Saat Beringin Kembali Kokoh
Konflik di tubuh Partai Golkar tak lagi terlihat saat Bambang Soesatyo diperjuangkan menjadi Ketua MPR 2019-2024. Partai berlambang pohon beringin itu menunjukkan kekuatan mereka yang sesungguhnya.
Konflik di tubuh Partai Golkar tak lagi terlihat saat Bambang Soesatyo diperjuangkan menjadi Ketua MPR 2019-2024. Partai berlambang pohon beringin itu menunjukkan kekuatan mereka yang sesungguhnya. Posisi strategis tersebut tidak didapatkan dengan mudah.
Riuh rendah teriakan peserta Sidang Paripurna MPR terdengar membahana mengiringi terpilihnya Bambang Soesatyo sebagai Ketua MPR periode 2019-2024. Tepuk tangan dan wajah semringah para anggota Fraksi Partai Golkar melengkapi momen bersejarah yang terjadi pada Kamis (3/10/2019) malam itu.
Bambang Soesatyo, yang akrab disapa Bamsoet, terpilih sebagai Ketua MPR secara aklamasi dalam proses musyawarah untuk mufakat. Sembilan fraksi partai politik plus kelompok Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di MPR sepakat dipimpin oleh Bamsoet.
Posisi strategis tersebut tak didapatkan dengan mudah. Bamsoet dan Fraksi Golkar harus menembus badai persaingan yang ketat.
Dia bukan calon tunggal. Hingga waktu pemilihan tersisa tiga jam, Ahmad Muzani, calon pemimpin MPR dari Partai Gerindra yang juga Sekretaris Jenderal Gerindra, masih bersikukuh menginginkan kursi Ketua MPR.
Gerindra baru memutuskan mencabut pencalonan Muzani dalam Sidang Paripurna MPR, Kamis malam. Hal itu dilakukan setelah ada pembicaraan antara Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri.
”Untuk kepentingan yang lebih besar, menjaga marwah MPR dan terus menjaga NKRI, kami memutuskan untuk mendukung Bambang Soesatyo,” ujar Ketua Fraksi Gerindra di MPR Ahmad Riza Patria.
PDI-P memberikan dukungannya kepada Bamsoet sejak Rabu (2/10/2019) malam. Hal ini dilakukan setelah PDI-P menyampaikan sejumlah syarat dukungan kepada Bambang dan Fraksi Golkar saat pertemuan musyawarah antarpimpinan fraksi MPR, Rabu.
Soliditas
Dukungan PDI-P dan fraksi partai politik lain plus kelompok DPD di MPR itu tak bisa dilepaskan dari kerja kolektif para kader Partai Golkar. Sejak dicalonkan secara resmi oleh Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto pada Selasa, 1 Oktober 2019, mereka bergerak bersama untuk memuluskan pencalonannya.
”Golkar turun full team. Dipimpin oleh ketua umum, secara operasional dipimpin langsung oleh Ketua Fraksi Golkar di MPR Zainudin Amali. Pak Bamsoet juga berkomunikasi dengan semua fraksi,” kata Sekretaris Fraksi Golkar di MPR Misbakhun.
Kepada semua fraksi dan kelompok DPD, Golkar meyakinkan bahwa semangat MPR adalah tidak mempertentangkan antarkepentingan. Pertentangan itu pun sebenarnya sudah berusaha dihilangkan melalui revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau UU MD3. Berdasarkan revisi terakhir UU ini, kepentingan semua fraksi dan kelompok DPD diakomodasi dengan cara menghadirkan semua perwakilan pada kursi pimpinan MPR.
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar Christina Aryani menambahkan, Golkar juga berupaya meyakinkan bahwa kader Golkar layak mengampu jabatan tersebut. Alasannya, Golkar merupakan peraih kursi terbanyak kedua pada Pemilu Legislatif 2019, yaitu 85 kursi, setelah PDI-P.
Terpilihnya Bamsoet juga terjadi setelah calon pemimpin MPR dari DPD, Fadel Muhammad, mengubah sikapnya. Ia tak lagi ngotot mengejar kursi Ketua MPR seusai sesi kedua lobi antarfraksi, Kamis sore.
Sebelum itu, Fadel bersikeras mencalonkan diri. Kalaupun harus mundur, dia mengajukan syarat, yaitu persetujuan calon ketua MPR yang dipilih DPD untuk menguatkan kewenangan DPD ketika calon tersebut terpilih. Selain itu, DPD diberi kewenangan ikut mengelola dana transfer daerah, mengatur dana desa, serta mengatur insentif daerah.
Konflik internal
Total football Golkar dalam menyukseskan Bamsoet bisa dibilang mengejutkan karena sebelumnya partai itu dilanda konflik internal.
Konflik itu tak lain dipicu persaingan Bamsoet dan Airlangga Hartarto untuk menjadi ketua umum pada Musyawarah Nasional (Munas) Golkar yang menurut rencana digelar akhir tahun ini.
Konflik tak main-main. Kader Golkar berulang kali ”menyerang” Airlangga di media massa. Mereka juga menyatakan mosi tidak percaya terhadap kepemimpinan Airlangga.
Tak hanya itu, massa pendukung Bamsoet berulang kali berunjuk rasa di Kantor DPP Partai Golkar di Jakarta, bahkan menggembok pintu masuk kantor agar tak ada anggota DPP di bawah kepemimpinan Airlangga yang masuk kantor.
Tensi politik di tubuh Golkar tiba-tiba mereda pada 27 September 2019. Saat itu, Bamsoet dan Airlangga bertemu. Dalam pertemuan, mereka sepakat untuk menenangkan situasi, mengingat situasi politik Tanah Air yang menghangat pascagelombang unjuk rasa mahasiswa dan pelajar di banyak daerah.
”Kami siap menanggalkan ego dan kepentingan masing-masing guna mendukung serta menyukseskan agenda-agenda besar di Tanah Air dan jalannya pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden terpilih Joko Widodo-Ma’ruf Amin dalam lima tahun ke depan,” kata Bamsoet saat itu.
Terlepas dari alasannya, pertemuan itu membuat Bamsoet menyatakan akan mendukung Airlangga sebagai Ketua Umum Golkar di Munas Golkar mendatang. Kemudian, setelah pertemuan, Airlangga menunjuk Bamsoet menjadi pemimpin MPR dari Golkar.
Christina Aryani mengakui, meredanya tensi konflik internal dan dukungan penuh terhadap Bamsoet oleh semua kader partai saling berhubungan. Faktor utama yang menyebabkan hal itu terjadi adalah kesediaan Bamsoet untuk mengalah dari Airlangga.
”Pak Bamsoet sudah legawa untuk tidak mencalonkan diri sebagai ketua umum pada munas nanti dan akan mendukung Pak Airlangga. Hal itu yang kami pegang. Hal ini juga kami lakukan untuk kepentingan lebih besar, yaitu kepentingan partai,” ujar Christina.
Posisi strategis
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, mengatakan, langkah yang ditempuh Golkar menunjukkan karakter partai yang memang selalu berpikir strategis. Mereka bersedia menuntaskan kompetisi internal untuk kepentingan yang lebih besar, yaitu meraih posisi strategis di sejumlah lembaga negara.
Posisi Ketua MPR selama lima tahun ke depan dinilai jauh lebih strategis ketimbang saat ini. Hal itu terkait dengan wacana amendemen terbatas yang hendak mengembalikan posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Lembaga tersebut pun berwenang menyusun Garis-garis Besar Haluan Negara yang menjadi pedoman pembangunan jangka panjang.
Menurut Arya, perubahan konsep dan wewenang MPR akan berdampak langsung pada pengurangan kewenangan Presiden. ”Artinya, partai yang berada pada posisi Ketua MPR akan memiliki posisi tawar yang lebih tinggi ketika berhadapan dengan Presiden,” katanya.