Langkah Presiden Donald Trump menyeret negara-negara asing dalam proses terkait pemilu 2020 mengingatkan sebagian publik AS pada cara lama dia saat memenangi pilpres 2016.
Washington, Jumat— Ingatan sebagian warga Amerika Serikat melayang pada hiruk-pikuk pemilihan presiden tahun 2016. Saat itu, sebelum pemungutan suara digelar, Donald Trump— kandidat Partai Republik—melontarkan seruan terbuka agar Rusia menelusuri surat-surat elektronik rivalnya dari Partai Demokrat, Hillary Clinton. Tindakan meminta pihak asing campur tangan dalam pemilu itu dikenang belum pernah terjadi sebelumnya di AS.
Belakangan, Trump menang dan kini berkuasa di Gedung Putih. Menjelang pemilu 2020, ia kembali mencoba taktik lama itu agar bisa bertahan di Gedung Putih. Setelah meminta Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky via telepon agar menyelidiki calon rival terkuat dari Demokrat, Joe Biden, dan anaknya, Hunter, Trump secara terbuka juga meminta China menyelidiki Biden dan anaknya.
”Saya pikir, Hillary Clinton kalah karena Trump dan Republiken mampu mencuatkan keraguan-keraguan yang sebenarnya tidak ada,” kata Joan Fialkov (66), pensiunan guru dan pendukung Demokrat dari Pennsylvania, AS.
Ini adalah taktik Trump yang sebelumnya pernah dia gunakan dan berhasil, tulis Associated Press (AP), Jumat (4/9/ 2019). ”Yaitu, dengan mendorong percakapan-percakapan rahasia yang masih dapat dipertanyakan (kebenarannya), membuat dirinya bisa kebal terhadap tuduhan-tuduhan bahwa dirinya terlibat dalam langkah jahat, menutupi atau menghalangi peradilan,” kata AP.
Setelah peluru pemakzulan dibidik ke arah dirinya, Trump kini semakin gencar melawan upaya pemakzulan itu. Selain berupaya memperlambat proses pemakzulan, ia juga secara terbuka meminta negara
asing menyelidiki lawan politiknya.
Sumber di Gedung Putih menyebut, saat ini dibuat surat kepada Ketua DPR AS Nancy Pelosi. Surat itu dikirim paling lambat, Jumat (4/10) sore waktu Washington atau Sabtu dini hari WIB. Lewat surat itu, Gedung Putih meminta DPR terlebih dahulu memutuskan secara resmi memulai upaya pemakzulan. Tanpa keputusan itu, Trump bisa menolak apa pun permintaan anggota parlemen terkait proses pemakzulan.
Surat itu bisa memperlambat proses pemakzulan yang antara lain membutuhkan pemanggilan terhadap sejumlah pihak. ”Tidak ada keharusan di konstitusi, tata tertib, atau preseden DPR bahwa persetujuan itu dibutuhkan sebelum memulai penyelidikan untuk pemakzulan,” kata Pelosi.
Karena itu, enam komite di DPR akan meneruskan penyelidikan. Bahkan, juga tengah disiapkan upaya paksa untuk memanggil, antara lain, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo dan pengacara Trump, Rudy Giuliani. Mereka diduga mengetahui permintaan Trump kepada Presiden Zelensky untuk menyelidiki mantan Joe Biden dan Hunter Biden.
Dalam dokumen yang diungkap DPR, mantan Utusan Khusus AS Kurt Volker menjanjikan Zelensky akan diundang ke AS apabila DPR mau memulai penyelidikan yang diminta Trump. Janji itu disampaikan Volker kepada penasihat Zelensky, Andrey Yermak, melalui layanan pesan singkat.
Sebelumnya, terungkap Trump meminta pencairan bantuan 400 juta dollar AS untuk Ukraina ditahan, beberapa hari sebelum Trump menelepon Zelensky dan menyampaikan permintaan penyelidikan atas Biden dan anaknya.
Ulah Trump tersebut diduga melanggar hukum AS yang melarang siapa pun meminta atau mendapat bantuan asing dalam bentuk apa pun terkait pemilu AS. Karena itu, DPR memulai proses pemakzulan.
Menyeret China
Trump menolak menyerah pada tekanan DPR. Ia balik melawan dengan cara terbuka meminta China menyelidiki Biden dan anaknya. Trump menuding Hunter memanfaatkan pengaruh ayahnya untuk menggalang investasi senilai 1,5 miliar dollar AS di China.
Menlu China Wang Yi menegaskan tidak akan ikut campur politik dalam negeri AS. ”Kami percaya warga AS bisa menyelesaikan masalahnya sendiri,” ujarnya.
”China mungkin saja tergoda membantu Trump demi mendapatkan kesepakatan dagang yang lebih baik. Walakin, saya tidak yakin mereka akan secara langsung mencampuri politik dalam negeri AS. Mereka tahu risikonya,” ujar Bonnie Glaser, peneliti kajian Asia pada Center for Strategic and International Studies, Washington.
Adam Schiff, politisi Demokrat, menyebut, Trump bertindak seolah-olah kebal hukum. ”Sekali lagi, kita lihat Presiden AS mendesak negara asing mencampuri pemilu,” ujarnya.