Harta Jejak Peradaban
Satu kekayaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Sulawesi Selatan, adalah bukit karst dengan sekitar 300 goa. Bukit karst ini terluas kedua di dunia setelah karst di Guangzhou, China. Dengan luas hingga 43.750 hektar, TN Babul didominasi bentangan bukit karst.
Sebuah lubang ekskavasi yang ditutup terpal dan papan masih menganga di area teras Leang Jarie, Maros, Sulawesi Selatan. Di dalam lubang tampak kerangka manusia yang belum diangkat. Arkeolog menemukan kerangka ini saat menggali pada tahun 2018. Kerangka itu dalam posisi telentang, dengan tangan lurus di sisi kiri kanan tubuh dan telapak tangan menghadap ke atas.
Panjang kerangka sekitar 170 sentimeter dengan kondisi 70 persen utuh. Kerangka diapit dua batu besar dan menghadap barat laut ke selatan. Usia kerangka diperkirakan 4.000 tahun. Budianto Hakim, salah seorang arkeolog Balai Arkeologi Sulsel yang melakukan ekskavasi, mengatakan, kerangka ini ditemukan dalam pencarian Toala, manusia pertama yang diduga menghuni goa-goa di wilayah Maros.
Walau bukan Toala, kerangkanya yang nyaris utuh dari kepala hingga kaki menjadi sesuatu yang berarti bagi para arkeolog. Sejak beberapa tahun terakhir, arkeolog dan peneliti Indonesia dan Australia terus mencari keberadaan Toala di goa-goa di gugusan bukit karst TN Bantimurung Bulusaraung (Babul). Dalam perjalanan pencarian ini pula mereka menemukan lukisan tangan tertua di dunia yang berusia hampir 40.000 tahun, di dalam Goa Timpuseng.
”Selama ini yang kami temukan biasanya potongan berupa kepala, tangan, atau bagian tubuh lain. Yang ini nyaris masih utuh. Dengan posisi kerangka yang berada di bagian depan goa dan arah hadap, kami menduga kerangka ini bukan berasal dari manusia biasa. Setidaknya pada masanya dia adalah orang yang istimewa. Mungkin serupa pimpinan kelompok atau kepala suku,” kata Budianto. Leang Jarie yang menjadi tempat penemuan kerangka adalah goa dengan bebatuan yang indah.
Seperti galeri, pada dinding goa terdapat sejumlah lukisan cap tangan dengan beragam usia. Di tempat yang sama, arkeolog pernah menemukan lukisan tangan berusia sekitar 39.000 tahun. Lokasi goa agak jauh dari jalan poros Maros-Bone dan teduh dengan pepohonan di sekeliling. Tak jauh dari Leang Jarie terdapat Leang Katinggiang.
Tak ada lukisan tangan di goa ini, tetapi keindahan stalagmit dan stalaktit di dalam goa, mengundang banyak orang yang penasaran melakukan telusur goa. Di dalam goa itu juga terdapat sumber air yang airnya mengalir deras menyerupai air terjun kecil. Alirannya membentuk anak sungai yang mengalir hingga keluar goa. Ada pula Goa Sulaiman yang terkenal akan keindahannya dan ramai dikunjungi wisatawan minat khusus.
Migrasi manusia
Bukit karst yang dipenuhi goa merentang antara Kabupaten Maros dan Pangkep. Di dalamnya terdapat hutan dengan beragam tanaman serta hewan endemik. Terdapat pula air terjun Bantimurung, yang tak cuma molek, tetapi juga menjadi salah satu tempat populasi kupu-kupu.
Di bukit karst ini terdapat sekitar 300 goa. Tidak hanya indah, tetapi juga lebih dari separuh jumlah goa itu menyimpan kekayaan sejarah dan arkeologi. Pada goa-goa ini para arkeolog dan peneliti terus berusaha menyingkap tabir tentang migrasi dan diaspora manusia dari berbagai ras dan penutur, kebudayaan, dan kearifan masa lalu.
Pada 2014, misalnya, jagat arkeologi dunia tersentak oleh penemuan lukisan cap tangan dan babi rusa berusia sekitar 40.000 tahun di Leang Timpuseng. Penemuan itu sekaligus membuat lukisan tangan di El Castillo, Spanyol, tak lagi menjadi yang tertua di dunia. Masih banyak goa lain yang memiliki kekayaan sejarah sekaligus sederet keindahan.
Ada Leang Bettue di mana arkeolog menemukan perhiasan berusia puluhan ribu tahun. Penemuan ini memiliki arti penting karena membuktikan tingkat kebudayaan manusia yang ada di wilayah Maros dan sekitarnya. Ada pula Leang Burubg, Leang Pettae, Leang Pettakere dengan lukisan tangan dan babirusa yang indah, dan banyak lainnya.
Ancaman tambang
Sayang, keunikan dan kekayaan TN Babul terancam aktivitas pertambangan marmer dan semen di sekitar kawasan. Diduga masih banyak goa yang belum teridentifikasi, tetapi masuk dalam kawasan pertambangan. ”Aktivitas di kawasan pertambangan bukan hanya bisa membuat goa hancur atau rusak, tetapi juga bisa merusak kekayaan seperti lukisan di dinding gua,” kata Budianto.
Taufik Ismail, salah satu staf pengendali ekosistem hutan TN Babul mengatakan, aktivitas pertambangan juga mengancam ekosistem dan konservasi. Pihak TN Babul sejauh ini berusaha menjaga kawasan karst dan keindahan di dalamnya termasuk goa-goa dengan melibatkan masyarakat sekitar. Pelibatan umumnya dengan bentuk pemberdayaan di mana masyarakat bisa mendapat manfaat ekonomi.
”Misalnya, membuat kelompok pengelola madu hutan. Mereka bisa mengambil madu di hutan dan bukit karst, lalu menuai hasilnya. Tetapi, mereka diberi pemahaman bahwa lebah akan tetap ada jika tanaman dan karst tempatnya tumbuh dijaga. Ada juga penangkaran kupu-kupu. Itu sebagian contoh,” kata Taufik.
Balai Arkeologi juga melakukan berbagai upaya penyelamatan goa-goa, terutama yang memiliki kekayaan sejarah dan budaya. Beberapa waktu lalu, Kepala Balai Arkeologi Sulsel Irfan Mahmud mengatakan, pihaknya akan melakukan ekskavasi secara menyeluruh terhadap goa-goa yang ada di kawasan TN Babul. Ekskavasi akan dilakukan dengan cara membuat zonasi hingga seluruh goa tuntas diekskavasi.
”Ekskavasi dengan cara ini akan memastikan di goa mana saja terdapat tinggalan sejarah dan arkeologi dan mana yang tidak. Hasilnya akan kami serahkan ke pemerintah. Data ini nantinya akan memudahkan pemerintah setempat untuk mengatur pengelolaan wilayah dan membagi mana saja yang tak boleh diganggu dan mana yang bisa dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan misalnya tambang atau wisata.” kata Irfan.
Sebagai satu-satunya taman nasional dengan kekayaan karst dan goa, sudah selayaknya ekosistem dan konservasi di TN Babul kita jaga bersama. (RENY SRI AYU ARMAN/LUKI AULIA)