Tim gabungan konservasi satwa memindahkan tiga gajah sumatera liar dari Kabupaten Batanghari, Jambi, ke habitat aslinya di ekosistem Bukit Tigapuluh, Kabupaten Tebo.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS - Tim gabungan konservasi satwa memindahkan tiga gajah sumatera liar dari Kabupaten Batanghari, Jambi, ke habitat aslinya di ekosistem Bukit Tigapuluh, Kabupaten Tebo. Hal tersebut demi menyelamatkan hewan dilindungi itu dari potensi konflik dengan manusia.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi Rakhmat Saleh, Senin (30/9/2019), mengatakan, tiga gajah jantan itu berhasil menjalani seluruh proses translokasi pada Minggu (29/9). Gajah dilepasliarkan dalam areal Blok I konsesi restorasi ekosistem PT Alam Bukit Tigapuluh (ABT).
“Kondisi hutan alam dalam wilayah konsesi ini masih sangat baik sehingga memungkinkan gajah hidup lebih aman,” katanya.
Menurut Rakhmat, gajah-gajah jantan itu sejak enam bulan terakhir memisahkan diri dari kelompoknya di ekosistem Bukit Tigapuluh. Dalam wilayah itu, ada kelompok gajah Freda berpopulasi sekitar 30 ekor.
Penjelajahan tiga gajah jantan hingga ke wilayah Batanghari itu berjarak sekitar 70 kilometer. Penjelajahan itu ternyata berdampak mengancam keselamatan mereka sendiri.
Di wilayah Batanghari, keberadaan gajah terdesak oleh para penggarap lahan. Sebagian besar areal yang dulunya masih berhutan kini telah berubah menjadi kebun dan tanaman pangan. Konflik ruang dan sumber makanan akhirnya membawa ketiga gajah mengalami ancaman besar kematian.
Tim translokasi gajah melibatkan berbagai unsur, mulai dari BKSDA, dokter hewan dari Aceh dan Batanghari, serta lembaga konservasi satwa Frankfurt Zoological Society (FZS) dan tim restorasi ekosistem PT ABT.
Sejak Jumat, tim sudah mulai mendeteksi pergerakan gajah. Hari berikutnya, dimulai proses penembakan bius, lalu dilanjutkan dengan penggiringan menuju lokasi baru. Pada Minggu siang, ketiga gajah selesai dilepasliarkan kembali ke dalam hutan.
Direktur PT ABT Dody Rukman menyatakan, berkomitmen mendukung konservasi satwa endemik sumatera tersebut. Keberadaan hutan restorasi ekosistem ini esensial untuk menjaga keberadaan satwa dilindungi yang masih tersisa. Untuk pengamanan, pihaknya menerjunkan 35 personel menjaga kawanan itu dari berbagai gangguan.
Butuh dukungan bersama demi kelangsungan hidup satwa-satwa kunci yang masih tersisa.
Namun, lanjutnya, upaya pengamanan tidak bisa berjalan sendiri. Pihaknya membutuhkan dukungan pemerintah. Terlebih lagi, pembalakan dan perambahan liar dapat menjadi ancaman besar dalam hutan itu. “Butuh dukungan bersama demi kelangsungan hidup satwa-satwa kunci yang masih tersisa,” katanya.
Pegiat Konservasi Satwa Ekosistem Bukit Tigapuluh Alber Tetanus mengatakan, areal konsesi itu merupakan habitat bagi sekelompok gajah sumatera berpopulasi 30 ekor.
Konflik gajah dan manusia terus berkepanjangan di Jambi. Unit Mitigasi Konflik Gajah (ECMU) FZS mendeteksi peningkatan konflik sejak 2010 hingga sekarang. Pada 2010, terpantau 96 konflik. Tahun 2011, naik menjadi 130 kasus. Pada 2017, jumlahnya 271 konflik.
Puncaknya pada 2018, terpantau 346 konflik gajah dan manusia. Rangkaian kejadian itu telah mengakibatkan 9.161 tanaman karet dan sawit mati, 2.475 batang tanaman dan pondok rusak, serta kematian seekor gajah. Kondisi itu disebut-sebut sebagai puncak konflik.
Tutupan hutan di dataran rendah ekosistem Bukit Tigapuluh menyusut drastis. Berdasarkan analisis citra tahun 1985, ekosistem seluas total 651.232 hektar itu masih bertutupan hutan 95 persen. Namun, pada 2005, tutupan menyusut menjadi 77 persen. Tahun 2010, tutupannya tersisa 49 persen saja mencakup taman nasional, hutan produksi, dan sebagian kecil area penggunaan lain.
Dalam habitat itu, populasi gajah sumatera masih berkisar 400 ekor gajah pada tahun 1980-an. Saat ini, jumlahnya menyusut drastis menjadi hanya tersisa sekitar 140 ekor.