Keboan Aliyan, Ritual Mistis Masyarakat Agraris
Aroma dupa perlahan menyeruak, menusuk hidung. Tabuhan gamelan dengan melodi berulang diiringi pukulan kendang yang rancak menggetarkan gendang telinga.
”Endi kaok’e wong Aliyan (Mana sorakkan warga Aliyan),” teriak Kepala Desa Aliyan Anton Sujarwo. Teriakan dari atas panggung itu langsung disambut sorak-sorai puluhan warga, ”kulululuk-kulluluk… kawuk-kawuk… wuwuwu….”
Tiba-tiba saja suara riuh, dari gerbang desa berlari sejumlah pemuda sambil berusaha membuka jalan untuk seorang tua yang berjalan sempoyongan. Tangannya memegang alas tungku dengan bara yang menyala dan asap yang mengepul ke arah wajahnya.
Mulut lelaki tua itu terus- menerus memamah beras kuning hingga menyisakan buih di sekitar mulutnya. Napasnya mendengus sambil sesekali berjalan membungkuk mendekati sebuah kubangan yang sudah disiapkan di tengah halaman kantor Desa Aliyan.
Di depan kubangan, lelaki tua itu menceburkan diri. Sejumlah pemuda yang sedari tadi mengiringinya berusaha menariknya agar tidak terlalu lama kepalanya terendam di air berlumpur.
Lelaki tua itu Irin. Perilakunya hari itu benar-benar menyerupai kerbau. Setelah berkubang, ia mendekat ke panggung kecil tempat seorang sesepuh adat yang dipercaya sebagai pawang. Oleh sang pawang, lelaki tua itu diberi makan rumput dan beras kuning.
Warga menyebut tradisi ini Keboan Aliyan, ritual yang selalu digelar pada bulan Suro. Tradisi ini merupakan bentuk syukur atas panen yang melimpah, sekaligus memohon agar dijauhkan dari serangan hama ataupun penyakit yang bisa merusak tanaman. Tahun ini Keboan Aliyan digelar pada Minggu (8/9/2019).
Tidak ada yang tahu pasti tahun berapa dan zaman apa tradisi ini lahir. Sejarah itu tersimpan melalui cerita turun temurun yang didengar dan dipercaya masyarakat Aliyan hingga kini.
”Suatu ketika terjadi serangan hama besar-besaran yang merugikan warga. Raden Pekik dan Raden Turonggo yang bertapa untuk memohon petunjuk kepada Buyut Wongso Kenongo diminta menggelar ritual keboan,” ujar Jumhar (70), tetua adat Desa Aliyan.
Dalam ritual itu, Raden Pekik dan Raden Turonggo bertindak seperti kerbau. Keduanya juga harus berkubang di sawah. Sehari sebelum ritual tersebut, juga harus digelar sabung ayam, pergelaran wayang kulit, selamatan (syukuran) desa dengan makan bersama dan memasang kiling di sawah-sawah.
Kiling adalah kincir angin yang terbuat dari bambu. Kincir tersebut memiliki bentuk yang khas karena mempunyai bagian yang menyerupai ekor. Apabila tertiup angin, ekor akan melambai-lambai searah dengan arah angin. Kiling juga mengeluarkan bunyi yang khas, ”wungg-wungg-wung” menyerupai suara lebah.
”Kiling iku arane pengiling supaya orang Aliyan panggah iling sawah hang dadi sumbere urip (kiling itu artinya pengingat bagi warga agar orang Aliyan tetap ingat pada sawah yang menjadi sumber kehidupannya,” kata Jumhar.
Adapun acara sabung ayam, pergelaran, dan selamatan desa merupakan cara agar warga tetap guyub. Syukuran desa ini digelar pada pagi hari sebelum ritual keboan. Seusai syukuran, beberapa lelaki yang kerasukan dan berperilaku seperti kerbau diantar ke rumah Jumhar. Kini giliran para ”kebo” itu disuguhi makan.
Saat makan, mereka tak lagi menggunakan tangan. Kepala mereka mendekati piring. Nasi, sayur, dan lauk-pauk yang disuguhkan langsung disantap menggunakan mulut. Mereka juga mulai memakan beras kuning dan rerumputan.
Jumhar tak hanya menyuguhkan sesajen dan makan untuk para ”kebo”. Ia juga harus membeber sejumlah gambar hewan-hewan yang menjadi hama pertanian, seperti belalang, tikus, wereng, dan katak. Hama-hama itu yang akan dilawan oleh para ”kebo”.
Kerasukan
Setelah semua ”kebo” berkumpul, warga akan mengarak mereka ke balai desa. Satu ”kebo” didampingi dua orang yang bertugas menjaga agar ”kebo” tidak lari ke sungai atau sawah.
Hari itu sekitar 20 orang berperilaku seperti kerbau. Jumhar mengatakan, mereka memang kerasukan kerbau sehingga perilaku dan kekuatannya benar-benar menyerupai kerbau. ”Kalau tangannya sudah menyilang di depan dada, itu tandanya sudah kerasukan,” ujarnya ringan.
Salah satu pria yang dirasuki kerbau adalah Basrin (58) atau yang biasa dipanggil Irin. Sejak puluhan tahun lalu, Irin selalu kerasukan saat ritual keboan. Wawancara dengan Irin baru bisa dilakukan seminggu setelah ritual keboan. Pasalnya, kalau diwawancara sesaat setelah ritual keboan, ia hanya menjawab dengan lenguhan khas kerbau.
Irin tidak tahu mengapa dirinya bisa kerasukan. Ia hanya tahu bahwa dulu kakeknya juga kerap menjadi ”kebo”. Ia juga tidak tahu apa yang ia lakukan, menggigit tungku panas dan mengunyah beras kuning juga tak terasa. Irin hanya ingat merasakan pusing dan mual-mual lalu tak sadarkan diri. Ia kembali sadar seperti manusia normal saat acara keboan sudah selesai.
”Biasanya sejak 1 Suro saya sudah merasakan seperti ada yang datang lalu saya pusing dan mual. Saya akan meminta ”ia” pergi dulu. Nanti saja datang lagi kalau sudah mau keboan,” kata Irin. Sehari sebelum ritual keboan, rasa pusing dan mual semakin menjadi. Irin yang sudah tak mampu lagi menolaknya hanya bisa pasrah.
”Sore-sore lagi duduk di depan rumah tiba-tiba seperti orang linglung. Diam saja. Egh… kok tiba-tiba keluar suara ngik-ngok-ngik-ngok koyo kebo. Kalau sudah seperti itu, sudah kerasukan kebo. Saya minta tetangga menjaga agar tidak lari ke sungai,” ujar Marni, istri Irin.
Irin dikenal sebagai ”Jenderal Kebo Aliyan”. Ritual keboan itu baru dimulai jika Kebo Irin menilai sesajen, hidangan, dan gambar-gambar hama yang disiapkan sudah lengkap serta sesuai.
Menolak
Pernah suatu ketika, Irin menolak menjadi ”kebo”. Ia memilih melarikan diri ke Desa Galekan di perbatasan Banyuwangi dan Situbondo. Namun, baru sampai Sukowidi yang berjarak sekitar 25 km dari Desa Aliyan, Irin merasa kepalanya pusing dan perutnya mual.
Ia merasa akan dirasuki roh kerbau. Sepeda motor yang ia kendarai sesekali oleng. Irin menolak tubuhnya dirasuki. Sesampainya di Watu Dodol, 35 km dari Aliyan, akhirnya ia menyerah. Irin tak bisa melanjutkan pelariannya. Ia juga enggan kembali ke Aliyan. Akhirnya, ia hanya mampu terduduk lemas di samping sepeda motornya.
”Waktu Irin melarikan diri, kebo-kebo di Aliyan kacau. Semua hidangan yang sudah saya sajikan diobrak-abrik. Kebonya marah karena Irin menolak jadi kebo,” kata Jumhar.
Penolakan tidak hanya sekali terjadi. Tradisi ini pernah ditolak Pemerintahan Desa Aliyan pada tahun 1990-an. Mereka melarang tradisi ini digelar. Lebih dari 5 tahun, tradisi ini hilang.
Akibatnya, hama wereng dan tikus menyerang pertanian warga. Bertahun-tahun para petani Desa Aliyan mengalami gagal panen.
”Hancur lebur pertanian kami. Sawah tak bisa memberikan kesejahteraan. Bahkan, mau makan saja kami tidak punya beras dan harus beli. Mau beli tidak ada uang. Kami terpaksa menjual perabotan hingga pintu rumah,” kata Sutikno (52), salah satu warga Aliyan.
Baru pada 1998, tradisi Keboan Aliyan kembali dihidupkan. Sejak saat itu tidak pernah lagi ada hama mengganggu pertanian warga Aliyan.
”Pertanian memang menjadi bagian penting dalam hidup masyarakat Aliyan. Dari total 5.500 orang jumlah penduduk, 80 persen di antaranya merupakan keluarga petani. Mereka hidup dari 400 ha sawah yang ada di Desa Aliyan,” ujar Kepala Desa Aliyan Anton Sujarwo.
Dosen Sastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember, Novi Anoegrajekti, pernah mengkaji ritual keboan tersebut. Menurut dia, ritual tersebut merupakan bagian dari budaya yang dihayati sebagai warisan leluhur. Melestarikan warisan budaya menunjukkan penghormatan terhadap leluhur yang mewariskannya. Acara itu sekaligus sebagai salah satu identitas masyarakat yang mengikat secara sosial.
”Kebo adalah binatang sahabat petani dalam mengolah dan menjaga kesuburan tanah. Dewi Sri sebagai dewi kesuburan dibantu kerbau dalam menyuburkan dan menghalau hama pengganggu tanaman,” ujarnya.
Ritual keboan biasa dilakukan pada bulan Suro yang dihayati masyarakat sebagai bulan khusus yang berkaitan dengan relasi manusia dengan hal-hal yang adikodrati. Novi mengatakan, tradisi ini merupakan ekspresi religiusitas masyarakat Osing.
Keboan merupakan cara masyarakat Osing di Desa Aliyan menjaga alam dan lingkungannya. Di tengah masifnya pembangunan, mereka masih menempatkan sawah dan elemen- elemen penjaganya sebagai sesuatu yang penting.
Semoga sawah di Desa Aliyan tetap terjaga dan tidak berganti dengan bangunan-bangunan beton. Jangan biarkan Kebo Aliyan berkubang di tengah beton karena kehilangan sawahnya. Seperti pesan dari kiling: ”Kiling iku arane pengiling supoyo orang Aliyan panggah iling sawah hang dadi sumbere urip”.