Kusawer Engkau dari Taiwan
Sawer sebagai wujud pengasih khalayak kepada penyanyi pujaan kini tak berbatas ruang. Tak hanya di panggung, penggemar beramai-ramai menyawer dari mancanegara dengan transfer atau titip lewat saudara. Saweran juga bisa berupa pulsa hingga barang mentereng. Valas dari pahlawan devisa pun mengalir hingga ke pelosok desa.
Dian Anic (31) asyik bergoyang di Desa Arahan Kidul, Kecamatan Arahan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Kamis (19/9/2019). Arahan Kidul dengan jalan yang sempit tidak bisa dikatakan asri. Panggungnya didirikan di atas saluran irigasi dengan sampah berserakan.
Dian mengentak dengan lagu ”Ayang-ayang”. Spontan, warga maju berduyun-duyun untuk berjoget. Undangan tidak henti menyodorkan uang, umumnya berlembar-lembar pecahan Rp 2.000. Tangan Dian bagai memetik hingga jemarinya tak bisa menjumput lagi dan rupiah-rupiah pun berhamburan. Beberapa kru bergegas memungut uang yang bertebaran di lantai.
Penyanyi tarling dangdut (tardut) itu tak menjual kemolekan. Dian berpakaian sopan dengan baju terusan warna coklat yang menutupi hingga siku tangan dan lututnya. Tak ada yang saru. Tak ada yang tabu. Hanya transaksional penyawer dan penyanyi tanpa sentuhan fisik.
”Bos tanah merah (juragan urukan), Nok (Nona) Lusi, Bos Iwan, bos wedus (juragan kambing),” ujarnya seraya menerima sawer. Dian selalu menyebutkan nama penyawer. Jika bukan nama asli yang disampaikan, ia menjuluki penyawernya dengan ”bos”. Penyawer kerap memberikan uang berkali-kali. Setiap uang diberikan, Dian mengumumkan nama penyawernya meski harus diulang- ulang.
”Bos Taiwan... Bos Taiwan... Sing duwe (yang punya) Taiwan,” demikian apresiasi Dian ke salah satu penyawernya. Tak mudah mencari penyawer itu di antara ribuan penonton. Usut punya usut, ”Bos Taiwan” yang dimaksud ternyata Dian Oktopiani (23), seorang TKI.
Ia mengirimkan uang kepada kakaknya, Karnoto (37), untuk disawer agar namanya disebut. Karnoto menyodorkan berlembar- lembar uang pecahan Rp 2.000 dan Rp 5.000 kepada Dian.
”Oktopiani kerja menjadi asisten rumah tangga di Taipei, Taiwan. Ia memang fans Dian. Kalau nyawer berapa, itu rahasia,” ujar Siti Carsiti (48), sepupu Oktopiani. Sejumlah penggemar(fans)nun jauh menikmati kemerduan Dian melalui siaran langsung yang disiarkan akun Youtube, Anica Nada Channel.
Saat Dian tampil pukul 15.30-17.00, penonton hanya berkisar 1.000 netizen. Ketika Dian kembali tampil pukul 23.00 hingga pertunjukan ditutup pukul 24.00, penontonnya mencapai 1.968 netizen.
Didorong ”streaming”
Kemutakhiran internet mengantarkan tardut dari pelosok desa ke belahan bumi lain yang menayangkannya lewat layar dan pelantang ponsel para TKI. Sawer pun menemukan format barunya.
Didorong live streaming atau siaran langsung konser tardut lewat daring, para TKI mengirimkan uang dari negara-negara lain ke nomor rekening yang disebutkan pranatacara. Kebanggaan menjadi motivasi. Mereka senang namanya disebut sang idola, lantas bercerita kepada saudara, teman, dan rekannya sesama pekerja migran.
”Ada yang nyawer Rp 500.000, bahkan Rp 1 juta,” kata Dian yang akun Instagramnya, dian_anic10, sudah diikuti lebih dari 131.000 netizen. Sawer pun tidak hanya uang. Sebagian penggemar menyawer pulsa. Biasanya, mereka mengirim dengan nilai Rp 100.000.
”Fans saya ada yang mengirimkan tas, sepatu, pakaian, sampai makanan. Saya dapat sepatu yang pajaknya saja Rp 600.000 untuk masuk ke Indonesia,” katanya.
Dianisme, sebutan untuk fans Dian, tersebar di Taiwan, Hong Kong, Arab Saudi, Jepang, Malaysia, Singapura, hingga Polandia.
Sawer daring juga dinikmati Eddy Zacky, penyanyi asal Desa Juntikebon, Kecamatan Juntinyuat, Indramayu. Ketika konser di Indramayu dan sekitarnya, Eddy melakukan streaming supaya penggemarnya yang, antara lain, ada di Taiwan dan Hong Kong bisa menonton.
”Fans mentransfer sawer. Nah, itu menjadi milik penyanyi. Nanti, nama fans disebutkan,” kata Eddy yang dibayar paling tidak Rp 10 juta-Rp 11 juta sekali berpentas bersama grupnya.
Lagu yang dipopulerkan Eddy, ”Jelek Anti Galau”, meledak pada 2015. Ia diundang penggemarnya, para TKI di Taiwan, untuk konser pada 2016. Eddy diundang lagi ke Taiwan dan menghadiri acara yang digelar di ruang karaoke dan disewa Rp 5 juta.
Hanya TKI yang urun sumbangan boleh menonton dan memotret. Konser menjadi sangat intim. Pelantun ”Tikungan Tajam” itu sudah menggelar tiga kali jumpa fans dan satu konser di Taiwan. Di Hong Kong, jumpa fans sudah diadakan dua kali.
Saweran dollar
Een Clafinova, penyanyi tardut dan sinden wayang yang tinggal di Susukan, Kabupaten Cirebon, Jabar, terkenal sejak 2004 setelah lagunya, ”Jeritan TKW”, meledak. ”Cuma, sekarang saya lebih sering tampil sebagai sinden. Jadi, lagu itu dibawakan dengan cara sinden,” katanya.
Een punya penggemar fanatik yang selalu menyawer di mana pun ia tampil. Sawer pun menggunakan dollar AS. Een menyebut penggemar itu ”Mimi Dollar”.
Sekali menyawer, ia mengeluarkan pecahan 10 dollar AS. Setelah dikumpulkan, hasilnya bisa ratusan dollar AS. ”Sekarang, saya masih punya sisa 300 dollar AS,” ujar Een yang sekali manggung sebagai sinden dibayar Rp 4 juta-Rp 5 juta. Uang sawer yang ia peroleh kadang lebih besar dari bayaran resminya.
”Yang disambat (dipanggil), misalnya Nok Yanti. Nanti, keluarganya nyawer terus. Mungkin Nok Yanti di sana nangis terharu,” ujarnya.
Eksistensi penggemar
Penulis buku Tarling Dangdut: Migrasi Bunyi dari Gamelan ke Gitar-Suling yang diterbitkan Kantor Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Indramayu tahun 2007, Supali Kasim, menilai, munculnya streaming merupakan cara beradaptasi para musisi dengan perkembangan tardut.
”Kesenian ini majikannya adalah masyarakat. Apa yang disukai masyarakat, kesenian mengikuti,” ujarnya.
Tardut atau dangdut pantura Jabar berakar dari tarling yang berawal ketika seorang komisaris Belanda datang ke rumah ahli gamelan Pak Talam di Kepandean, Indramayu, untuk memperbaiki gitar tahun 1931.
Sugra, anak Pak Talam, berusaha memainkan nada pentatonis gamelan dengan gitar. Maka, mengalirlah tembang- tembang (kiser) dermayonan dan cirebonan yang diiringi petikan gitar dengan imbuhan suling (tarling). Sebelumnya, kiser diiringi gamelan. Dalam waktu singkat, ”genre” baru itu digemari anak-anak muda.
Pada era 1980-an, tarling mulai dipengaruhi dangdut. Hingga saat itu, sawer belum marak. ”Kalau penonton naik ke panggung malah diseret petugas keamanan. Tahun 2000- an baru bisa. Jadi, itu sebenarnya fenomena baru,” katanya.
Bagi Supali, sawer, baik secara luring maupun daring, merupakan bentuk eksistensi penggemar karena namanya disebutkan sang penyanyi.
”Sawer juga merupakan bentuk demokrasi. Sebab, tidak ada tarif dalam sawer. Dan, sesedih apa pun lagunya, penonton menikmatinya dengan berjoget,” ujarnya.
(Dwi Bayu Radius/Budi Suwarna/Abdullah Fikri Ashri)