Tinggalkan Beban Berat
Rendahnya kepuasan terhadap kinerja DPR 2014-2019 membuat masyarakat tidak memiliki keyakinan yang tinggi terhadap DPR 2019-2024. Kondisi ini menjadi tantangan DPR mendatang.
JAKARTA, KOMPAS - Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat 2014-2019 meninggalkan beban berat bagi DPR 2019-2014 yang akan dilantik esok hari. Keseriusan dalam merealisasikan aspirasi rakyat dan upaya untuk membawa perubahan menjadi dua hal utama yang diharapkan masyarakat terhadap DPR periode mendatang.
Harapan itu menjadi tantangan besar DPR 2019-2024 karena dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 25-27 September 2019, sebanyak 53,5 persen responden menyatakan tidak percaya DPR 2019-2024 akan mampu mendengar aspirasi masyarakat. Selain itu, hanya 26,3 persen responden yang percaya DPR mendatang akan mengutamakan kepentingan rakyat. Sebanyak 32,5 persen responden meyakini DPR akan mengutamakan kepentingan partai serta kepentingan kelompok (27,7 persen).
Jajak pendapat itu dilakukan dengan nirpencuplikan +/- 4,8 persen. Artinya, angka dalam jajak pendapat bisa ditambah atau dikurangi 4,8 persen.
Tidak tingginya keyakinan masyarakat terhadap kinerja DPR 2019-2024 seiring dengan rendahnya kepuasan masyarakat atas kinerja DPR 2014-2019, yang hari ini akan menggelar rapat paripurna terakhir.
Hasil jajak pendapat Kompas 18-19 September, sebanyak 66,2 persen responden merasa belum terwakili aspirasinya oleh DPR 2014-2019. Selain itu, 63,7 persen responden menyatakan tak puas dengan kinerja DPR saat ini di bidang legislasi.
Kinerja DPR di bidang legislasi, terutama terkait pembahasan sejumlah RUU kontroversial, seperti revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi dan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, turut memicu gelombang unjuk rasa mahasiswa belakangan ini.
Representasi
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen, Lucius Karus, Sabtu (28/9/2019), mengatakan, rendahnya kepuasan publik atas kinerja DPR 2014-2019 telah meninggalkan beban berat bagi DPR 2019-2024.
Menurut pengajar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, salah satu masalah utama DPR saat ini adalah belum optimalnya memosisikan diri sebagai lembaga perwakilan yang merepresentasikan kepentingan publik atau pemilihnya.
”Demokrasi mustahil dijalankan tanpa kehadiran parlemen atau lembaga perwakilan. Namun, parlemen yang lemah dalam peran representasi juga menjadi persoalan. DPR adalah lembaga representasi sehingga yang harusnya dibawa ialah representasi publik, bukan semata-mata representasi kepentingan politik tertentu,” kata Zainal.
Unjuk rasa mahasiswa belakangan ini guna menyikapi sejumlah RUU merupakan bentuk kekecewaan publik lantaran suara mereka tidak terepresentasikan di parlemen.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini mengatakan, parlemen lebih merepresentasikan kepentingan pragmatis partai politik yang didominasi oleh kepentingan elite tiap parpol ketimbang kepentingan publik.
”Ada kaitan yang terputus antara suara pemilih di bilik suara dan kebijakan yang dibentuk oleh orang yang mereka pilih. Suara yang diberikan pemilih belum bisa diartikulasikan sebagai suara di parlemen untuk menyuarakan kepentingan mereka. Hal yang justru mendominasi justru kepentingan elite dari setiap parpol asal mereka,” tutur Titi.
Dominasi kepentingan parpol, lanjut Titi, membuat anggota DPR tak berani mengambil sikap berbeda dengan parpol. Kondisi itu akhirnya membuat anggota DPR membangun jarak dengan konstituennya dan tidak optimal menyerap aspirasi pemilihnya.
Persepsi
Anggota DPR terpilih, yang juga Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional, Eddy Soeparno, menyadari anggota DPR 2019-2024 ditantang untuk bisa memperbaiki wajah lembaga legislatif.
Anggota DPR saat ini dari Fraksi Partai Golkar Ace Hasan Syadzily menambahkan, persepsi masyarakat terhadap DPR memang cenderung negatif. Namun menurutnya persepsi itu tidak bisa digeneralisir karena tidak semua anggota DPR dapat dipersepsikan buruk.
Ace menegaskan, tidak semua RUU yang dibahas DPR dan pemerintah, adalah negatif. Ada pula RUU yang dinilai positif oleh masyarakat. “Misalnya, kami di Komisi VIII ada RUU tentang Pesantren, RUU Pekerja Sosial, RUU Penyelenggaraan Haji dan Umroh yang disahkan DPR RI,” sebut Ace.
Anggota DPR RI dari Fraksi PDI-P Andreas Pereira mengatakan, untuk dapat optimal menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat, butuh anggota DPR yang punya kualifikasi representasi, yakni menyadari dirinya mewakili rakyat; dan kompetensi, yakni punya keahlian atau pengetahuan sesuai komisi tempatnya bertugas.
Untuk menghasilkan anggota DPR tersebut, kontrol ada di parpol dan rakyat yang memilih di Pemilu. Ini membuat wajah DPR, menurut Andreas, adalah wajah parpol dan wajah masyarakat politik Indonesia secara umum.