Jalan Panjang Pulihkan ”Bumi Gora”
Memulihkan ”Bumi Gora”, sebutan untuk Nusa Tenggara Barat, pascagempa 2018 perlu perjalanan panjang. Setahun berlalu, rehabilitasi dan rekonstruksi lebih dari 100.000 rumah tak kunjung selesai. Ada berbagai persoalan yang membuat proses menjadi lambat. Para penyintas pun dilanda ketidakpastian kapan mendapat hunian tetap dan bisa pulang.
Pantauan Kompas di sejumlah kabupaten seperti Lombok Barat dan Lombok Utara, proses rehabilitasi dan rekonstruksi (rehab-rekon) rumah rusak berat masih berjalan.
Hanya saja, kemajuan pembangunannya berbeda-beda. Sebagian besar masih berupa fondasi dengan tiang pancang. Ada juga rumah yang sudah hampir jadi, tetapi belum memiliki pintu dan jendela. Walakin, tidak di semua rumah yang tengah dibangun ada aktivitas. Sebagian besar kosong karena tidak ada tukang yang bekerja.
”Kami memang terima jadi. Semua diserahkan ke kelompok masyarakat, fasilitator, dan aplikator (pemborong). Tetapi, sampai sekarang tidak kunjung jadi. Padahal, kami sudah sangat ingin pulang,” kata Muhammad Idris (50) yang sudah setahun tinggal di kompleks hunian sementara (huntara) di Desa Kekait, Kecamatan Gunung Sari, Lombok Barat, bersama sekitar 100 keluarga.
Lambatnya pengerjaan hunian tetap (huntap), menurut Muhammad, karena terbatasnya tukang. Itu tidak hanya terjadi di Lombok Barat, tetapi juga hampir di semua wilayah terdampak gempa di NTB. Di Desa Manggala, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara, misalnya, material bangunan yang telah dibeli tidak kunjung tersentuh karena tukang terbatas.
”Terlalu banyak rumah yang harus diperbaiki. Jadi, begitu membuat fondasi di satu titik, tukang pindah ke titik lain,” kata Abdul Haris (39), Ketua Kelompok Masyarakat (Pokmas) Perintis di Desa Manggala. Haris bersama sekitar 50 keluarga saat ini masih tinggal di huntara di Desa Manggala.
Menurut Haris, seperti para penyintas lain, mereka berharap bisa segera kembali ke huntap. Berada di huntara membuat mereka sulit memulai kehidupan seperti sebelumnya. Selain itu, mereka juga rentan terhadap masalah lain.
”Apalagi mau musim hujan. Kami khawatir banjir lagi seperti tahun lalu,” kata Haris. Terkait dengan kekurangan tukang, penyintas berharap agar mereka bisa menjadi tukang dan mengerjakan sendiri rumahnya. Jika tetap seperti sekarang, proses rehab-rekon huntap bisa tetap lambat.
Banyak persoalan
Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTB, hingga 17 September 2019, dari 222.530 rumah yang menjadi target rehab-rekon, baik rusak berat, sedang, maupun ringan, baru 82.031 unit (36,86 persen) yang selesai. Sementara yang masih dalam proses 92.745 unit. Sisanya, 47.754 unit, merupakan data anomali, belum diketahui tingkat kerusakannya, sehingga saat ini masih dalam proses verifikasi.
Dari seluruh target yang tersebar di tujuh kabupaten kota, yakni Mataram, Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Lombok Utara, Sumbawa Barat, dan Sumbawa, itu, sebanyak 75.195 rumah rusak berat dan baru selesai 22.637 unit. Adapun rusak sedang 32.829 unit dan baru selesai 13.396 unit. Sementara yang rusak ringan 114.506 unit dan baru selesai 45.998 unit.
Tukang yang terbatas sebenarnya hanya satu dari masalah yang membuat proses rehab-rekon huntap penyintas gempa di NTB berjalan lambat.
Aliansi masyarakat sipil untuk pemulihan bencana gempa bumi NTB yang terdiri dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) NTB, Gravitasi, Education Consultant Counseling Career (EC3), Masyarakat Adat Sasak, dan Yayasan Sheep Indonesia mencatat proses rehab-rekon juga bermasalah dengan pendataan, fasilitator, dan aplikator.
Staf Bidang Pengorganisasian dan Advokasi Yayasan Sheep Indonesia Husaini mengatakan, mereka menemukan data yang tidak sinkron antara data yang diajukan masyarakat dan data yang ditetapkan pemerintah.
”Selain itu, ada kekeliruan, misalnya masyarakat yang terdata rumahnya rusak berat, dalam data pemerintah masuk kategori rusak ringan,” kata Husaini. Sementara itu, fasilitator yang ditunjuk membantu dan mendampingi penyintas dalam pembangunan huntap ternyata tidak bekerja sesuai dengan tugasnya.
Bendahara Kelompok Masyarakat Maju Berkarya Desa Kekait H Mujahiddin (50) menuturkan, mereka sempat berencana memulangkan fasilitator yang mendampingi mereka karena malah mengganggu proses rehab-rekon. Tetapi, akhirnya dipertahankan karena khawatir dana stimulans tidak bisa dicairkan tanpa persetujuan fasilitator.
Selain fasilitator, banyak aplikator nakal yang tidak terbuka soal besaran anggaran dana pembangunan hunian. ”Saya tahunya hanya tanda tangan. Sementara berapa biaya yang digunakan untuk membeli material dan sebagainya tidak ada informasi terkait itu,” kata Muhammad.
Menurut Husaini, bahkan ada aplikator yang menipu kelompok masyarakat dan membawa lari dana pembangunan hunian seperti yang terjadi di Dusun Salut Timur, Desa Salut, Kecamatan Kayangan, Kabupaten Lombok Utara.
Rumah tradisional
Banyaknya rumah yang rusak akibat gempa bumi bermagnitudo 7 yang mengguncang Lombok pada 5 Agustus 2018 tidak terlepas dari konstruksi bangunan yang tidak tahan gempa. Sebaliknya, rumah tradisional justru tetap utuh meski diguncang gempa berkali-kali.
Wakil Ketua Majelis Adat Sasak (MAS) Lalu Ari Irawan mengatakan, melihat rumah tradisional yang tetap utuh membuat penyintas ingin kembali menggunakan konstruksi lokal. Hanya saja, itu terkendala masalah bahan baku.
Sardi (27), warga Desa Senaru, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, menuturkan, bahan baku untuk membuat rumah tradisional terbatas. ”Kayu, misalnya, tidak bisa diambil sembarangan karena bisa melanggar hukum,” kata Sardi.
Menurut Ari, jika pihak berwenang mengakomodasi keinginan penyintas, pembangunan huntap bisa lebih cepat. ”Masyarakat bahkan mau memotong pohon kelapanya untuk bahan, tetapi tidak berani karena takut biaya yang mereka keluarkan sendiri, tidak diganti oleh pemerintah,” kata Ari.
Kepala Pelaksana BPBD NTB Ahsanul Khalik mengakui, sejak awal kejadian gempa, mereka tidak memiliki sistem data kebencanaan yang baik. Bahkan, menurut dia, data cenderung amburadul sehingga kemajuan kerja di lapangan sempat tidak mereka ketahui secara pasti.
Terkait dengan fasilitator, sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2018 tentang Percepatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi di NTB, memang disyaratkan ada pemberdayaan masyarakat dalam prosesnya.
”Ini menjadi persoalan. Untuk bisa menerima bantuan stimulans, harus dibentuk kelompok masyarakat. Faktanya banyak permainan. Apakah itu dari aparat pemerintah, masyarakat, aparat desa, fasilitator, atau dari aplikator,” kata Ahsanul.
Terkait dengan hal itu, sudah diambil langkah dengan memecat 400 fasilitator yang kinerjanya tidak baik dan memeriksa 150 orang di antaranya yang diduga melakukan penyelewengan. Adapun aplikator yang membawa lari uang stimulans kini sedang dikejar. Pemberdayaan masyarakat sesuai inpres itu, menurut Ahsanul, juga mendorong penyintas terlibat dalam pembangunan huntap.
Misalnya, ikut menjadi tukang. Penyintas, seperti di beberapa daerah, tetap bisa mengerjakan rumah sendiri walau menggunakan aplikator. Biaya sebagai tukang dan bahan yang digunakan tetap diganti aplikator.
Sementara itu, keinginan penyintas untuk membangun rumah tradisional belum bisa diakomodasi. ”Sampai saat ini, kita belum punya hasil pengujian yang disahkan oleh pemerintah kalau rumah tradisional kita masuk kategori rumah tahan gempa,” kata Ahsanul.
Walakin, menurut Ahsanul, saat ini ada 18 jenis rumah tahan gempa yang bisa dipilih penyintas. ”Kalau dengan kayu, kita punya rika atau rumah instan kayu. Itu sebenarnya yang paling pertama kami sepakati. Tetapi, karena pertimbangan lingkungan, kami membatasi supaya tidak terjadi pembalakan liar,” kata Ahsanul.
Ahsanul mengatakan, pemulihan akan terus menjadi perhatian. Oleh karena itu, pihaknya akan terus mengambil langkah-langkah strategis untuk percepatan pembangunan hunian tetap. Menurut dia, semakin lama tinggal di huntara akan menimbulkan berbagai persoalan bagi penyintas baik pada aspek kesehatan, kesejahteraan, pendidikan, maupun sosial ekonomi.