Pemberian buku digital di Kalimantan Utara dengan pendampingan rutin bisa meningkatkan minat baca siswa. Buku digital tersebut berupa buku cerita.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Pemberian buku digital di Kalimantan Utara dengan pendampingan rutin bisa meningkatkan minat baca siswa. Buku digital tersebut berupa buku cerita.
JAKARTA, KOMPAS — Literasi dasar merupakan penentu keberhasilan literasi lainnya. Pembudayaan membaca kepada anak-anak sedari usia dini menjadi kunci. Para guru di kelas I hingga III SD memiliki tugas berat untuk memastikan siswa menyukai membaca dan memiliki ketertarikan untuk terus mencari bahan-bahan bacaan yang baru dan bermanfaat melalui pendekatan membaca interaktif di kelas.
Metode tersebut diterapkan melalui program rintisan inovasi kerja sama antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama Pemerintah Australia serta pemerintah daerah di Kabupaten Malinau dan Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara (Kaltara). Proyek literasi dasar berfokus kepada para siswa kelas I, II, dan III SD karena apabila mereka tidak mampu membaca dan memahami kalimat akan sukar untuk belajar mengenai mata pelajaran lain.
”Tahun 2030 Indonesia bisa meraih bonus demografi dengan syarat generasi mudanya memiliki kemampuan literasi mumpuni sehingga berpola pikir pemelajar sepanjang hayat dan bisa beradaptasi dengan perubahan,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kemdikbud Totok Suprayitno ketika memberikan sambutan pada ”Temu Inovasi: Kolaborasi dalam Meningkatkan Kemampuan Literasi Siswa SD/MI Kelas Awal” di Jakarta, Kamis (3/10/2019).
Berdasarkan data Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia yang diadakan oleh Kemdikbud pada 2016, 46 persen siswa SD mengalami kesulitan mengeja yang berdampak kepada hambatan membaca. Sementara itu, pada 2018 Bank Dunia mengeluarkan laporan pendidikan yang mengungkapkan bahwa 55 persen siswa SMP di Indonesia tidak memahami teks yang mereka baca. Mereka bisa melafalkan kalimat, tetapi tidak mampu menangkap makna tersurat dan tersiratnya.
Berdasarkan data Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia pada 2016, 46 persen siswa SD mengalami kesulitan mengeja yang berdampak kepada hambatan membaca.
Totok mengatakan, masalah ini tidak bisa diselesaikan dengan sekadar mengajar siswa melek huruf latin. Harus ada pendekatan yang lebih substantif dan sistem penataran yang selama ini dilakukan secara masif oleh pemerintah terbukti tidak efektif untuk menyelesaikan tantangan. Justru inisiatif dan pendekatan-pendekatan unik berbasis akar rumput yang bisa mencari celah intervensi secara pas untuk situasi lapangan.
Minim buku cerita
Inovasi memilih Kaltara karena provinsi termuda di Indonesia dan merupakan daerah perbatasan dengan Malaysia. Mereka mengadakan Survei Inovasi Pembelajaran dan Pendidikan Indonesia pada November-Desember 2017 yang menunjukkan bahwa 68 persen buku yang dibaca oleh siswa adalah buku pelajaran. Hanya 17 persen yang membaca buku cerita, majalah, ataupun surat kabar. Kendala untuk membeli dan meminjam bahan bacaan adalah faktor pemengaruh utama karena letak kecamatan yang tersebar dan jauh jaraknya satu sama lain membuat pengadaan buku non-pelajaran sukar.
Manajer Inovasi untuk Kaltara Handoko Widagdo mengatakan, langkah yang diambil ialah memberikan buku elektronik (buku-el) kepada para guru. Penyediaan buku bekerja sama dengan The Asia Foundation dan penerbit yang menyortir buku-buku cerita sesuai dengan jenjang usia anak. Terdapat 250 judul buku yang bisa diunduh melalui aplikasi di telepon pintar guru. Cara membacanya adalah dengan menggunakan proyektor di kelas yang dihubungkan ke telepon pintar guru untuk menayangkan cerita bergambar di dinding kelas.
Terdapat 250 judul buku yang bisa diunduh melalui aplikasi di telepon pintar guru.
”Faktor terpenting ialah membimbing guru secara rutin bahwa membaca di kelas tidak hanya untuk hiburan, tetapi ada tujuan pemelajaran yang hendak dicapai. Jadi, guru—pertama-tama—menentukan target pemelajaran, misalnya ingin mengembangkan kosa kata siswa, mengenal tanda baca, mengenal ragam emosi, atau bisa membuat kalimat panjang. Setelah itu, baru mereka memilih buku-el yang cocok dengan tujuan tersebut,” paparnya.
Interaktif
Guru SDN 023 Tanjung Selor, Bulungan, Ratihniati, mengungkapkan, siswa sangat senang dengan membaca memakai proyektor. Bagi mereka seperti menonton film di layar tancap. Kelebihan berikutnya ialah karena visualnya berasal dari satu sumber di dinding, mereka fokus memperhatikan. Diskusi juga lebih mudah dilakukan karena buku memiliki ilustrasi yang menarik.
Siswa sangat senang dengan membaca memakai proyektor. Bagi mereka seperti menonton film di layar tancap.
”Memang ada tiga siswa dengan hambatan belajar lebih banyak dibandingkan dengan siswa lain. Tapi, dengan memakai buku-el, setiap pulang sekolah mereka bisa diberi dampingan khusus dengan membaca buku-buku yang teksnya lebih pendek dan mudah. Setelah itu, perlahan mereka bisa mengikuti pembahasan tentang buku-buku yang dibaca di kelas,” ujarnya.
Guru SDN 005 Malinau Kota, Sabaniah memaparkan strategi yang ia pakai. Mayoritas siswanya tidak pernah mengecap pendidikan anak usia dini sehingga ketika masuk SD adalah kala pertama mereka mengenal huruf latin dan bahasa Indonesia. Satu hingga dua hari pertama biasanya dilakukan dengan melihat-lihat gambar buku-el. Mereka belum membaca teks, melainkan menebak jalan cerita dari ilustrasi yang mereka lihat. Setelah itu, baru perlahan masuk ke membaca teks dengan memperkenalkan kosa kata.
Sementara itu, Guru SDN 005 Tanjung Palas Timur, Bulungan, Yosep, memilih menyortir ulang buku-el koleksinya untuk mencari cerita yang memiliki teks pendek dengan kosa kata berulang-ulang untuk mengajar siswa kelas I. Sebagai tambahan, ia juga mengunduh video dan foto dari internet untuk memperkuat visual cerita.