Pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi dipengaruhi masyarakat sebagai pemberi pinjaman dan peminjam. Penyaluran pinjaman untuk kegiatan produktif dipastikan tetap ada.
Oleh
MEDIANA/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Model penyaluran pendanaan oleh penyedia layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi berbeda dengan jasa keuangan konvensional. Pelaku teknologi finansial cenderung menyalurkan pinjaman sesuai kebutuhan masyarakat.
Adapun penyedia layanan keuangan konvensional menghimpun dana masyarakat kemudian menyalurkannya ke sektor tertentu.
Dengan demikian, di dunia tekfin, penentu sektor atau usaha yang akan diberi pinjaman adalah pemilik dana atau pemberi pinjaman, bukan pengelola platform. Hal ini menunjukkan, masyarakat merupakan pihak yang berperan besar di layanan tekfin.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang dikutip Selasa (1/10/2019), pada layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi, jumlah peminjam sebanyak 518.640 entitas per Juli 2019. Sebagian besar, atau 433.367 entitas peminjam, berdomisili di Jawa.
Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hendrikus Passagi menyebutkan, saat ini usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) lebih banyak didanai layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi. Sebab, kelompok UMKM lebih dulu mengerti mekanisme dan cara mengakses pinjaman ini.
Adapun kelompok lain, seperti nelayan, petani, dan perajin, masih sangat terbatas sebagai peminjam.
Hendrikus menambahkan, pendanaan tekfin untuk kebutuhan produktif saat ini sebesar 60 persen dari total pinjaman, yang kebanyakan untuk UMKM. Adapun 40 persennya untuk konsumtif.
Data OJK per Juli 2019 menunjukkan, akumulasi pinjaman yang disalurkan Rp 49,79 triliun. Adapun outstanding pinjaman Rp 8,73 triliun.
Terkait rencana membatasi penyaluran pendanaan minimal 20 persen untuk produktif, menurut Hendrikus, untuk memastikan agar pendanaan produktif tetap ada.
Mendukung
Dalam kesempatan terpisah, Senior Vice President Head of Corporate Affairs UangTeman Roberto Sumabrata mengatakan, pihaknya telah mengukur dampak bisnis bagi 1.441 nasabah pada Agustus 2019. Hasilnya, sekitar 26 persen pinjaman tersalurkan untuk usaha perseorangan, 22 persen untuk tambahan biaya pendidikan, 10 persen untuk kesehatan, dan sisanya untuk kebutuhan lain.
Berdasarkan pengukuran yang sama, tambah Roberto, satu dari lima nasabah UangTeman dapat mempekerjakan tambahan karyawan. Lebih dari 60 persen nasabah tercatat pernah mengajukan pinjaman lebih dari 30 kali dengan tingkat pengembalian yang baik.
”Jadi, kami rasa, layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi multiguna akan terus berkembang dan bisa membantu meningkatkan inklusi keuangan,” ujarnya.
Terkait rencana alokasi pinjaman produktif, Robertu menyebutkan, hal itu masih merupakan wacana OJK. Namun, ia memastikan, UangTeman siap mendukung. Bahkan, dengan tambahan investasi Rp 143 miliar yang dibukukan pada Agustus 2019, UangTeman akan menyediakan layanan pinjaman khusus untuk usaha mikro.
Co-Founder dan Chief Technology Officer Kredivo Alie Tan menyebutkan, manajemen berencana menambah jumlah karyawan teknik hingga dua kali lipat demi mengejar ekspansi pinjaman produktif, edukasi, dan kesehatan. Rencana ekspansi ini sekaligus mendukung wacana OJK yang mendorong rasio minimum pinjaman produktif.
Alie Tan menceritakan, secara teknis, tidak ada perbedaan signifikan dalam manajemen risiko penyaluran pinjaman konsumtif dan produktif. Bahkan, pengukuran risiko pinjaman produktif untuk UMKM lebih mudah karena tujuan pemakaian kreditnya jelas.
”Ketika masuk ke pinjaman konsumtif, sebenarnya pengukuran risiko calon debitor lebih kompleks. Sebab, penyedia layanan tidak tahu tujuan pemakaian dana kredit secara jelas,” kata Alie.
Co-Founder dan CEO Akseleran, Ivan Tambunan, berpendapat, porsi ideal pinjaman produktif dan multiguna untuk suatu perusahaan bergantung pada model bisnis yang dianut. (NAD/MED)