Kita berbangga sebagai salah satu negara kepulauan terbesar di dunia. Luas lautan mencapai 3,25 juta kilometer persegi. Namun, sejak dulu hingga kini, persoalan garam tak pernah tuntas. Setiap tahun Indonesia masih mengimpor jutaan ton. Harga garam di tingkat petani begitu rendah. Petani pun kehilangan gairah.
Pemerintah sejak dulu menunjukkan perhatiannya terhadap masalah garam. Pada Oktober 1977, misalnya, Sidang Dewan Stabilisasi Ekonomi yang dipimpin Presiden Soeharto menetapkan harga dasar garam kualitas (K) 1 dan K2 ialah Rp 7 per kilogram dan Rp 5 per kilogram. Harga ini merupakan jumlah yang harus diterima pedagang garam yang menjual di tempat pengumpulan dekat ladang garam.
PN Garam ditunjuk sebagai stabilisator harga garam sehingga di satu pihak menguntungkan peladang garam dan di pihak lain tidak menyebabkan konsumen terombang-ambing oleh harga yang turun-naik. PN Garam diminta membentuk cadangan penyangga dari produksi sendiri di Madura dan membeli dari peladang garam. Garam yang diproduksi peladang pun harus berkualitas.
Masalah garam itu tidak pernah tuntas. Tahun 2018, umpamanya, produksi dalam negeri sebanyak 2,71 juta ton, sedangkan kebutuhan mencapai 3,7 juta ton. Krisis ini terjadi setiap tahun. Solusinya adalah mengimpor. Bahkan, tahun 2018, diimpor 2,7 juta ton garam. Alasannya, garam rakyat hanya terserap 30 persen untuk industri. Impor untuk kebutuhan industri. Harganya pun lebih murah.
Siapa pun tidak habis pikir dengan maraknya impor garam setiap tahun. Negeri ini seolah dikendalikan para mafia impor garam. Fakta ini sungguh ironis. Kita berbangga dengan kekayaan laut yang luas, tetapi ternyata membelakanginya. Setiap tahun digelorakan tekad untuk swasembada garam, tetapi tidak pernah terwujud.
Di manakah kesalahannya? Benarkah negeri ini tidak memiliki lahan yang cukup luas untuk mengembangkan industri garam berskala besar? Semua ini terjadi karena kepedulian pada industri garam masih setengah hati. (JAN)