Di siang hari yang terik, kabut di lubuk bawah air terjun menghasilkan pemandangan yang indah dengan ratusan kupu-kupu berwarna jingga, kuning, putih, biru, dan hijau yang terbang dan membentuk awan aneka warna yang mengagumkan.
Begitu tulis naturalis berkebangsaan Inggris, Alfred Russel Wallace, dalam bukunya The Malay Archipelago, yang terbit 150 tahun yang lalu. Ia tak bisa menyembunyikan kegembiraannya ketika menemukan segerombolan kupu-kupu indah saat ia menjelajahi kawasan Bantimurung, khususnya di sekitar air terjun, selama empat hari, 19-22 September 1857.
Wallace bahkan berhasil mendapatkan Papilio androcles, kupu-kupu terbesar dan terlangka di antara jenis kupu-kupu berekor layang-layang. Itu jenis kupu-kupu yang ia idamkan. Dia tak menduga akan ketemu di Bantimurung. Ada enam spesies kupu-kupu jenis itu yang dibawanya pulang setelah didapat dengan susah payah. Ia harus mengikuti kupu-kupu naik turun sepanjang pinggir sungai.
Saat kupu-kupu ini terbang, cerita Wallace, ekornya yang putih dan panjang melambai-lambai bagaikan bendera. Jika sedang hinggap, ekornya membawa mereka terus melayang seakan-akan menjaga dari kemungkinan cedera.
Berbekal buku Wallace, tim Kompas mencoba peruntungan dengan mendapatkan setidaknya foto kupu-kupu layang-layang itu dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (Babul), Maros, Sulawesi Selatan. Namun, tim gagal dan harus puas dengan memotretnya dalam museum kupu-kupu di lokasi penangkaran kupu-kupu. Lokasi yang didatangi sama dengan Wallace, tetapi dengan kondisi berbeda.
Pagi itu tak banyak kupu-kupu yang berkumpul di pinggir sungai. Barangkali karena waktu yang tak tepat. Kupu-kupu paling banyak dijumpai pada saat pergantian musim kemarau ke musim hujan atau sekitar Desember hingga Maret. Hanya satu dua yang terlihat terbang mendekat lalu segera menjauh seakan menggoda minta dikejar. ”Keberadaan kupu-kupu di sini terancam bukan hanya oleh industri tambang, melainkan juga perdagangan untuk dijadikan koleksi atau suvenir,” kata Taufik Ismail, pengendali ekosistem hutan TN Babul.
Kuota tangkapan
Sebenarnya warga di sekitar TN Babul diperbolehkan mengambil kupu-kupu, tetapi tetap ada batasan atau kuota dan harus mengantongi surat izin dari pengelola TN Babul. Namun, kata Taufik, warga tak mau repot mengurus surat izin untuk memperdagangkan kupu-kupu. ”Mereka pilih jalan gampang saja,” kata Taufik yang kerap menemani peneliti asing khusus kupu-kupu dari Hong Kong, Inggris, Jepang, China, Italia, India, Amerika Latin, dan Singapura.
Untuk memastikan kelangsungan hidup kupu-kupu, warga didorong untuk melakukan konservasi dengan mengelola tempat penangkaran kupu-kupu. Ada dua tempat penangkaran di sekitar taman nasional, yakni di Desa Samangki dan Jenetaesa yang didampingi oleh pemerintah. Yang lebih penting lagi adalah menjaga kondisi habitat aslinya.
Permintaan akan kupu-kupu tinggi sehingga tempat penangkaran kerap kesulitan memenuhi. Akibatnya, ada penangkaran yang kini malah membeli kupu-kupu dari warga. Dahulu, selama Agustus-November 1857, Wallace mengumpulkan 232 jenis kupu-kupu, 139 di antaranya jenis Papilionoidea, 70 jenis Hedyloidea atau ngengat (moths), dan 23 jenis Hesperioidae.
Berdasarkan data dari TN Babul, dari hasil kegiatan identifikasi pada 2010 tercatat ada 133 jenis kupu-kupu di Bantimurung. Pada 2011-2016 teridentifikasi 240 jenis Papilionoidea (terklasifikasi ke dalam 5 famili yakni 111 jenis Nymphalidae, 25 jenis Papilionidae, 28 jenis Pieridae, 74 jenis Lycanidae, dan 2 jenis Riodinidae) di kawasan TN.
Keberadaan kupu-kupu penting bagi manusia karena fungsinya sebagai hewan penyerbuk tumbuhan. Ketika kupu-kupu mengisap sari madu dari buah atau bunga, ia membawa serta serbuk bunganya dan menyebarkan ke bunga lain sehingga bisa membuat tumbuhan lain melakukan perkawinan. Dalam hidupnya yang singkat, kupu-kupu tidak hanya indah untuk dipandang tetapi juga memastikan kelangsungan hidup manusia. (luki aulia/ RENY SRI AYU ARMAN)