Target pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,2 persen tahun ini agaknya berhadapan dengan jalan terjal. Kelesuan ekonomi global dan perang dagang Amerika Serikat-China menekan ekspor-impor Indonesia. Sisi suplai barang dan jasa ini kemudian menekan pendapatan masyarakat dan konsumsi rumah tangga sehingga menahan laju pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) tentang Perekonomian Indonesia Triwulan II-2019, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) pada pertengahan tahun ini baru terakumulasi sekitar 5,05 persen. Masih di bawah target yang ditetapkan dalam RAPBN tahun 2020. Hal ini menyebabkan pemerintah skeptis terhadap pencapaian sasaran yang telah ditetapkan tahun ini.
Kementerian Keuangan pada akhir September lalu memperkirakan PDB Indonesia sepanjang tahun 2019 hanya tumbuh sekitar 5,08 persen. Jadi, hanya ada pertambahan pertumbuhan ekonomi 0,03 persen selama Juni-September 2019. Menilik data pertumbuhan ekonomi triwulan II-2019, dari sisi pengeluaran, tampak faktor eksternal Indonesia berdampak pada pencapaian PDB saat ini. Dari enam komponen utama penyusun pengeluaran PDB, hampir semuanya mengalami pertumbuhan positif.
Ada empat komponen dengan pengeluaran yang meningkat. Keempatnya ialah konsumsi rumah tangga, konsumsi lembaga nonprofit yang melayani rumah tangga (LN-PRT), konsumsi pemerintah, dan pembentukan modal tetap bruto (PMTB) atau investasi.
Dua komponen lain, yakni ekspor barang dan jasa serta impor barang dan jasa, mengalami pertumbuhan negatif. Notasi minus dua faktor ini mengindikasikan sisi eksternal yang melibatkan perdagangan dengan sejumlah negara cenderung mereduksi kemajuan ekonomi.
Komponen ekspor yang negatif menandakan nilai barang dan jasa yang dikirim ke luar negeri berkurang. Dengan kata lain, permintaan luar negeri terhadap produk domestik Indonesia menyusut sehingga mengurangi pemasukan devisa bagi negara.
Hal senada terjadi di sisi impor yang sedang mengurangi permintaan barang dari luar negeri. Berkurangnya impor menandakan sejumlah hal, antara lain ada kenaikan harga produk impor, perubahan selera konsumen, atau akibat kondisi tertentu sehingga impor menyusut. Dalam transaksi perdagangan internasional ini, ekspor diharapkan lebih besar dari impor agar neraca perdagangan Indonesia selalu surplus.
Tujuannya, devisa nasional bertambah dan memperkuat perekonomian nasional. Bukan sebaliknya, cadangan devisa nasional tergerus apabila terjadi defisit neraca perdagangan internasional. Saat ini, kondisi defisit membelenggu Indonesia.
Situasi perdagangan
Dalam periode yang sama, antara Januari dan Agustus pada rentang tahun 2015-2019, neraca perdagangan Indonesia mayoritas menorehkan pembukuan yang surplus. Namun, sejak dua tahun terakhir pada 2018-2019, neraca perdagangan selalu negatif. Pada 2018, defisit ekspor terhadap impor mencapai 4,15 miliar dollar AS, sementara pada tahun ini setidaknya sudah 1,8 miliar dollar AS.
Salah satu penyebab defisit tersebut adalah menurunnya surplus pendapatan neraca perdagangan nonmigas sehingga tak mampu lagi menutup neraca perdagangan migas yang selama ini defisit. Artinya, pendapatan penjualan nonmigas tak mampu menutup biaya pembelian migas sehingga mengambil sebagian cadangan devisa nasional untuk menutup pembayaran migas itu. Hal ini mulai terjadi sejak 2018 hingga sekarang.
Hal yang patut menjadi perhatian Indonesia sekarang adalah fenomena penurunan permintaan barang ekspor nonmigas dari Indonesia di sejumlah negara. Hal ini sangat berdampak bagi neraca perdagangan Indonesia pada masa mendatang.
Setidaknya kini ada tujuh mitra utama tujuan ekspor Indonesia yang mengurangi jumlah permintaan barang, yaitu China, Jepang, Amerika Serikat, India, Australia, Korea Selatan, dan Uni Eropa. Mereka pada 2018-2019 mengurangi nilai impor dari Indonesia hingga sekitar 6,8 miliar dollar AS. Hal ini tentu mengkhawatirkan karena bukan tidak mungkin permintaan barang dari mereka terus berkurang.
Berdasarkan proyeksi yang dipaparkan Kementerian Keuangan, sejumlah negara maju pada 2019 dan 2020 memiliki tren pertumbuhan ekonomi yang menyusut. Pada 2018, negara-negara maju masih tumbuh 2,2 persen, tetapi tahun 2019 diperkirakan hanya tumbuh 1,9 persen, dan pada tahun 2020 angka itu susut lagi menjadi 1,7 persen.
Sejumlah negara maju, seperti Amerika Serikat, negara-negara Eropa, dan Jepang, mengalami pertumbuhan yang menurun itu. Hal serupa terjadi di China, yang merupakan negara dengan perekonomian terkuat kedua di dunia setelah Amerika Serikat. China pada 2018 memiliki pertumbuhan ekonomi hingga 6,6 persen, tetapi pada 2019 diproyeksikan tumbuh melambat menjadi 6,2 persen dan pada 2020 anjlok lagi menjadi 6 persen.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi negara-negara mitra dagang yang strategis bagi Indonesia itu bukan tak mungkin berdampak bagi pelambatan ekonomi nasional. Dengan pertumbuhan yang kian rendah, niscaya setiap negara berusaha menjaga cadangan devisa tak keluar lebih banyak dalam transaksi internasional. Caranya, mengurangi atau menghentikan sementara permintaan impor, atau mencari barang pengganti yang lebih murah dari negara lain.
Hal ini tentu merupakan ancaman bagi kemajuan Indonesia yang menganut perekonomian terbuka. Apabila benar pengurangan impor dilakukan sejumlah negara mitra strategis Indonesia, maka Indonesia harus siap-siap untuk menghadapi dampak pelemahan ekonomi global. Salah satu efeknya berupa penurunan penerimaan pajak dari perusahaan eksportir karena produk yang dijual di pasaran internasional berkurang.
Tekanan sektor konsumsi
Berdasarkan laporan BPS, struktur PDB berdasarkan pengeluaran pada triwulan II-2019 masih memiliki komposisi yang tak jauh berbeda dari waktu-waktu sebelumnya. PDB masih didominasi konsumsi rumah tangga hingga 55,79 persen.
Selanjutnya diikuti komponen investasi 31,25 persen, ekspor barang dan jasa 17,61 persen, serta sisanya adalah konsumsi pemerintah, perubahan inventori dan konsumsi LN-PRT. Adapun komponen impor barang dan jasa sebagai faktor pengurang dalam PDB memiliki peran 18,53 persen.
Apabila mengacu pada perbandingan waktu triwulanan, terlihat komponen ekspor barang dan jasa kian menyusut kontribusinya. Pada triwulan II-2019, komponen itu hanya menyumbang 17 persen. Padahal, pada triwulan I-2019, sumbangannya mencapai 18,54 persen. Jika dibandingkan pada tahun sebelumnya, yakni pada triwulan I dan II 2018, sumbangan pengeluaran sektor ekspor ini mencapai lebih dari 20 persen.
Hal ini mengindikasikan sektor perdagangan internasional Indonesia sedang mengalami penurunan permintaan ekspor. Penurunan itu menunjukkan fenomena pelemahan ekonomi global. Sejumlah negara ekonomi maju hampir bersamaan mengurangi permintaan barang.
Hal ini tentu menimbulkan masalah bagi Indonesia yang sedang bersemangat untuk memacu kemajuan ekonomi. Ekspor, yang diharapkan
terus meningkat guna menambah devisa negara, untuk sementara akan berkurang kontribusinya.
Penurunan ekspor juga diikuti dengan berkurangnya pengeluaran impor Indonesia. Pada triwulan II-2019, pengeluaran impor menyusut menjadi 18,53 persen dari setahun sebelumnya yang berkisar 20 persenan.
Penurunan ekspor yang diikuti dengan pelemahan impor pada gilirannya memperkecil kapasitas produksi, menekan pendapatan masyarakat, dan akhirnya mengurangi konsumsi dalam negeri. Inilah tantangan yang tengah dihadapi perekonomian nasional. Tekanan pada perekonomian nasional muncul dari sisi penawaran barang dan jasa.
Pengeluaran konsumsi rumah tangga relatif sulit untuk ditingkatkan selama tidak ada unsur pemasukan tambahan keuangan bagi keluarga. Meski demikian, situasi ini masih bisa dihadapi Indonesia dengan terus berupaya memacu pertumbuhan ekonomi dari sektor non-konsumsi, yakni komponen konsumsi pemerintah dan investasi.
Komponen pengeluaran konsumsi pemerintah dapat ditingkatkan dengan menambah belanja pemerintah. Hal ini tentu berkaitan dengan kebijakan anggaran yang bersifat ekspansif. Artinya, pemerintah dapat melakukan pinjaman untuk menambah pengeluaran belanja guna mengakselerasi pertumbuhan ekonomi di berbagai sektor.
Tentu hal ini harus sesuai dengan aturan yang sudah ditetapkan Kementerian Keuangan, yakni utang tersebut tidak membebani anggaran negara pada masa yang akan datang. Selain itu, utang pemerintah harus diprioritaskan untuk belanja program pembangunan, baik fisik maupun nonfisik, sehingga ada keuntungan yang dipetik pada masa mendatang dari utang itu.
Selanjutnya, untuk komponen investasi, sebisa mungkin pemerintah mampu mendatangkan investasi langsung dari luar negeri untuk melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia. Dengan kehadiran investasi asing, akan terdapat tambahan dana di pasar domestik yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, kehadiran investasi langsung dari luar negeri ini perlu peranan pemerintah yang serius dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif.
Faktor politik serta keamanan harus terjaga setiap saat, infrastruktur tersedia dengan lengkap serta berkualitas baik, bahan baku yang murah dan berkualitas juga terjamin, serta kemudahan dalam birokrasi perizinan. Dengan sejumlah faktor ini, niscaya investor tertarik untuk menanamkan modal di Indonesia. Apalagi, Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia sehingga dapat menjadi pasar potensial bagi investor.
(Budiawan Sidik A, Litbang Kompas)