Saya Lindungi Mereka dengan Nyawa Saya...
Kerusuhan pecah di Wamena, Papua, 23 September 2019. Lebih dari 10.000 warga menunggu eksodus dari kota di tengah Pulau Papua itu. Mereka pergi membawa kasih nyata warga Wamena.
Senin (23/9/2019) pukul 08.00 WIT, Titus Kogoya (45) bersama sejumlah kerabat berada di pusat kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya. Pagi itu, kota dataran tinggi nan sejuk di Lembah Baliem tersebut berubah ”panas”.
Saat hendak menarik uang di ATM, Titus, yang berencana menggelar penguburan jenazah salah satu kerabatnya, melihat ribuan orang memadati ruas jalan. Massa merusak dan membakar bangunan. Penghuni rumah diserang.
Titus bergegas kembali ke rumahnya di Kampung Mawampi, Distrik Wesaput, dekat area Bandar Udara Wamena. Beserta kerabatnya, Abeni Kogoya (42), ia kumpulkan sekitar 100 warga dari luar Wamena di rumahnya itu.
Rata-rata warga itu bekerja sebagai sopir mobil rental, tukang ojek sepeda motor, dan pemilik kios. Titus dan Abeni bersama sekitar 300 warga lokal kemudian menutup jalan masuk Kampung Mawampi dengan melintangi kayu. Lokasi itu berada sekitar 500 meter dari rumah Titus.
Tepat pukul 09.00, massa bersenjatakan parang dan panah mencoba masuk ke kampung itu. Namun, warga menolak kedatangan mereka dan meminta massa segera pergi. ”Kami telah siap menghadapi mereka apabila tetap nekat masuk mengacaukan keamanan di Mawampi,” kata ayah tiga anak itu di rumahnya, Rabu (2/10).
Berkat upaya Titus dan warga lain itu, massa batal merusak Mawampi. Warga asal daerah lain yang berada di rumah Titus selamat hingga Wamena kondusif sore itu.
Lewat kenalannya, seorang polisi, dua truk polisi datang membawa warga ke Markas Polres Jayawijaya. ”Bagi kami, mereka bukan hanya tetangga, melainkan keluarga yang hidup bersama di kompleks permukiman ini,” ujar Titus. Tetangganya ada yang dari Jawa, Makassar, dan daerah lain.
Hal serupa dilakukan Theodorus Pawika yang bermukim di Jalan Wouma, Wamena. Pukul 09.00, ratusan orang membakar ruko dan rumah di ruas jalan itu. Pria berusia 60 tahun ini menyembunyikan 16 warga di kamarnya. Mereka adalah pemilik kios, warung makan, dan tukang ojek sepeda motor.
Sekitar 500 orang memegang batu, parang, dan panah berdiri di depan rumah Theodorus. Mereka menuntut Theodorus menyerahkan 16 warga itu. Namun, ayah lima anak itu, didampingi cucunya, tegas menolak massa.
Ia pun mengusir massa hingga pergi. ”Saya katakan, jika mereka mati, saya juga harus mati. Mereka anak-anak saya yang hanya mencari hidup di Wamena. Saya akan lindungi,” ujar Theodorus.
Sangat bersyukur
Keluarga Mak’iel (36) adalah salah satu yang dilindungi Titus dan tetangga. Jika tak ada mereka, entah apa nasibnya. ”Mungkin sudah meninggal,” kata pria asal Probolinggo, Jawa Timur, itu. Ia tak henti berterima kasih atas kebaikan warga.
Rabu pagi itu, Mak’iel bersama istrinya, Atik, menidurkan anak mereka, Ulil Albaq (2) dan Syaiful yang masih 7 bulan, di atas tikar di pengungsian Mapolres Jayawijaya. Bersama 3.000 warga lain, mereka ada di lokasi itu sejak kerusuhan 23 September. Jika malam, suhu udara di Wamena bisa 10 derajat celsius.
Rasa syukur dan terima kasih juga diungkapkan Dwi Josanyoto (40), juga pengungsi di Mapolres Jayawijaya. Saat kerusuhan, massa siap membakar rumahnya dan warga lain berisi tujuh orang di Pikhe.
Bensin telah disiramkan di kedua rumah itu. Namun, tiba- tiba Utu (23), kenalan baik Dwi, muncul dan meminta massa mengurungkan niat. Seperti mukjizat, massa memenuhi permohonan Utu.
Warga segera dibawa Utu ke salah satu gereja di Pikhe. ”Kami bersembunyi di sana hingga mengungsi ke polres pada sore hari,” kata Dwi. Unjuk rasa berujung kerusuhan di Wamena sudah lewat. Selain menimbulkan eksodus warga luar Papua yang tinggal di Wamena, kini kota itu lengang.
Hingga Kamis (3/10), ribuan tentara dan polisi masih berjaga-jaga di sejumlah lokasi. Patroli selalu dilakukan. Ribuan warga menunggu diangkut pesawat Hercules TNI AU tujuan Jayapura. Lalu, sebagian berlanjut, di antaranya ke Sulawesi Selatan, sejumlah bandara di Pulau Jawa, Sumatera Barat, dan Nusa Tenggara.
Di banyak lokasi, suasana sepi dari pagi hingga malam hari. Perkotaan lengang. Hanya sedikit orang beraktivitas di luar. Kondisi sangat berbeda saat pembukaan Festival Budaya Lembah Baliem ke-30 di Distrik Walesi, 7 Agustus 2019. Saat itu, sepanjang ruas jalan di Wamena ramai wisatawan lokal dan mancanegara. Berlalu lalang. Sekitar 1.000 wisatawan menyaksikan tarian kolosal 500 pelajar dari SMA Negeri 1 Wamena, juga bermacam tarian dari 40 distrik di Jayawijaya.
Yang terjadi September lalu masih tanda tanya. Peneliti LIPI, Adriana Elisabeth, yakin, warga Papua, seperti Wamena, menerima warga luar yang mengadu nasib di Papua. Ia menduga kerusuhan itu dirancang, entah oleh siapa. Mendengar kisah para penyintas, kasih sayang warga Wamena itu nyata. ”Saya akan melindungi mereka dengan nyawa saya,” kata Theodorus.