Pergi Lebih Jauh Bersama Stars and Rabbit
Hari Minggu (6/10/2019) ini, Stars and Rabbit jadi salah satu pengisi panggung District Stage di ajang musik tahunan Synchronize Festival di Gambir Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat. Mereka tak pernah absen di festival yang khusus memanggungkan pemusik dalam negeri itu. Keberadaan duo ini—kini ditemani tiga musisi tetap—amat diperhitungkan.
Reputasi itu tak datang tiba-tiba. Adi Widodo dan Elda Suryani memulai Stars and Rabbit pada 2011. Album studio perdananya—dan masih satu-satunya—yang diberi judul Constellation lahir pada 2015. Selama periode sebelum kelahiran album itu, mereka amat rajin naik-turun panggung.
Corak musik pop akustik dan gaya vokal falseto seolah jadi ciri khas mereka. Keunikan vokal Elda, yang tipis cenderung cempreng, adalah daya tarik tersendiri. Aransemen lagu, yang seperti meratap namun sekaligus bisa rancak, membuat Elda “lupa diri” di panggung. Dia menari-nari lepas. Kakinya, yang sering tanpa alas itu, menyentak-nyentak. Energinya besar. Penonton pada umumnya bisa merasakan itu.
Selain rajin manggung, di awal kemunculannya, mereka berpromosi lewat situs internet semacam MySpace, Soundcloud, dan Facebook. John Davis, sound engineer yang akhirnya menuntaskan pengerjaan album debut itu, mereka temukan di internet.
Bekal album membuat mereka berani merancang tur ke luar negeri bertajuk Baby Eyes, selama dua babak. Babak pertama, pada 2015 menggelandang ke empat negara Asia. Setahun kemudian, tur babak kedua menyambangi Wales dan Inggris.
Selepas itu, pintu terbuka bagi mereka. Lagu-lagu di album (semuanya berbahasa Inggris) seperti “Baby Eyes”, “Man Upon the Hill”, “The House”, dan “Worth It” menggema di banyak negara. Mereka, antara lain, main di panggung musik Singapore F1 Grand Prix dan Laneway Festival di Singapura, Wonderfruit Festival di Thailand, juga dua festival lainnya di Perancis.
Riva Pratama, manajer mereka, gigih mencari jalan. Riva memulainya dengan mengikuti konferensi Music Matters Baybeats di Singapura pada 2012—lama sebelum album debut muncul. Dia berkenalan dengan banyak “orang penting” industri musik dari berbagai negara.
Di dalam negeri, popularitasnya menanjak pula. Mereka sering naik panggung di jam utama, bahkan amat sering. Mereka sempat menjalani pentas sebanyak 14 kali dalam satu bulan.
Kota terjauh
Sebulan setelah panggung mereka di District Stage arena Synchronize Festival pada Minggu ini, Adi, Elda, Didit Saad (bas), Vicki Unggul (kibor), dan Andi Irfanto (drum) akan melangkah lebih jauh. Mereka jadi salah satu penampil di Iceland Airwaves di Reykjavik, Islandia, sebuah festival seni yang telah berlangsung sebanyak 21 kali. Itu kota terjauh yang bakal mereka sambangi.
Di festival yang berlangsung pada 6-9 November itu, mereka akan bergabung dengan musisi berbagai negara seperti Mac DeMarco, Of Mice and Men, Orville Peck, dan lainnya.
Will Larnach-Jones, Managing Director Iceland Airwaves menyebut alasan memilih Stars and Rabbit. “Mereka mendaftar sebagai penampil untuk tahun ini. Kami menyimak musik mereka, dan meluangkan waktu menonton pertunjukkan mereka secara online, juga video musik mereka. Kami suka,” kata Will melalui surel.
Menurut Will, musikalitas adalah faktor utama memilih duo yang terbentuk di Yogyakarta ini. Mereka terpilih di antara ratusan pemusik dari berbagai negara yang mendaftar.
Beberapa waktu lalu, Adi dan Elda—yang sedang radang tenggorokan—berbincang perihal perjalanan-perjalanan mereka. Tak lupa, mereka juga bercerita tentang pekerjaan studio yang agak terlunta-lunta karena lebih sering berkemas mengejar penerbangan. Berikut petikannya:
Bagaimana ceritanya bisa mendapat banyak jadwal main di berbagai festival musik internasional?
Elda: Kami aktif mengeker festival apa yang sesuai dengan kapasitas kami. Dari awal kami begitu, mencari yang paling dekat dulu. Di Laneway Festival (Singapura, 2017) misalnya. Sebelum main di sana, kami datang di konferensi musik Music Matters Baybeat. Dari sana dapat “celahnya”, akhirnya bisa juga main di Laneway. Dari situ kami berpikir, ternyata bisa pergi lebih jauh. Kami mulai dari yang kecil-kecil dulu, enggak langsung tiba-tiba, misalnya, ke Coachella (festival di California, AS).
Adi: Ada yang didapat melalui agen. Ada juga yang mulai buka jalan lewat konferensi musik. Konferensi itu penting, sih. Di situ kan, pertemuan lingkar bisnisnya. Membuka jaringan bisa dimulai dari situ.
Kenapa tidak langsung mengupayakan ke festival besar, seperti misalnya Coachella atau Glastonbury?
Elda: Itu tunggu dulu. Kami merasa (main di festival) itu ibarat naik gunung, harus ada langkah-langkahnya. Untuk sampai puncak harus tahu rutenya, harus siap. Untuk main di festival mapan di Indonesia, seperti We The Fest dan Synchronize juga ada langkah-langkahnya. Kalau bisa menjaga radar untuk bisa main terus, entah bagaimana caranya, kelak sampai juga, kok, ke festival besar. Coachella mungkin terlalu besar bagi kami. Banyak, kok, festival lain yang sepertinya lebih pantas, misalnya, Wonderfruit Festival (Thailand) yang lebih intim. Sepertinya kami cocok main di festival semacam itu. Kalau langsung ke festival besar, nanti malah berhenti di pendaftaran. Kurasinya, kan, luar biasa, dan biasanya nggak bisa sekali tembus. Untuk festival di Islandia ini juga sudah tahun ketiga kami mendaftar.
Selain manggung, apa saja manfaat yang bisa dipetik dari tampil di festival internasional?
Elda: Di tiap negara, kami bertemu dengan banyak orang. Sebagian bisa mempertemukan kami dengan orang lainnya, bisa jadi penggemar, agen, produser, promotor. Sehingga, kami bisa menyusun itinerary (rincian perjalanan) berikutnya mau ke mana lagi. Jadi, ini (perjalanan dan perjumpaan) seperti tabungan bagi kami.
Adi: Hasilnya memang kelihatan, kok. Memang seharusnya begitu. Kalau nggak kelihatan, kami berhenti saja, hehehe…
Elda: Menyusun itinerary memang harus dipertimbangkan. Kami nggak bisa tiba-tiba, misalnya lagi ada di Korea, lalu memutuskan besoknya main di Jepang. Banyak yang harus disesuaikan.
Adi: Mencari gig (pertunjukan) dadakan tidak semudah itu. Selain menyesuaikan jadwal, harus ada visa khusus.
Elda: Semua harus dilakukan dengan benar karena ini untuk jangka panjang. Kalau (administrasi) tidak diurus dengan benar, nanti repot.
Kalian memikirkan hal-hal semacam ini sejak kapan? Sejak awal terbentukkah?
Elda: Sepertinya, iya. Tapi awalnya mungkin tidak serinci itu. Aku dan Adi, kan, murni mengurusi musiknya saja, kreatifnyalah. Setelah ketemu teman-teman di manajemen yang memang paham jalannya, pelan-pelan mulai dijalani sambil mencari model yang pas.
Stars and Rabbit sangat sibuk manggung di dalam dan luar negeri. Apa kabar pekerjaan studio (menggarap album)?
Elda: Masih berjalan. Kami sebenarnya sedang mengurangi manggung untuk waktu (di) studio. Kepadatan dijaga tidak seperti dua tahun belakangan. Dengan jadwal manggung sepadat itu, aku pribadi nggak bisa ditambahi pekerjaan studio. Sejak awal tahun ini sudah mulai dikurangi, sih. Sekarang seminggu paling dua kali manggung, sudah berkurang separuh. Dulu pernah sebulan sampai 14 kali.
Adi: Mungkin karena di Indonesia nggak ada musim dingin. Kalau di Eropa, kan, musim dingin waktunya bekerja di studio. Di sini, kita cuek mau terbang kapan saja.
Elda: Selama beberapa tahun terakhir ini terkumpul beberapa materi baru, tapi memang belum benar-benar diulik. Terasa perbedaan emosi dan pengalamannya di lagu-lagu baru itu. Masih belang-belang karena rentang waktunya kreatifnya panjang.
Seberapa besar berada di perjalanan memengaruhi proses kreatif kalian?
Adi: Jamnya ajaib, terutama jam bandara. Kadang-kadang niat membawa soundcard dan laptop dari rumah, mau kerja (mengulik lagu baru) di hotel. Tapi apa daya, kalau sudah stress, mau bagaimana?
Elda: Pengaruh dari badannya, sih. Sering malamnya kurang tidur, sementara subuh harus berangkat. Sampai di kotanya, langsung cek sound, malamnya manggung. Besok pagi-paginya mengulang lagi. Di pesawat, perbedaan tekanan di darat dan udara berpengaruh buatku, apalagi ke suara.
Jadi, apakah terbebani dengan pertanyaan “kapan album baru keluar”?
Elda: Maaf, belum bisa menjawab untuk saat ini (meringis). Tapi, I promise you, kami sedang mengerjakannya.
Adi: Tunggu saja.
Elda: Silakan kalau mau menunggu, tapi menunggu, kan, mengesalkan, hehehe…
Adi: Lumayan sedih, sih, kalau ditanya seperti itu. Manusia itu, kan, punya masa briliannya. Kami sudah menghasilkan karya seperti ini (album debut), selanjutnya belum tahu apakah bisa memberi sesuatu yang lebih bagus dari sebelumnya. Buatku, itu menyakitkan. Mereka (penggemar) sudah terlanjur suka ke kami, tapi nggak tahu kami bisa kasih apa lagi. Tunggu saja, doakan saja.
Dalam kondisi seperti itu, hal apa yang bisa menyenangkan kalian dari manggung?
Adi: Aku berangkat dari rumah harus dengan perasaan senang dulu. Sampai di panggung, dapat energi balik dari penonton itu senang banget. Energinya bisa sampai aku bawa pulang lagi ke rumah.
Elda: Belakangan ini, apresiasi penonton itu sampe pol banget, sampai tembus (menunjuk dada).
Adi: Pencapaian tertinggiku itu bisa membuat orang senang, sampai bisa melupakan hal buruk yang dialami, itu luar biasa.
Elda: Waktu main di Vietnam, ada orang yang bilang ke kami, “Terima kasih banyak. Sebelum aku datang ke sini, aku sedang sakit, tapi temanku memaksa datang. Aku merasa sembuh sekarang, merasa berenergi.” Aku sampai nggak bisa ngomong. Aku merasa, ini bukan lagi urusan musiknya. Ada sesuatu di dalam musik, dia merasakan itu seperti yang dia butuhkan. Itu agak ajaib, tapi itulah yang aku rasakan.