Para pemain muda Arsenal membayar lunas kepercayaan Manajer Unai Emery dengan permainan beringas. Sebaliknya, skuad Manchester United masih kehilangan ketajamannya.
Oleh
Yulvianus Harjono
·4 menit baca
LONDON, JUMAT – Manajer Unai Emery menghidupkan kembali tradisi lama di Arsenal, yaitu mengorbitkan para pemain muda sejak dini. Keberanian itu berbuah hasil positif. “The Gunners” melumat Standard Liege 4-0 pada penyisihan grup Liga Europa, Jumat (4/10/2019) dini hari WIB di London.
Ada hal janggal dengan susunan pemain yang diturunkan Emery pada laga di Stadion Emirates itu. Tidak nampak pemain andalan mereka seperti Pierre Emerick-Aubameyang dan Nicolas Pepe pada daftar pemain mula Arsenal. Pemain dengan upah tertinggi mereka, Mesut Oezil, bahkan menghilang dari daftar pemain cadangan meskipun tidak didera cedera.
Emery, yang membawa Arsenal ke final Liga Europa musim lalu, memilih mayoritas pemain belia seperti striker Gabriel Martinelli (18), penyerang sayap Reiss Nelson (19), dan gelandang serang Joseph Willock (20) sebagai andalannya di laga itu. Padahal, sebagian dari mereka selama ini lebih banyak menghabiskan waktunya di tim Arsenal U-23 yang dilatih legenda klub, Freddie Ljungberg.
Hasilnya, The Gunners mendominasi laga itu dan meremukkan Liege, klub yang kini bercokol di peringkat kedua Liga Belgia, dengan skor telak, 4-0. Martinelli, yang dibeli dari klub Brasil, Ituano, musim panas lalu, mengemas dua gol. Adapun Willock menambah satu gol. Di lini belakang, penampilan cemerlang bek muda, Rob Holding (24), membuat Arsenal tampil solid dan nyaris tidak mendapatkan perlawan dari tamunya itu.
Kemenangan telak itu seolah menjadi “oase” The Gunners di tengah penampilannya yang kurang meyakinkan di Liga Inggris sejauh ini, termasuk saat ditahan Manchester United 1-1, akhir pekan lalu. “Amunisi muda Arsenal menjadi wajah klub itu sekali lagi. Ini adalah penampilan terbaik mereka sepanjang musim ini,” tulis Football London mengenai performa Arsenal di laga itu.
Musim ini, Arsenal memang bak bermuka dua. Ketika diisi mayoritas pemain muda, mereka tampil meyakinkan, bahkan tanpa kebobolan satu gol pun. Selain kontra Liege, hal itu ditunjukkan saat melibas Eintracht Frankfurt 3-0 (di Liga Europa) dan mencukur Nottingham Forest 5-0 (Piala Liga Inggris), September lalu. Arsenal pun kini bercokol di puncak grup F Liga Europa dengan koleksi enam poin, tujuh gol, dan nol kebobolan.
“Unai Emery punya rekor luar biasa di Liga Europa, yaitu tiga kali juara (bersama Sevilla) dan membawa Arsenal ke final pada musim pertamanya di Emirates. Namun, sebesar ambisinya meraih trofi keempatnya, ia masih mau memanfaatkan kompetisi itu untuk melatih darah muda Arsenal,” tulis The Mirror mengapresiasi keberanian Emery.
Malam ini, mereka mengambil kesempatan itu dengan baik dan menunjukkan mampu membuat gol
Pada era 2000-an, Arsenal asuhan eks manajernya, Arsene Wenger, dinilai piawai di dalam menemukan dan memoles talenta-talenta muda sepak bola. Sejumlah pemain seperti Patrick Vieira, Nicolas Anelka, Cesc Fabregas, Robin van Persie, dan Jack Wilshere, merintis karier hebatnya di Arsenal. Tren itu mulai hilang ketika aliran modal besar kian masif masuk ke Inggris pada akhir 2000-an. Klub-klub pun memilih mencari pemain bintang secara instan alias lewat uang.
Padahal, menurut Emery, uang dan nama besar pemain bukan jaminan kesuksesan. Ia mengalami hal itu saat melatih tim kaya raya, Paris Saint-Germain, pada 2016-2018. Dalam dua musim itu, ia hanya mampu memberikan satu trofi Liga Perancis, dua Piala Perancis, dan gagal total di Liga Champions. Ia lantas hengkang dari klub itu karena tidak tahan berkonflik dengan Neymar Jr, bintang PSG.
Di Arsenal, ia menunjukkan keberanian yang sama, yaitu meniadakan status bintang di timnya. Seperti halnya musim lalu, itu ditunjukannya dengan tidak memainkan Oezil pada laga kontra Liege. “Ketika saya memutuskan ia tidak harus masuk skuad semata-mata karena pemain-pemain lainnya lebih laik tampil darinya,” ujar Emery mengenai Oezil, pemain yang gajinya 20 kali lipat dari Martinelli.
“Kami harus memberikan kesempatan pada para pemain muda. Malam ini, mereka mengambil kesempatan itu dengan baik dan menunjukkan mampu membuat gol. Mereka kian dekat untuk bermain di level tertinggi bersama kami,” tukas Emery kemudian tentang barisan pemain Arsenal U-23.
Rindu Nistelrooy
Kontras dengan Arsenal, MU masih tertatih-tatih meskipun memiliki kebijakan mirip, yaitu mengorbitkan barisan talenta muda. Mereka ditahan AZ Alkmaar 0-0 di Belanda. Satu hal yang sangat mengejutkan, MU bahkan tidak mampu membuat satu pun tembakkan tepat ke gawang di laga itu. Hasil laga itu memperpanjang rekor buruk “Setan Merah”, yaitu tidak pernah menang di sepuluh laga tandang beruntun sejak Maret lalu.
Hal itu tidaklah terlepas dari krisis gol dan kreativitas mereka. Dalam sembilan laga terakhirnya, MU hanya mampu mencetak tujuh gol. Manajer MU Ole Gunnar Solskjaer pun nampak bingung mengatasi masalah itu menyusul hengkangnya dua penyerang senior MU, Romelu Lukaku dan Alexis Sanchez. Pada laga di Belanda, ia sempat memasang penyerang sayap, Daniel James, di posisi ujung tombak serangan. Sebaliknya, striker Mason Greenwood digeser ke sayap.
Sekitar 20 menit kemudian, menyadari gagalnya eksperimen itu, ia menukar posisi kedua penyerang belia itu. Namun, itu juga kurang efektif. Sebanyak 950 suporter MU yang hadir di Stadion Cars Jeans, Den Haag, pun tidak mampu menutupi rasa frustrasinya. Mereka kompak menyanyikan lagu tentang masa lalu, dengan meneriakan nama para mantan penyerang bengisnya seperti Ruud Van Nistelrooy dan Eric Cantona. Mereka rindu akan kegarangan tim itu. (AFP/Reuters)