Pembinaan Usia Dini Juga Membentuk Kepribadian dan Karakter Anak
›
Pembinaan Usia Dini Juga...
Iklan
Pembinaan Usia Dini Juga Membentuk Kepribadian dan Karakter Anak
Membina seorang pemain sepak bola yang hebat dengan kemampuan individu yang mumpuni dan memiliki kepribadian yang baik bukanlah proses yang mudah. Karena itu, peran sekolah sepak bola sangat besar.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Membina seorang pemain sepak bola yang hebat dengan kemampuan individu yang mumpuni dan memiliki kepribadian yang baik bukanlah proses yang mudah. Karena itu, peran sekolah sepak bola atau SSB sangat besar.
Juara bertahan dan pemimpin klasemen sementara Liga Kompas Kacang Garuda U-14 SSB Bina Taruna, misalnya, terus berkomitmen untuk mendidik calon pemain sepak bola yang unggul dalam segi teknik, fisik, inteligensi, dan berkepribadian baik.
Pengurus SSB Bina Taruna, Suko Wibowo, mengatakan, untuk menjadi pemain sepak bola andal, tidak hanya mengutamakan kekuatan fisik dan kemampuan teknik dalam mengolah bola. ”Mereka juga harus memiliki karakter serta kemampuan berpikir yang unggul,” kata Suko saat ditemui di Jakarta, Rabu (2/10/2019).
SSB Bina Taruna mendidik anak dari usia 7 tahun hingga 16 tahun. Beberapa di antara mereka berasal dari luar Jakarta meskipun belum memiliki tim pemandu bakat. Mereka mengandalkan informasi dari kerabat atau hasil pantauan dari turnamen sepak bola antarkampung.
Dua pemain berbakat yang dimiliki SSB Bina Taruna, Dony Tri Pamungkas (14) dan Rifki Sinung Prasetyo (14), misalnya, harus melalui proses yang panjang hingga dapat masuk Bina Taruna Football Academy.
Dony merupakan remaja asal Boyolali, Jawa Tengah, yang dilihat Suko memiliki kemampuan di atas rata-rata dibandingkan dengan rekan sebayanya. Meskipun demikian, ia tetap melalui proses seleksi di bawah bimbingan para pelatih Bina Taruna.
Sinung merupakan remaja asal Sukoharjo, Jawa Tengah. Ia dilihat Suko memiliki kemampuan yang hebat saat mengadakan turnamen sepak bola antarkampung di Boyolali. Sama seperti Dony, Sinung juga harus melalui proses seleksi.
Mereka akan terus dipantau perkembangannya dengan sistem evaluasi enam bulan dan satu tahun. Jika mereka terus berkembang, klub akan mempertahankan untuk dibina ke jenjang berikutnya.
Kedua pemain itu masuk dalam program prestasi dan anak asuh. Biaya sekolah dan asrama mereka ditanggung oleh Bina Taruna yang diperoleh dari sponsor serta donatur. Suko menegaskan, mereka wajib mengikuti sekolah formal dan pembinaan kepribadian seminggu sekali. ”Para pemain juga wajib menjalankan ibadah sesuai keyakinannya masing-masing,” kata Suko.
Bagi Suko, tujuan awal SSB Bina Taruna didirikan agar anak-anak mengikuti kegiatan positif, bebas dari narkoba, dan menjadi generasi muda, sehat, serta kuat. Prestasi mereka di sepak bola adalah buah dari proses pembinaan yang berkarakter unggul tersebut.
Dony dan Sinung pun yakin proses pembinaan di SSB Bina Taruna dapat menjadi jalan mereka untuk meraih mimpi sebagai pemain sepak bola. Mereka melalui segala proses dengan penuh keteguhan meskipun harus jauh dari orangtua.
”Kangen dengan orangtua itu pasti, tetapi kami harus jalani semua prosesnya demi meraih cita-cita sebagai pemain sepak bola,” kata Sinung.
Pembinaan berkelanjutan
Pelatih Kepala SSB Bina Taruna Saut Tobing mengatakan, proses pembinaan usia dini harus berjenjang dan berkelanjutan. Pada usia 7 hingga 12 tahun, anak diajarkan sepak bola yang menyenangkan. Mereka terus dibina agar mencintai sepak bola. Tantangan besar ada di pundak pelatih karena mereka tidak hanya mengajarkan kemampuan bermain sepak bola, tetapi juga harus mampu memahami karakter anak.
Pada usia 7 hingga 12 tahun, anak diajarkan sepak bola yang menyenangkan. Mereka terus dibina agar mencintai sepak bola.
Pada usia 13 hingga 17 tahun, anak mulai diperkenalkan dengan taktik dalam bermain sepak bola. Meskipun demikian, klub tidak dapat memberikan beban yang terlalu berat kepada mereka. Variasi latihan juga dibutuhkan agar anak tidak jenuh.
Proses pembinaan itu sebaiknya dijalani pemain dalam satu klub agar mereka dapat menjalani tiap tahapan dengan baik. Sayang, proses pembinaan yang berjenjang dan berkelanjutan itu belum dapat dilaksanakan di Indonesia.
Saut mengatakan, pemain yunior di Indonesia tidak terikat kontrak dengan klub sehingga orangtua bebas menarik kapan saja sesuai keinginan mereka. Hal itu membuat proses pembinaan menjadi terputus.
Pendekatan langsung kepada pemain dan orangtua juga masih dilakukan beberapa klub sehingga Bina Taruna pun sering kehilangan pemain. ”Cara pendekatan seperti ini jelas merugikan klub yang telah mendidik anak mulai dari nol. Jika ingin sepak bola Indonesia maju, cara pendekatan seperti itu harus dihilangkan sehingga proses pembinaan usia muda dapat berjalan dengan baik,” kata Saut.
Mantan penyerang Krama Yudha Tiga Berlian tersebut menegaskan, setiap klub seharusnya wajib mengikuti proses perekrutan secara profesional sehingga klub kaya tidak akan sewenang-wenang mengambil pemain.
Kasus yang sering dialami Bina Taruna adalah klub yang lebih besar mengiming-imingi orangtua dan pemain dengan uang. Alhasil, pemain mencari alasan untuk keluar dari Bina Taruna. Hal itu membuat motivasi pemain hanya berorientasi untuk mendapatkan uang yang banyak dan mengesampingkan nilai-nilai dari proses pembinaan usia dini.