”Majestic Dance of Seblang”, yang merupakan tradisi lokal masyarakat Osing (suku asli Banyuwangi). Selain itu, ada pula tema ”Majestic Ijen” yang mengangkat salah satu wisata unggulan Banyuwangi.