Jaga Pancasila
Saya kurang tertarik kepada televisi karena sulit dijadikan sumber dokumen. Saya mengikuti perkembangan dengan membaca yang tertulis dalam surat kabar.
Dulu, om saya selalu membeli surat kabar Kompas dari sejak awal terbit bersama El Bahar, Berita Yudha, dan Suluh Marhaen. Maka, sejak kecil saya jadi biasa membaca, bersentuhan dengan masalah-masalah kenegaraan.
Sampai kini, saya masih berlangganan Kompas, yang menurut saya mengandung ”DNA” nilai-nilai pembelajaran nan mencerdaskan. Saya mengkliping berita, foto, dan tulisan-tulisan yang bernas, termasuk karikatur Oom Pasikom.
Melalui pelbagai pemberitaan di Kompas, saya melihat upaya bangsa untuk kembali ke Pancasila, yang nilai-nilainya menyatukan sekaligus menghargai perbedaan. Namun, Pancasila yang luhur ini pernah dicibir karena, oleh rezim Orde Baru, Pancasila menjadi kedok iklim represif terselubung. Semua tindakan dilakukan di balik kedok demokrasi pancasila. Dari pemilihan umum yang dikemas hanya memenangkan golongan tertentu, korupsi yang merajalela, hingga pelbagai upaya penyingkiran siapa pun yang ingin berdemokrasi secara benar.
Oleh karena itu, sungguh mengejutkan ketika ada pemimpin partai politik besar yang mengingatkan bahwa demokrasi di Indonesia adalah demokrasi Pancasila.
Demokrasi memang memunculkan banyak makna. Menurut Ir Soekarno dalam ”Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi”, demokrasi adalah ’pemerintahan rakyat’. Ciri pemerintahan ini sekarang menjadi cita-cita semua partai nasionalis Indonesia. (Di Bawah Bendera Revolusi, cetakan keempat, 1965)
Maka, untuk mengembalikan marwah Pancasila, jangan lagi menyebut demokrasi kita demokrasi Pancasila. Idealnya, Pancasila sebagai dasar negara harus dibiarkan berkembang secara utuh, tanpa embel-embel kosakata lain. Jangan lagi ada sebutan demokrasi Pancasila, sepak bola Pancasila, ekonomi Pancasila, ikatan siswi siswa Pancasila, dan seterusnya. Sebab, kalau ada gerombolan berkedok Pancasila yang bertabiat jelek, maka dasar negara Pancasila ikut ditolak rakyat.
Anton De Sumartana, Jalan Paus, Pagelaran, Ciomas, Bogor
Disrupsi Ideologi
Kata disrupsi muncul dan mulai dikenal luas masyarakat seiring dengan hadirnya era Revolusi Industri 4.0.
Dalam KBBI, disrupsi memiliki arti ’hal tercabut dari akarnya’. Masyarakat memasuki suatu fase kekacauan, ketidakteraturan, dan ketidaklaziman akibat perubahan.
Disrupsi, dalam konteks teknologi, merupakan suatu ancaman bagi yang tidak siap menghadapinya.
Ekses Pemilu 2019 ternyata tidak berhenti ketika presiden/wakil presiden terpilih telah ditetapkan KPU dan MK. Residu kekecewaan sekelompok orang akibat kekalahan bermetamorfosis menjadi gerakan yang mengusik eksistensi Pancasila sebagai ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Disrupsi ideologi mulai mengancam keberadaan Pancasila, yang dideklarasikan oleh para pendiri bangsa pada 1 Juni 1945.
Kehilangan kesadaran terhadap nilai-nilai sejarah dan kearifan yang ada di dalamnya memunculkan wacana yang hendak menafikan Pancasila sebagai ideologi dan falsafah bangsa.
Ketika anak bangsa tengah bersiap menyongsong Revolusi Industri 4.0, sangat sulit dimengerti, ada sekelompok orang yang hadir justru dengan agenda politik dan kepentingannya sendiri.
Pancasila sudah final. Masih banyak tugas dan pekerjaan besar yang harus dihadapi dan diselesaikan bangsa ini, untuk secara bersama meraih kemakmuran, kejayaan, dan masa depan yang lebih baik.
Budi Sartono Soetiardjo, Graha Bukit Raya, Cilame, Ngamprah, Bandung