Stagnasi reformasi di tubuh TNI terlihat dari melemahnya kontrol otoritas sipil atas militer. Ada dugaan penyimpangan yang luput dari pengawasan pemerintah dan parlemen.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat diminta terus meningkatkan kontrol atas militer. Hal ini bertujuan agar reformasi di tubuh TNI tidak stagnan atau malah mundur ke belakang.
Wakil Direktur Imparsial Ghufron Mabruri, Jumat (4/10/2019), di Jakarta, menyatakan, stagnasi reformasi di tubuh TNI terlihat dari melemahnya kontrol otoritas sipil atas militer. Ada dugaan penyimpangan yang luput dari pengawasan pemerintah dan parlemen.
Dia mencontohkan tentang kerja sama TNI dengan sejumlah kementerian serta pengangkatan perwira TNI aktif di kementerian yang tak ada dalam Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Dalam UU itu, TNI aktif hanya diperbolehkan menduduki jabatan sipil pada 10 instansi sipil dengan syarat ada permintaan dari instansi terkait, yaitu Kemenko Polhukam, Kementerian Pertahanan, Setmilpres, BIN, Sandi Negara, Lemhannas, Wantanas, SAR, BNN, dan MA. Apabila prajurit TNI ingin menduduki jabatan sipil di luar 10 instansi itu, ia perlu mengundurkan diri dari dinas aktif militer.
Akan tetapi, pada September lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan melantik perwira menengah di TNI Angkatan Udara, Kolonel (Pas) Roy Rassy Fay M. Bait sebagai Kepala Bagian Umum dan Hukum Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia ESDM.
Menurut Ghufron, ini akan menjadi justifikasi normatif bagi TNI untuk kembali masuk ke ranah sipil. ”Terkait hal ini, belum ada evaluasi dari pemerintah dan DPR sebagai pengawas di sektor keamanan,” katanya.
Reformasi TNI merupakan bagian dari reformasi sektor keamanan (RSK). Sejak 1998, TNI diamanatkan untuk fokus pada pembangunan profesionalismenya dalam menghadapi peperangan. Kedudukan militer aktif pada berbagai instansi sipil kemudian dihentikan.
Akan tetapi, dalam perkembangannya, lanjut Ghufron, sejumlah agenda itu mandek. Sebut saja tentang restrukturisasi komando teritorial, pembentukan undang-undang tentang tugas perbantuan sebagai dasar hukum pelibatan militer dalam operasi militer selain perang (OMSP), dan revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Peringatan hari ulang tahun ke-74 TNI yang jatuh pada esok hari menjadi momentum untuk mendorong reformasi di tubuh TNI.
HUT ke-74 TNI
Dia menyatakan, peringatan hari ulang tahun ke-74 TNI yang jatuh pada esok hari menjadi momentum untuk mendorong reformasi di tubuh TNI. Jangan sampai milad TNI hanya berhenti di kegiatan seremonial.
Koordinator Peneliti Imparsial Ardi Manto Adiputra menambahkan, sejumlah agenda reformasi TNI di atas merupakan jantung perubahan militer otoritarian ala Orde Baru menjadi militer profesional. Jika agenda tersebut belum terlaksana, reformasi TNI belum bisa dianggap tuntas.
Selain itu, pengesahan Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (RUU PSDN) oleh DPR membuat RSK salah arah.
Dalam RUU itu diatur, setiap warga negara bisa mendaftarkan diri sebagai komponen cadangan. Namun, apabila didapati ada komponen cadangan yang dengan sengaja membuat dirinya tidak memenuhi panggilan mobilisasi, diancam pidana paling lama 4 tahun penjara.
Menurut Ardi, seseorang yang mendaftar secara sukarela seharusnya bisa menolak panggilan mobilisasi jika itu tidak sesuai dengan kepercayaan dan keyakinannya. ”Setelah RUU itu diundangkan, kami akan melakukan upaya judicial review,” katanya.
Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Komisi I DPR Periode 2014-2019 Satya Widya Yudha menjelaskan, Komisi I selalu mengingatkan, agar pemerintah konsisten menjalankan reformasi TNI. Hal senada juga disampaikan kepada TNI. Hanya saja, belum terlihat implementasinya.
Salah satu dinamika diskusi di Komisi I adalah dorongan agar pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) terkait OMSP. PP itu akan menjadi landasan hukum TNI diperbantukan untuk tugas selain perang.