Nadran laut sejatinya tradisi tahunan yang digelar nelayan di pesisir Kabupaten Karawang, Jawa Barat, untuk mensyukuri hasil laut. Namun, di tengah bencana tumpahan minyak yang membuat nelayan tidak bisa melaut dalam dua bulan terakhir, nadran kali ini lebih menjadi sarana memanjatkan doa dan asa agar bencana segera berlalu.
Deru suara mesin perahu memecah keheningan di muara Sungai Cipucuk, Desa Pusakajaya Utara, Kecamatan Cilebar, Karawang, Minggu (22/9/2019) pagi. Cuaca cerah mengiringi semangat nelayan untuk merayakan nadran laut. Setidaknya ada dua puluh perahu siap berlayar untuk melarungkan persembahan dan sesajen di tengah laut.
Alim Mubarik (45), nelayan di Desa Pusakajaya Utara, mengikuti tradisi nadran laut dengan berpakaian rapi. Kaus terbaik berwarna merah dia pakai. Bahan celana panjang hitamnya terlihat halus habis disetrika. Topi bundar menjadi pelengkap gayanya. ”Hari ini jadi momen pertama berlayar ke tengah laut setelah musibah tumpahan minyak,” katanya.
Alim merupakan salah satu nelayan terdampak tumpahan minyak akibat kebocoran anjungan lepas pantai YYA-1 area Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java pada Juli lalu. Nelayan tak bisa melaut karena minyak menutupi perairan tempat mereka mencari ikan.
Dinas Perikanan dan Kelautan Karawang menyebutkan, semua nelayan terindikasi terdampak tumpahan minyak. Mereka tersebar di 12 desa, antara lain di Cemarajaya, Sedari, Sukajaya, Sukakerta, dan Pusakajaya Utara. Ironis, karena pendapatan dari sektor perikanan di kawasan ini pada 2018 mencapai Rp 179 miliar.
Untuk menyambung hidup, sekitar 1.200 orang dari 7.700 nelayan di Karawang turut menjadi sukarelawan yang membersihkan minyak. Mereka diberi upah oleh Pertamina sebesar Rp 100.000 per hari. Jika turut menjaring minyak di atas kapal, setiap nelayan bisa mendapat upah Rp 200.000-Rp 300.000 per hari.
Pendapatan itu belum sebanding dengan hasil Rp 500.000 untuk sekali melaut. Sebagian besar keluarga nelayan pun terpaksa berutang untuk menutupi kebutuhan hidup.
Sebagai bentuk tanggung jawab atas bencana tumpahan minyak, Pertamina memberikan kompensasi awal bagi warga terdampak sebesar Rp 900.000 per orang per bulan. Dana itu diberikan selama dua bulan periode terdampak, yakni Juli-Agustus 2019.
Vice President Relations PT Pertamina Hulu Energi Ifki Sukarya menyampaikan, nominal kompensasi itu bukan jumlah final yang akan diberikan. Sebab, penghitungan kompensasi masih berlangsung, seiring upaya menutup kebocoran sumur bor.
Berharap berkah
Prosesi nadran diawali sehari sebelumnya dengan perarakan miniatur perahu yang dibuat warga. Miniatur perahu dibawa keliling ke beberapa desa di pesisir Karawang. Tumpeng dengan berbagai olahan laut, seperti ikan asin, bandeng goreng, dan udang, turut diarak keliling desa. Tumpeng dan makanan ini yang selanjutnya diperebutkan dan dimakan bersama oleh warga, sebagai simbol berharap berkah melimpah.
Keguyuban warga terlihat saat makan bersama, menikmati tumpengan. Keceriaan warga berlanjut keesokan harinya, saat puluhan perahu turut melarung miniatur perahu, hasil bumi, dan sesajen. Ada pula kepala kerbau dan kepala kambing yang turut dilarung, simbol untuk menolak bala. Sebelum melarung, doa dipanjatkan oleh para sesepuh.
”Kami memohon dengan tulus kepada Tuhan agar diberkahi keadaan yang lebih baik. Kami tidak ingin berlama-lama menghadapi situasi ini,” kata Jaja (29), salah satu nelayan yang turut dalam prosesi nadran laut.
Kepala Desa Sedari Bisri Mustofa mengatakan, para warga prihatin dengan musibah tumpahan minyak ini karena mereka terdampak langsung. Meski begitu, nadran kali ini diharapkan menjadi momentum bangkitnya semangat warga menyongsong harapan ke depan.
”Kami tidak boleh patah semangat karena musibah ini. Ada hikmah yang bisa diambil, semangat gotong royong antara warga kian terjalin. Semoga nadran bisa membangkitkan semangat kami,” ujarnya, seraya berharap uang kompensasi segera diberikan bagi nelayan.
Alim dan istrinya, Rokayah, juga tak ingin ketinggalan berharap. Dalam prosesi nadran itu, Rokayah meraup air laut dengan kedua tangannya lalu dicipratkan ke badan perahu. Hal itu dipercaya mendatangkan keselamatan bagi nelayan saat melaut. ”Semoga semuanya berubah menjadi lebih baik kembali. Jangan lagi ada kejadian seperti ini yang membuat hidup kami semakin susah,” kata Rokayah. (Melati Mewangi)