Dari Perahu Ketek ke ”Sepur Pucuk Pala”
Dalam kenangan Yokhe Firmansyah (34), 15 tahun lalu, ia kerap naik ketek, perahu kayu ukuran 0,5 meter x 3 meter, saat bepergian dari rumahnya di Kelurahan Silaberanti, Kecamatan Seberang Ulu I, menuju kawasan Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan.
Kini perahu ketek diganti moda transportasi modern yang disebut oleh mantan Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin sebagai sepur pucuk pala, kereta api yang berjalan di atas kepala, alias light rail transit (LRT) atau kereta ringan.
”Dulu, saya naik perahu untuk jalan-jalan dan mencari ikan,” ujar Yokhe, Jumat (27/9/2019). Sekitar 20 tahun lalu, kawasan hulu Kota Palembang itu masih sangat tertinggal. Sebagian besar kawasan berupa rawa yang ditumbuhi teratai. ”Sekali menyewa perahu sekitar Rp 2.000,” katanya.
Saat itu, pembangunan hanya terjadi di kawasan hilir. Warga Palembang kerap menjuluki kawasan hulu sebagai ”tempat jin buang anak”. Ketika menumpangi angkutan umum, sopir kerap berteriak, ”Kota, kota!” untuk menawari penumpang dari kawasan hulu untuk menuju kawasan hilir.
Wajah Palembang mulai berubah tahun 2000, saat terpilih menjadi tuan rumah penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional tahun 2004. Menurut Yokhe, kawasan hulu mulai dibenahi, terutama Jakabaring.
Jakabaring, bagian dari Seberang Ulu yang pada 2017 menjadi kecamatan sendiri, mulai dihuni saat Jembatan Ampera dibuka tahun 1965. Semula kawasan itu berupa lebak (rawa). Kemudian warga berbagai suku datang membangun rumah panggung sederhana.
Penelusur sejarah Kota Palembang dari Universitas Sriwijaya, Raden Muhammad Ikhsan, menuturkan, Jakabaring merupakan akronim sejumlah suku bangsa yang mendiami kawasan itu, yakni Ja (Jawa), Ka (Kaba yang berarti Kamu dalam bahasa Lahat, merepresentasikan suku Lintang, Lahat), Ba (Batak), dan Ring (Komering).
Mantan Camat Seberang Ulu I Rusli Nawi mengatakan, rencana pembangunan kawasan Jakabaring dimulai tahun 1990 saat Sumsel dipimpin Gubernur Ramli Hasan Basri. Lahan sekitar 1.000 hektar dibebaskan dengan harga Rp 400-Rp 1.000 per meter persegi. Lahan mulai dibangun menjadi kawasan olahraga Jakabaring saat gubernur dijabat Rosihan Arsyad tahun 2001.
Bukan perkara mudah membangun gedung di atas rawa. Penimbunan dilakukan dengan menyemprotkan pasir dari Sungai Musi dan Sungai Ogan ke atas rawa yang memiliki kedalaman 20 meter. Pada masa Gubernur Syahrial Oesman, tiga gedung dibangun, yakni Stadion Sepak Bola Gelora Sriwijaya, GOR Ranau, dan GOR Dempo. Saat PON 2004 digelar di Palembang, tiga gedung itu digunakan.
Pembangunan masif terjadi pada masa Gubernur Alex Noerdin. Ada 21 arena olahraga dibangun di kawasan Jakabaring yang kemudian disebut Jakabaring Sport City (JSC). Berbarengan dengan pembangunan JSC, dibangun pula hotel, restoran, pusat perbelanjaan, dan perumahan. Pembangunan itu mengubah wajah kawasan rawa. Perahu yang dulu ditumpangi Yokhe punah. Yang ada jalan beraspal sehingga Yokhe beralih naik sepeda motor.
Pembangunan kian gencar saat Palembang bersama DKI Jakarta menjadi tuan rumah Asian Games 2018. Dibangun rel kereta ringan sejauh 22,3 kilometer dari JSC ke Bandara Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II. Rel sepur pucuk pala yang ditopang oleh 860 pilar itu membuat pembangunan Jakabaring dan Palembang sekan ”melompat”.
Sepur itulah yang kini digunakan Rahmalia (27), warga Sungai Pinang, Kecamatan Jakabaring, sebagai moda transportasi menuju dan pulang kerja. ”Selain murah, LRT jauh lebih nyaman dibandingkan angkutan lain,” katanya.
Ia pernah menggunakan jasa ojek daring menuju tempat tugasnya di Kantor Gubernur Sumsel. Namun, ongkosnya Rp 36.000 sekali jalan. ”Kalau menggunakan LRT, saya hanya bayar Rp 5.000 sekali jalan dari Stasiun Dirjen Perkeretaapian di Kawasan Jakabaring (DJKA) menuju ke Stasiun Dinas Perhubungan (Dishub),” kata ibu muda yang mulai menggunakan LRT pada November 2018 saat hamil itu.
Dari Stasiun Dishub, ia jalan kaki hingga Kantor Gubernur Sumsel. Untuk menuju Stasiun DJKA, dari rumah ia diantar suami dengan mobil.
Perlu berbenah
Namun, moda transportasi itu perlu dibenahi karena belum ada angkutan penghubung antara stasiun dan permukiman warga serta waktu tunggu lama. ”Kalau saya tidak tepat waktu, saya bisa menunggu hingga 30 menit,” ujar Rahmalia. Hingga kini, keterisian LRT baru 30 persen.
Wali Kota Palembang Harnojoyo mengatakan, pembangunan LRT dan arena olahraga membuat pendapatan asli daerah (PAD) naik akibat tumbuhnya hotel dan restoran di Palembang. Pajak hotel dan restoran pada 2017 meningkat dari Rp 85 miliar menjadi Rp 180 miliar tahun 2018. Pajak bumi dan bangunan juga naik karena harga tanah naik. Total PAD Palembang 2018 Rp 700 miliar dan ditargetkan naik jadi Rp 1,2 triliun tahun 2019.
Kepala Balai Pengelola LRT Sumatera Selatan Rosita mengatakan, pembenahan terus dilakukan mulai dengan menata rute angkutan umum, terutama bus Trans Musi, agar menjadi angkutan pengumpan. ”Dari enam koridor, tinggal satu yang masih berimpit. Dalam waktu dekat diharapkan tuntas,” katanya.
Sabtu (28/9), LRT dioptimalkan. Waktu tempuh dipersingkat dari 60 menit menjadi 47 menit, hampir sama dengan perjalanan darat tanpa macet, yakni 40 menit. Waktu antara kereta dipersingkat dari rata-rata 30 menit menjadi 18 menit. Frekuensi perjalanan ditingkatkan dari 54 perjalanan menjadi 78 perjalanan.
”Hal ini merupakan upaya pemerintah agar penumpang LRT lebih mendapat kepastian waktu,” kata Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi yang hadir di Palembang. Ia berharap, dengan optimalisasi itu, tingkat keterisian LRT meningkat menjadi 60 persen.
Menurut Budi, Palembang beruntung. Dengan jumlah penduduk 1,8 juta orang, Palembang sudah memiliki LRT. Moda itu lebih cocok digunakan pada kota-kota yang padat penduduk dengan jumlah penduduk minimal 3 juta orang.
Pengamat transportasi dari Universitas Sriwijaya Joni Arliansyah mengatakan, LRT harus lebih nyaman, cepat, dan murah. ”Jika terpenuhi, pasti akan menjadi pilihan,” ujarnya. Menurut dia, perlu waktu untuk membuat LRT menjadi transportasi utama di Palembang. Diperlukan penyesuaian karena tak mudah ”melompat” dari perahu ketek ke kereta ringan.