Masih terjadinya kasus rabies di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, diduga karena pencegahannya tidak sistematis dan terukur. Ini diperparah dengan tidak pernah dilakukannya sensus anjing dan vaksinasi yang tak tuntas.
Oleh
KHAERUL ANWAR
·3 menit baca
MATARAM, KOMPAS - Masih terjadinya kasus rabies di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, diduga karena pencegahannya tidak sistematis dan terukur. Ini diperparah dengan tidak pernah dilakukannya sensus anjing dan vaksinasi yang tidak tuntas terhadap anjing yang terinfeksi virus rabies.
“Memang rabies itu muncul setelah ada korban, karena anjing (liar) tidak terlihat (gejalanya) oleh masyarakat. Jadi, kayak pemadam kebakaran, setelah ada kasus baru ditangani dan mestinya dituntaskan dengan vaksinasi,” ujar drh I Gede Sudiana, Ketua Lombok Animal Rescue Mataram, Senin (30/9/2019), di Mataram. Lombok Animal Rescue adalah lembaga penyayang dan perawat binatang di NTB.
Komentar itu diutarakan Sudiana menyusul penegasan Wakil Gubernur NTB Sitti Rohmi Djalilah dalam acara Peringatan Nasional Hari Rabies Sedunia 2019 di Mataram, Sabtu (28/9). Pada acara itu, Sitti menginginkan NTB bebas rabies tahun 2022 sekaligus menyumbang pada program Indonesia bebas rabies tahun 2030.
Menurut Sudiana, untuk bisa melakukan vaksi antirabies (VAR), sangat bergantung pada data. Namun, selama ini tidak pernah dilakukan sensus populasi anjing di NTB sehingga data populasi hanya berupa perkiraan. Di pihak lain, vaksinasi dilakukan ketika terjadi kasus gigitan anjing terinfeksi virus rabies.
Dalam vaksinasi itu, tidak jarang juga terjadi kekeliruan. Salah satunya yakni yang diberi VAR adalah anjing peliharaan, bukan anjing liar yang justru membahayakan hewan lain dan manusia.
“Waktu terjadi kasus rabies di Dompu, saya tanya kenapa anjing yang ada pemiliknya yang divaksinasi, bukan anjing liar. Mestinya yang dituntaskan vaksinasinya adalah anjing liar karena berpotensi menggigit dan menularkan virus rabies,” ujar Sudiana.
Dia pun menyambut baik target menjadikan NTB bebas rabies 2022. Namun, dalam dua tahun mendatang, upaya itu harus benar-benar digencarkan karena Pulau Sumbawa belum bebas rabies. Penyakit itu juga berpotensi menyebar ke Pulau Lombok.
Sudiana mengungkapkan, pemerintah dapat membuat program yang terencana dan terukur. Hal itu, misalnya, dimulai dengan sensus populasi anjing di tingkat rumah tangga pemelihara anjing, sosialisasi cara pemeliharaan, serta pendataan pernah-tidaknya anjing divaksinasi atau menderita penyakit. Dari situ, pemerintah kemudian menentukan target populasi anjing yang divaksinasi.
“Misalnya, selama dua tahun target yang divaksinasi 70 persen dari total populasi. Sedangkan 30 persen yang ditaksir terinfeksi dibiarkan dan tetap dalam kontrol petugas karena pasti mati dalam dua minggu. Vaksinasi juga dibarengi dengan program KIE kepada pemilik dan masyarakat agar memahami cara memperlakukan anjing guna mencegah penularan rabies," ujarnya.
Kasus rabies terjadi September 2018 di Kabupaten Dompu, tetapi baru ditangani serius Januari 2019 menyusul korban jiwa yang terinfeksi rabies. Korban kasus gigitan anjing di Dompu sebanyak 709 orang, enam di antaranya meninggal. Adapun yang sudah divaksinasi sebanyak 702 orang dengan jumlah anjing yang positif rabies sebanyak 26 ekor.
Kepala Dinas Peternakan NTB Budi Septiani mengatakan, program NTB bebas rabies dimulai dengan validasi populasi serta pengendalian populasi. Ada pula kegiatan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) yang nantinya terintegrasi dengan program revitalisasi posyandu serta vaksinasi di 10 kabupaten/kota NTB. “Pengendalian populasi anjing perlu diperkuat Peraturan Gubernur NTB,” ujar Budi.