Penerbitan perppu merupakan hak konstitusional presiden dan sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tokoh-tokoh nasional meminta Presiden Joko Widodo untuk tidak ragu-ragu menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Penerbitan perppu diyakini sebagai upaya paling cepat untuk meredakan situasi dan merupakan langkah konstitusional.
Tokoh-tokoh nasional yang terdiri dari budayawan, pakar hukum, dan peneliti, kembali berkumpul di Jakarta, Jumat (4/10/2019) sore. Mereka, di antaranya, adalah Emil Salim, Albert Hasibuan, Mochtar Pabottinggi, Bivitri Susanti, Franz Magnis-Suseno, dan Taufiequrrahman Ruki. Mereka sebelumnya diundang Presiden Joko Widodo ke Istana Negara pada 26 September 2019 untuk membahas kemungkinan penerbitan Perppu KPK.
Mereka berkumpul untuk mendukung Presiden menerbitkan Perppu KPK. Selain itu, para tokoh tersebut mencoba meluruskan pandangan keliru yang telah berkembang di masyarakat soal penerbitan perppu. Taufiequrahman menyampaikan, berbagai argumen politisi mengenai penerbitan perppu justru tidak akurat.
”Publik dibuat tersesat dalam opini bahwa perppu tidak bisa dikeluarkan. Bahkan, sebagian pihak mengatakan, Presiden bisa dijatuhkan apabila mengeluarkan perppu,” ujarnya.
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan, penerbitan perppu merupakan hak konstitusional Presiden dan sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 22 UUD 1945 menyatakan, dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
Mahkamah Konstitusi (MK) kemudian memberikan penafsiran dalam putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010. MK menyebutkan, ada tiga alasan lahirnya perppu. Pertama, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan suatu masalah hukum secara cepat berdasarkan UU.
Kedua, UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum. Kalaupun UU tersebut telah tersedia, itu dianggap tidak memadai untuk mengatasi keadaan.
Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena memakan waktu cukup lama. Padahal, keadaan mendesak tersebut perlu kepastian hukum untuk diselesaikan sesegera mungkin.
”Perppu sepenuhnya wewenang presiden dengan pandangan subyektifnya. Sehingga tidak akan dapat digunakan untuk menjatuhkan presiden. Terlebih dalam sistem presidensial, kedudukan presiden sangat kuat,” tutur Bivitri.
Bivitri menjelaskan, pemakzulan presiden hanya dapat dilakukan jika melakukan pelanggaran berat dan pidana berat yang diatur dalam Pasal 7A UUD 1945, misalnya, penyuapan, korupsi, dan tindakan penghianatan terhadap negara.
Dua pilihan
Berdasarkan pertimbangan itu, tokoh nasional meminta Presiden Jokowi tidak ragu-ragu menerbitkan Perppu KPK. Bivitri menyampaikan, ada dua pilihan Presiden untuk menerbitkan perppu, yaitu sebelum atau sesudah tanggal 17 Oktober 2019.
Dua pilihan yang diambil bisa berimplikasi pada sinyal atau komitmen pemberantasan korupsi dari presiden. Apabila presiden menandatangani RUU KPK yang telah disetujui pemerintah dan DPR pada 17 September 2019 sebelum 17 Oktober 2019 presiden bisa saja dipersepsikan mendukung UU KPK baru yang isinya dinilai melemahkan KPK.
”Tapi, jika presiden segera menerbitkan perppu setelah UU KPK ditandatangani, itu akan mempercepat penerbitan perppu,” ujar Bivitri.
Pilihan kedua, presiden bisa memilih untuk tidak menandatangani UU KPK yang telah disetujui hingga melewati tanggal 17 Oktober 2019. Setelah melewati tanggal tersebut, UU KPK secara otomatis akan sah menjadi UU meski tak ditandatangani presiden. Presiden bisa menerbitkan perppu sesegera mungkin setelah RUU KPK menjadi undang-undang.
”Jika pilihan kedua yang diambil, ini memberi sinyal bahwa Presiden pun sebenarnya tidak setuju dengan UU KPK yang baru,” katanya.
Kalaupun nantinya Presiden tak menerbitkan perppu, Bivitri menyampaikan, langkah yang bisa ditempuh untuk mencegah pelemahan KPK adalah dengan legislative review di parlemen atau judicial review di MK.
Dikonfirmasi terkait kemungkinan batalnya penerbitan Perppu KPK, Tenaga Ahli Utama Deputi IV Kantor Staf Kepresidenan Ali Mochtar Ngabalin mengatakan, Presiden tidak pernah ragu ketika UU KPK datang dari DPR untuk ditandangani. Ali menyebutkan, UU KPK merupakan keputusan politik negara.
”Presiden tidak ragu-ragu, apa yang telah diputuskan oleh DPR kemudian itu menjadi keputusan politik negara,” ujarnya.
Terkait anggapan Presiden mengulur-ulur waktu untuk menandatangani UU KPK yang telah disetujui pemerintah dan DPR untuk menjadi UU pada 17 September 2019, Ali menyatakan, Presiden sebagai seorang kepala negara mesti mendengarkan masukan, saran, dan kritik.
”Ini, kan, Presiden orang Solo, Jawa, jadi tidak tergesa-gesa mengambil keputusan,” katanya.