Tawaran ”Hadiah” Saat Bencana Asap di Kalimantan
Saat meliput kebakaran lahan di Kalimantan Tengah, wartawan Kompas, Megandika Wicaksono, dihubungi pejabat sebuah perusahaan perkebunan. ”Mas Dika sukanya olahraga apa? Yuk, kita beli sepeda supaya bisa sepedaan bareng.”
”Mas Dika sukanya olahraga apa? Yuk, kita beli sepeda supaya bisa sepedaan bareng.”
Begitulah kalimat tawaran yang masih terngiang dalam benak saya meski sudah terjadi lima tahun silam di salah satu restoran di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Ada perasaan cemas, takut, gemas, benci, dan juga muak mengingat kejadian itu, apalagi kini bencana asap itu terulang kembali.
Selama 2014 hingga 2017, saya ditugaskan di Palangkaraya. Belum setahun di perantauan, bencana asap tahunan itu menyeruak. Pemberitaan soal kebakaran hutan di Kalteng terpampang sejak Februari hingga November 2014.
Langit Palangkaraya kuning kelam. Kabut bau sangit menyeruak lubang hidung hingga bersarang di paru-paru. Tubuh cepat limbung dan lelah karena kekurangan oksigen.
Tawaran hadiah kepada saya bermula dari berita yang saya tulis di harian Kompas dan terbit pada Selasa, 14 Oktober 2014, di halaman 22 dengan judul ”Tiga Perkebunan Diperiksa: Dinilai Lalai Terkait Kebakaran Lahan di Kalimantan Tengah”. Pada hari berita itu terbit, telepon seluler saya berdering. Di layar ponsel, tampak panggilan dari nomor yang tidak saya kenal.
Setelah saya jawab, ternyata penelepon adalah salah satu pejabat di jajaran direksi sebuah perusahaan perkebunan yang diperiksa Badan Lingkungan Hidup Kalteng dan beritanya saya buat.
Perbincangan yang sederhana dan ramah karena intinya ia minta bertemu untuk makan siang di salah satu restoran chinese food di Palangkaraya. Saya inginnya bertemu di kantornya saja di Palangkaraya, tetapi ia tolak.
Sebenarnya, hati saya mulai waswas dan khawatir. Saya mau diapakan ini. Saya pastikan berita yang saya tulis sudah lengkap dan sudah ada konfirmasi dari pihak perusahaan perkebunan, yaitu melalui manajer kebun dan juga bagian humas perusahaan tersebut.
Sebelum berangkat menuju restoran yang dimaksud, saya sempatkan untuk menelepon rekan wartawan. Intinya, saya pamit dan memberi tahu jikalau ada apa-apa dengan diri saya. Rekan wartawan itu justru tertawa dan berkata, ”Paling kamu mau dikasih duit, he-he-he....”
Dengan kemantapan hati, akhirnya saya pun menuju restoran yang berada di kawasan Pasar Besar Palangkaraya. Di sana sudah terparkir mobil besar double gardan khas bos-bos sawit.
Sebelum berangkat menuju restoran yang dimaksud, saya sempatkan untuk menelepon rekan wartawan. Intinya, saya pamit dan memberi tahu jikalau ada apa-apa dengan diri saya.
Di dalam restoran, sudah ada 3 atau 4 orang berkemeja rapi, menunggu saya yang datang seorang diri. Setelah bersalaman dan berbasa-basi ringan, kami pun menyantap aneka makanan, mulai dari capcay, aneka olahan seafood, hingga mi goreng.
Dalam suasana makan bersama itu, sang manajer legal yang tadi menelepon saya menyampaikan maksudnya secara ringkas, ”Besok, kalau mau konfirmasi, langsung ke saya saja.” ”Oke, baiklah,” jawab saya.
Selanjutnya, muncullah perbincangan mengenai hobi dan kesukaan saya. ”Mas Dika olahraganya apa?” tanya sang manajer berambut putih itu.
Karena waktu itu saya suka renang, saya jawab berenang. Dia bertanya lagi tentang olahraga kesukaan saya lainnya. Saya jawab, selain renang, saya juga kadang joging di sekitar kos-kosan atau di Palangkaraya disebut barak.
Beliaunya bertanya lagi, ”Kalau sepedaan, suka atau tidak?” Saya jawab suka, tetapi kadang-kadang saja bersepeda dengan sepeda rental. Nah, langsung saat itu muncullah tawaran dibelikan sepeda dari beliau. ”Yuk, kita beli sepeda supaya bisa sepedaan bareng.”
”Mati aku,” ujarku dalam hati. Saya pun segera menolak dengan berbagai macam alasan.
Beliau terus merayu dan langsung mengajak saya untuk menyeberang jalan dari restoran menuju toko sepeda di sana. Oh, pantas saja mereka ngotot mengajak makan di tempat ini karena ternyata di seberangnya ada toko sepeda, pikir saya kemudian.
Mereka masih terus bertanya ukuran sepeda yang saya inginkan dan alamat kos untuk pengantaran. Dengan penuh kesadaran dan prinsip bahwa wartawan Kompas tidak diperkenankan menerima barang, uang, atau apa pun dari narasumber, saya tetap menolak.
Udang yang masih saya kunyah tiba-tiba terasa seret dan sulit ditelan gara-gara situasi itu. Saya pun bergegas pamit dengan alasan mau mengetik berita. Begitu meninggalkan restoran, saya tidak langsung pulang ke kos karena takut dikuntit. Saya langsung menuju posko kebakaran lahan di kompleks kantor gubernur.
Di sana, teman-teman dari BPBD dan rekan wartawan bertanya dengan polos, ”Mas Dika, kenapa kok kelihatannya ketakutan?”
Lalu, saya menceritakan apa yang baru saja saya alami. Salah satu rekan bergurau menanggapi cerita saya. Katanya, seharusnya tadi saya bilang saja suka off road agar ditawari mobil off road atau motor trail. Masak mau kasih hadiah kepada wartawan Kompas cuma celana kolor buat renang. He-he-he....
Dengan penuh kesadaran dan prinsip bahwa wartawan Kompas tidak diperkenankan menerima barang, uang, atau apa pun dari narasumber, saya tetap menolak.
Bayangkan saja, katakanlah hadiah sepeda seharga Rp 3 juta. Apakah sebanding dengan kerugian material dan sosial atas dampak kabut asap di Kalimantan Tengah?
Jikalau saya menerima sepeda itu dan menghentikan pemberitaan soal perkebunan yang lalai menjaga kebunnya sehingga terbakar, di mana hati nurani saya ketika pada saat yang sama melihat ribuan anak-anak terpapar ISPA. Sekolah-sekolah diliburkan. Juga satwa liar seperti orangutan yang terusir dari habitatnya. Puluhan penerbangan terganggu, bahkan ada yang dibatalkan, misalnya maskapai Garuda Indonesia.
Sejak 1 September hingga 20 Oktober 2014, pesawat-pesawat dari maskapai tersebut yang seharusnya mendarat di Palangkaraya terpaksa beralih ke Balikpapan, Banjarmasin, dan Surabaya akibat kabut asap pekat.
Tercacat ada 5 penerbangan dialihkan, 1 penerbangan dibatalkan, dan 61 penerbangan terlambat. Akibatnya, 11.073 penumpang yang berangkat dari Palangkaraya dan 13.124 penumpang yang datang dari Jakarta ikut terlambat (Kompas, 3 September 2015).
Baca juga : Detoks Digital demi Melihat Babirusa di Belantara Sulawesi
Saya tetap menulis berita kebakaran hutan dan lahan, juga bencana kabut asap. Hingga 2015, saat kebakaran hebat melanda, yang menyebabkan kabut asap berlangsung hingga tiga bulan, saya diajak tim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berkeliling ke kabupaten-kabupaten untuk menyegel kebun-kebun korporasi yang terbakar.
Kasus perusahaan perkebunan biasanya menguap di tengah jalan karena pihak berwajib hanya menggunakan pasal-pasal KUHP. Padahal, mereka sulit menemukan alat bukti dan saksi mata.
Sebenarnya, korporasi bisa dijerat juga dengan Pasal 98 dan Pasal 108 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sayangnya, undang-undang ini jarang sekali digunakan.
Terkadang, saya tidak berhasil mendapatkan konfirmasi aparat penegak hukum karena mereka kerap menghindar, terburu-buru, atau terkesan menutup-nutupi. Di situlah saya merasa sedih dan gagal sebagai wartawan.
Jika ingat Kalimantan Tengah dan kebakaran hutannya, saya langsung terkenang pada tiga sahabat aktivis lingkungan, sekaligus narasumber saya yang kini telah wafat. Mereka adalah Direktur Eksekutif Mitra Lingkungan Hidup Kussaritano atau akrab dipanggil Bang Itan; Humas Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS) Nyaru Menteng, Monterado Fridman atau akrab dipanggil Bang Agung; serta Bang Nordin, Direktur Save Our Borneo.
Mereka selalu vokal dan memberikan data yang lengkap serta gigih mengajak teman-teman wartawan turun ke lapangan. Doa dan tempat terbaik bagi mereka di surga.
Baca juga : Menjadi Saksi Detik-detik Kerusuhan di Jayapura
Seperti ditulis wartawan Kompas, Ahmad Arif, dalam Catatan Iptek dengan judul tulisan ”Menelusuri Jejak Asap” (Kompas, 18/9/2019), sejak kebakaran masif tahun 1997/1998, kebakaran hutan hebat tercatat terjadi pada 2015.
Luasan lahan terbakar menurut Bank Dunia mencapai 2,6 juta hektar dengan kerugian Rp 221 triliun. Dampak jangka panjang terhadap kesehatan jutaan warga yang terpapar belum dihitung.
Terbakarnya hutan di Kalimantan dan Sumatera, khususnya di area gambut, dipicu ulah manusia. Kebakaran membesar karena ada El Nino kuat, anomali iklim pemicu berkurangnya hujan di Indonesia.
Hal ini bukan musibah yang mesti diterima ikhlas seperti dicuitkan salah satu pejabat tinggi negara di akun Twitter-nya. Kabut asap ini merupakan wujud kegagalan mengelola alam. Penanganannya tak bisa hanya dengan memadamkan api, tetapi harus dari akar masalahnya, yakni perbaikan tata kelola lahan.
Semoga kabut asap tahunan di Sumatera dan Kalimantan tidak lagi diwarnai ”hadiah-hadiah” dari siapa pun, untuk siapa pun. Hujan lebat yang lama dan udara segar adalah hadiah yang diharapkan bagi seluruh masyarakat yang terdampak asap.