Pelaku UMKM pada umumnya juga tidak memiliki eksposur kredit valuta asing. Hal itu membuat mereka tidak terdampak volatilitas kurs rupiah terhadap dollar AS.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyaluran kredit perbankan terhadap segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) tetap melaju kencang di tengah kondisi ekonomi yang cenderung lesu. Meski begitu, pertumbuhan kredit UMKM perlu disokong bantuan pemerintah berupa belanja barang dan modal agar tetap tumbuh dua digit hingga akhir tahun 2019.
Dalam rilis Analisis Uang Beredar pada Agustus 2019 oleh Bank Indonesia, penyaluran kredit UMKM mencapai Rp 1.035,5 triliun atau naik 13,3 persen secara tahunan. Pertumbuhan kredit itu juga lebih tinggi daripada bulan sebelumnya yang bertumbuh 11,6 persen.
Kepala Ekonom PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Ryan Kiryanto, di Jakarta, Rabu (2/10/2019), mengatakan, kredit segmen UMKM bisa bertumbuh dalam kondisi ekonomi yang lesu karena jumlah pelaku yang banyak. Menurut Badan Pusat Statistik, jumlah pelaku UMKM di Indonesia lebih dari 50 juta.
”Sebagian besar dari pelaku UMKM masih bertumbuh dan berekspansi sehingga membutuhkan pinjaman bank. Kelincahan dan fleksibilitas yang dinamis membuat pelaku UMKM memiliki daya tahan lebih baik menghadapi ketidakpastian ekonomi,” kata Ryan.
Pelaku UMKM pada umumnya juga tidak memiliki eksposur kredit valuta asing. Hal itu membuat mereka tidak terdampak oleh volatilitas kurs rupiah terhadap dollar AS.
Melajunya pertumbuhan kredit UMKM ternyata tidak diikuti kredit secara umum. Penyaluran kredit secara umum tercatat sebesar Rp 5.489,6 triliun atau hanya bertumbuh 8,6 persen secara tahunan. Jumlah itu lebih rendah daripada pertumbuhan bulan sebelumnya yang mencapai 9,7 persen.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abdul Manap Pulungan, mengatakan, produk UMKM memang relatif aman dari gejolak ekonomi. Hal itu karena produknya memiliki pasar tertentu.
”Produknya tetap tumbuh meski permintaan terhadap produk dari industri besar cenderung melemah. Pasar UMKM bukan hanya ditargetkan mencapai jangkauan lintas negara, tetapi juga memperdalam pasar domestik,” tutur Abdul.
Sementara itu, menurut Abdul, kredit UMKM mampu tumbuh stabil dua digit karena sebelumnya pemerintah telah menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) pada pertengahan 2018. PPh dipangkas dari 1 persen menjadi 0,5 persen. Hal itu terbukti mampu merelaksasi dana yang dimiliki pelaku UMKM.
Kendati bertumbuh, porsi kredit UMKM terhadap total kredit perbankan baru mencapai 19,6 persen per Juli 2019. Adapun Bank Indonesia menetapkan porsi kredit UMKM seharusnya sebesar 20 persen.
Sokongan pemerintah
Sebelumnya, BI berupaya mendorong kredit perbankan dengan beberapa kebijakan, seperti penurunan suku bunga acuan dan pelonggaran giro wajib minimum (GWM). Batasan rasio pinjaman terhadap aset (loan to value/LTV) untuk kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit kendaraan bermotor (KBB).
Menurut Ryan, relaksasi kebijakan BI itu bisa mendorong pertumbuhan kredit UMKM tetap dua digit hingga akhir tahun. Namun, semua itu akan tidak efektif jika permintaan kredit secara nyata dari debitur, baik perorangan maupun korporasi, memang terbatas.
Untuk itu, pemerintah perlu lebih cepat melakukan belanja barang dan modal melalui kementerian dan lembaga. Belanja itu bisa membuat kegiatan ekonomi menggeliat.
”Permintaan kredit secara umum dan oleh UMKM pada khususnya melonjak. Belanja pemerintah yang lebih cepat akan membantu melonggarkan likuiditas di perbankan nasional,” kata Ryan.
Likuiditas perbankan saat ini masih cukup ketat. Rasio pinjaman terhadap simpanan (LDR) mulai melandai ke level 93,8 persen pada Juli 2019, dari bulan sebelumnya 94,2 persen. Namun, LDR itu masih berada di atas batas aman, 92 persen.
Direktur Perbankan Komersial PT Bank Panin Tbk Edy Haryanto menjelaskan, kondisi ekonomi akan sangat berpengaruh terhadap permintaan kredit UMKM. Pelaku UMKM biasanya membutuhkan modal kerja yang banyak saat ekonomi membaik.
”Seperti kita (Bank Panin) banyak peminjamnya, misal, penjual di Glodok dan sekitarnya. Kalau ekonomi bagus, kredit dari mereka lebih terpacu. Mereka bisa stok barang lebih banyak,” kata Edy.
Edy berharap kebijakan moneter yang dilakukan BI bisa berdampak baik, khususnya pada tahun depan. Adapun Bank Panin menargetkan pertumbuhan kredit UMKM tahun ini 8-10 persen.
”Pastinya butuh waktu. Mudah-mudahan dengan pelonggaran, tahun depan lebih baik. Semoga perang dagang ini bisa membaik. Karena, kan, kondisi politik sudah bagus. Seharusnya (ekonomi) kita bisa jalan,” ucapnya.
Abdul menuturkan, pengaruh relaksasi oleh BI baru akan terlihat setelah enam bulan. Adapun kebijakan BI terhadap suku bunga baru dimulai pada Juli 2019.