Penggunaan Bioteknologi Mendesak untuk Jaga Ketahanan Pangan
›
Penggunaan Bioteknologi...
Iklan
Penggunaan Bioteknologi Mendesak untuk Jaga Ketahanan Pangan
Indonesia terancam kekurangan pangan akibat perubahan iklim yang menurunkan produksi pertanian, serta laju pertumbuhan penduduk yang pesat.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Indonesia terancam kekurangan pangan akibat perubahan iklim yang menurunkan produksi pertanian, serta laju pertumbuhan penduduk yang pesat. Penggunaan bioteknologi untuk meningkatkan produktivitas hasil pertanian pun perlu segera diterapkan.
Lahan sawah yang luasnya 10,9 juta hektar saat ini mampu menghasilkan 32,42 juta ton beras dengan konsumsi 29,78 juta ton per tahun. Tanpa loncatan teknologi, pada 2030, jumlah produksi diprediksi hanya naik sampai 48 juta ton beras, namun jumlah konsumsi akan meningkat hingga 60 juta ton per tahun.
Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir di Jakarta, Selasa (1/10/2019), mengatakan, perubahan iklim yang bisa menyebabkan cuaca ekstrem atau tumbuhnya hama tertentu juga bisa mengganggu produksi padi dan tanaman pangan lainnya.
"Dengan jumlah penduduk yang terus bertambah, kita perlu loncatan teknologi untuk meningkatkan produksi pangan," kata Winarno dalam diskusi kelompok terfokus berjudul "Akselerasi Penerapan Teknologi Pertanian di Indonesia".
Direktur Pusat Informasi Bioteknologi Indonesia dan Akademisi Universitas Jember, Bambang Sugiharto, bioteknologi di bidang pangan bisa diterapkan untuk menjawab berbagai kendala produksi pangan.
Bioteknologi adalah teknologi rekayasa genetik yang memanfaatkan makhluk hidup. Teknologi ini, menurut Bambang, lebih baik daripada teknologi konvensional berupa persilangan tanaman yang sulit dilakukan dan membutuhkan biaya pemeliharaan lebih tinggi.
"Kita kaya plasma nutfah yang bisa dipakai sebagai pengembangan bioteknologi, untuk meningkatkan produksi, ketahanan terhadap lingkungan, dan nutrisi tanaman," tutur dia.
Baru-baru ini, benih tebu varietas NXI 4T diluncurkan. Produk rekayasa genetik karya kolaborasi pemerintah, swasta, dan akademisi itu dibuat agar toleran kekeringan.
Setelah mendapat persetujuan Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika (KKHPRG) dan Tim Penilai Pelepasan Varietas Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian, bibit itu mulai dikomersialkan secara terbatas.
"Kita belum berani mengadopsi teknologi tersebut secara meluas. Bahkan sebagian masyarakat menolak karena khawatir pada keamanan pangan hayati," lanjutnya.
Menurutnya, Indonesia sangat tertinggal dalam hal penerapan produk rekayasa genetik di bidang pangan. Padahal, banyak produk pangan impor yang dikonsumsi masyarakat saat ini berbasis bioteknologi. Contohnya, kedelai dan jagung dari Amerika Serikat.
Indonesia sangat tertinggal dalam hal penerapan produk rekayasa genetik di bidang pangan
Data International Service for the Acquisition of Agri-biotech Applications (ISAAA) 2018 menunjukkan, Amerika Serikat telah mengadopsi bioteknologi pada 75 juta hektar atau 93,3 persen dari total lahan pertanian yang dimiliki.
Diikuti Brazil yang mengadopsi bioteknologi pada 50 juta hektar (93 persen) lahan pertanian, Argentina 23,9 juta hektar (100 persen), Kanada 12,7 juta hektar (92,5 persen), dan India 11,6 juta hektar (95 persen).
Adapun jenis produk pertanian yang paling banyak menggunakan bioteknologi adalah kedelai (50 persen), jagung (30,7 persen), kapas (13 persen), dan kanola (5,3 persen). Tahun lalu, bioteknologi juga mulai banyak diterapkan pada tanaman kentang, terong, pepaya, dan apel.