Aparat Hong Kong akan semakin keras terhadap pengunjuk rasa yang sudah berdemonstrasi selama hampir empat bulan.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
HONG KONG, KAMIS — Aparat Hong Kong akan semakin keras terhadap pengunjuk rasa yang sudah berdemonstrasi selama hampir empat bulan. Relawan kesehatan dan jurnalis rawan menjadi korban di tengah rangkaian unjuk rasa yang kerap berujung ricuh itu.
Pemerintah Hong Kong mengeluarkan tiga kebijakan yang mengindikasikan sikap makin keras itu. Pertama, undang-undang darurat akan dihidupkan lagi. Dengan UU itu, aparat bisa melarang dan membubarkan paksa massa yang berkumpul tanpa izin resmi. Kedua, melarang pengunjuk rasa memakai penutup wajah dalam bentuk apa pun. Ketiga, mengurangi panduan prosedur penangan unjuk rasa oleh polisi.
Anggota DPR Hong Kong, Dennis Kwok, menyebut bahwa pemberlakuan UU darurat adalah permulaan Hong Kong masuk ke negara otoriter. UU itu dibuat selama Hong Kong dikendalikan Inggris dan tidak dicabut. ”Seharusnya pemerintah mendengar warga,” ujarnya, Kamis (3/10/2019).
Tidak semua pihak menentang kebijakan itu. Indeks bursa saham Hong Kong naik 0,3 persen setelah diumumkan larangan penggunaan penutup wajah oleh pengunjuk rasa. Larangan itu diprediksi akan mengurangi pengunjuk rasa. Rangkaian unjuk rasa ikut menekan perekonomian Hong Kong. ”Larangan penutup wajah memberi harapan kepada investor bahwa ada peluang untuk meredakan protes. Beberapa orang akan berpikir ulang jika bisa dikenali selama unjuk rasa,” kata Steven Leung yang bekerja di lembaga investasi UOB.
Selama ini, pengunjuk rasa menutup wajah, terutama agar tidak dikenali aparat. Pengenalan bisa membuat mereka mendapat masalah hukum dan itu akan buruk bagi masa depan mereka.
Panduan
Kepolisian Hong Kong juga mengurangi panduan kepada anggotanya yang menangani unjuk rasa. Di lapangan, polisi tidak lagi harus terus-menerus berpaku pada panduan. Mereka diizinkan bertindak sesuai perkembangan situasi di lapangan. Mereka juga tidak lagi harus bertanggung jawab secara pribadi atas tindakan di lapangan. ”Perubahan ini sangat penting. Dengan menghapus ketentuan itu (tanggung jawab pribadi), kepolisian akan mendukung tindakan anggotanya,” kata anggota DPR Hong Kong, Tanya Chan.
Dalam panduan baru itu, polisi didorong menggunakan aneka pendekatan saat menghadapi perlawanan serius. Tindakan itu termasuk menembakkan gas air mata dan menggunakan semprotan merica. Polisi di lapangan juga didorong menggunakan peluru karet, meriam air dengan unsur gas air mata, dan peluru pundu kacang apabila berhadapan dengan perilaku agresif.
Dokumen panduan itu diketahui beredar di polisi pada 30 September 2019. Dalam unjuk rasa pada 1 Oktober 2019 atau bertepatan dengan peringatan hari jadi ke-70 China, polisi bertindak keras. Setidaknya 1.400 tabung gas air mata, 900 peluru karet, dan 6 peluru tajam ditembakkan. Sekurang-kurangnya 100 orang terluka selama unjuk rasa itu. Sejak rangkaian unjuk rasa terjadi pada Juni 2019, baru kali ini peluru tajam digunakan.
Sebelum peluru tajam digunakan, sudah banyak korban cedera, di antaranya Veby Mega Indah. Mata kanan jurnalis asal Indonesia yang bekerja untuk harian Suara di Hong Kong itu terluka karena peluru karet.
Konsulat Jenderal RI di Hong Kong masih menunggu hasil penyelidikan aparat atas insiden yang menimpa Veby. Belum diketahui secara pasti mengapa Veby sampai terkena peluru karet di mata kanan.
Hal yang jelas, Veby bersama para jurnalis lain tengah meliput bentrokan pengunjuk rasa dan polisi. Seperti jurnalis lain, Veby mengenakan helm, rompi berwarna terang, tanda yang menunjukkan diri sebagai jurnalis, dan kacamata. Rompi terang membuat para jurnalis dan relawan kesehatan bisa dikenali di tengah pengunjuk rasa yang mayoritas berbaju hitam dan polisi berbaju hijau dan putih.
Beberapa bulan lalu, seorang relawan kesehatan juga terkena peluru karet di mata. Relawan yang tidak kunjung diungkap identitasnya itu dipastikan buta mata kanannya gara-gara insiden itu. (AFP/REUTERS)