Chelsea memetik kemenangan pertamanya di Liga Champions musim ini. Hasil positif di kandang Lille itu menjadi motivasi ekstra bagi para pemain "generasi milenial" Chelsea untuk tampil semakin baik di berbagai kompetisi.
Oleh
Yulvianus Harjono
·4 menit baca
LILLE, RABU – Klub Liga Inggris, Chelsea, kian menunjukkan jiwa muda seperti yang diinginkan manajernya, Frank Lampard. Karakter anak-anak milenial, yaitu penuh gairah dan avonturir, mengantarkan mereka meraih kemenangan perdananya di Liga Champions musim ini, yaitu 2-1 atas Lille di penyisihan grup H Liga Champions, Kamis (3/10/2019) dini hari WIB.
Ketika mayoritas klub mapan menurunkan pemain berpengalaman di kompetisi elite Eropa itu, Lampard justru sebaliknya. Ia menurunkan banyak pemain muda. Hampir separuh dari skuad Chelsea di laga itu merupakan remaja yang belum genap berusia 23 tahun, seperti Tammy Abraham, Mason Mount, Reece James, Fikayo Tomori, dan Callum Hudson-Odoi. James, yang diturunkan sejak menit pertama, bahkan baru berusia 19 tahun.
Hasilnya, tiga pemain belia itu, yaitu Abraham, Tomori, dan Hudson-Odoi, berperan dalam kedua gol “The Blues”. Berbeda pula dengan era manajer-manajer sebelumnya, baik Jose Mourinho, Maurizio Sarri, maupun Antonio Conte, Chelsea saat ini sangat fleksibel dalam hal taktik. Mereka hobi bereksperimen dan mencoba berbagai sistem permainan dari laga ke laga. Ketika bertamu ke Stadion Pierre-Mauroy di Perancis, kemarin, misalnya, Chelsea mengabaikan pola empat bek sejajar dan beralih ke formasi 3-4-3.
Para alumnus akademi (Chelsea) mendapatkan tempat berkat kerja kerasnya
Formasi itu memungkinkan Chelsea lebih mendominasi bola di lini tengah sekaligus menangkal umpan silang dan serangan balik yang selama ini menjadi kelemahan mereka. Di dalam sistem itu, kedua bek sayap, James dan Marcos Alonso, tampil sangat dinamis dalam melapis pertahanan maupun membantu serangan. Ketika bertahan, formasi permainan mereka berubah menjadi 5-3-2.
“Kami telah mengasahnya (taktik baru) saat latihan. Manajer selalu ingin fleksibilitas itu. Kami bisa memainkan berbagai sistem. Inilah yang harus kami praktikkan di sepanjang musim ini,” ujar Abraham, striker yang mencetak gol pertama Chelsea di laga itu.
Taktik 3-4-3 yang menempatkan trio Abraham, Willian, dan Mount di lini serang, sebetulnya bukan hal baru bagi Chelsea. Pola itu pertama kali diperkenalkan eks manajernya, Conte, pada pekan ketujuh Liga Inggris musim 2016-2017. Sebelum itu, Chelsea masih memakai sistem klasik, 4-3-3. Namun, rapuhnya pertahanan dan kekalahan beruntun di Liga Inggris dari Liverpool dan Arsenal memaksa Conte membongkar taktiknya.
Conte lantas beralih ke pola 3-4-3. Sejak tampil konsisten dengan pola itu, Chelsea mencatatkan 13 kemenangan beruntun dan menjadi juara kejutan di akhir musim itu. Namun, taktik ini lantas dibuang begitu Sarri mengambil-alih The Blues pada musim lalu. Manajer yang memberikan trofi Liga Europa 2019 itu sangat fanatik dengan taktik 4-3-3 ofensif, sehingga tidak memberi ruang pola tiga bek sejajar untuk dimainkan di tim.
Gaya Lampard
Lampard merupakan tipikal manajer yang berbeda dari kedua pendahulunya, Conte maupun Sarri. Ia nyaris tidak peduli dengan taktik maupun formasi. Baginya, itu hanya alat untuk mengejar hal sesungguhnya, yaitu praktik permainan ofensif. Tidak heran, sepanjang musim ini, termasuk sejak persiapan, pramusim mantan pemain Chelsea itu telah memainkan empat sistem berbeda, yaitu 4-3-3, 4-2-3-1, 4-4-2, dan 3-4-3.
Pola 3-4-3 pertama kali diterapkannya pada laga kontra Wolverhampton Wanderes di Liga Inggris, 14 September lalu. Saat itu, taktik tersebut dipakai sebagai solusi jangka pendek guna mengatasi pola serangan balik Wolves. The Blues menang telak 5-2 di markas Wolves ketika itu. Kesuksesan taktik itu membuat Lampard kembali menerapkannya pada laga perdana Liga Champions musim ini di Stamford Bridge, 18 September lalu.
Namun, masalahnya, lawan yang dihadapi kala itu adalah Valencia, tim yang solid dan tajam di lini depan. Tanpa gelandang N’Golo Kante dan bek sayap ofensif seperti James, The Blues kurang solid dalam menyerang maupun bertahan sehingga takluk 0-1. Pada laga kontra kontra Lille, kedua pemain itu bisa tampil, sehingga mampu menciptakan keseimbangan antarlini.
Lampard pun memuji keterbukaan para pemainnya yang bersedia tampil di posisi dan sistem yang berbeda-beda. James, misalnya, sejatinya bukan bek sayap kanan natural seperti Victor Moses, mantan pemain Chelsea. Namun, ia tampil cukup baik di laga itu. Begitu pula dengan Mount. Gelandang serang itu diminta Lampard bermain sebagai penyerang sayap kiri di laga itu.
Padahal, empat pemain muda yang tampil sebagai pemain inti Chelsea, kemarin, hanya tampil di divisi kedua Liga Inggris alias Championship pada musim lalu. Kini, mereka menembus level elite alias Liga Champions. “Para alumnus akademi (Chelsea) mendapatkan tempat berkat kerja kerasnya. Fans, saya, dan klub menyukainya. Mereka kini mendapat pengakuan di (level) internasional,” tutur Lampard. (AFP)