Keterbatasan fasilitas, pasar, akses perkebunan ke taman nasional, hingga anjloknya harga saat panen menjadi permasalahan petani kopi di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·4 menit baca
KUNINGAN, KOMPAS — Keterbatasan fasilitas, pasar, akses perkebunan ke taman nasional, hingga anjloknya harga saat panen menjadi permasalahan petani kopi di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Padahal, potensi kopi jenis robusta tersebut besar. Pemilik kedai dan petani berupaya mengembangkan komoditas tersebut.
Upaya tersebut antara lain tampak pada pertemuan komunitas Sepengopian Cirebon Raya dengan petani kopi di Desa Seda, Kecamatan Mandirancan, Kuningan, Minggu (6/10/2019). Komunitas itu berisi para pemilik kedai, barista, hingga konsumen kopi di wilayah Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan. Selain berdialog, para barista juga membuat kopi Seda yang diminum bersama dalam acara memperingati Hari Kopi Internasional tersebut.
”Kami mencoba menjembatani hulu dan hilir industri kopi. Konsumen di kedai ingin kopi berkualitas. Caranya, budidaya hingga pascapanen harus bagus. Dengan begitu, harga kopi di petani dengan sendirinya naik,” ujar Ketua Komunitas Sepengopian Cirebon Raya Risma.
Saat ini sebanyak 35 kedai kopi tergabung dalam komunitas dan sekitar 130 kedai kopi tersebar di Cirebon raya. Kedai tersebut, lanjutnya, bisa menjadi pasar bagi kopi Kuningan, termasuk di Seda. ”Kopi Kuningan terkenal dengan kopi hutan yang cenderung tumbuh secara alami, tanpa bahan kimia. Kami ingin mengangkat kopi lokal,” ujarnya.
Kopi Seda merupakan jenis robusta dengan perpaduan asam, manis, dan pahit yang tumbuh di ketinggian sekitar 700 meter di atas permukaan laut (mdpl). Lokasinya berbatasan dengan lereng Ciremai, gunung tertinggi di Jabar dengan tinggi 3.078 mdpl.
Kami mencoba menjembatani hulu dan hilir industri kopi. Konsumen di kedai ingin kopi berkualitas. Caranya, budidaya hingga pascapanen harus bagus. Dengan begitu, harga kopi di petani dengan sendirinya naik.
Meski demikian, Yuri Ahmad (67), petani kopi setempat, mengakui, perlakuan pascapanen masih buruk. Buah atau ceri kopi masih dipetik ketika belum seluruhnya matang, masih berwarna hijau. Pemetikan ceri kerap ditarik dengan tangkainya sehingga rentan menurunkan produktivitas. Kopi juga masih dijemur di kebun secara terbuka dan mengundang hama.
Bentuk gabah
Penjualannya sebagian besar masih dalam bentuk gabah, bukan biji beras kopi (green bean). Selain tidak memiliki alat pengupas, petani juga ingin segera mendapatkan uang dari hasil panen. Akibatnya, harganya di bawah Rp 10.000 per kilogram. Saat ini harga green bean dipatok Rp 18.000-Rp 20.000 per kg.
”Saya ingin menangis karena harga itu tidak jauh berbeda saat 10 tahun lalu. Namun, petani tidak tahu harus menjual kopinya ke mana,” lanjut Yuri yang menanam kopi pada 2008. Kopi itu dibeli oleh tengkulak yang langsung mendatangi petani. Dengan 300 pohon kopi, ia hanya memanen 2,5 kuintal kopi karena serangan hama monyet. Padahal, biasanya ia memanen 4 kuintal.
Yuri perlahan mempelajari cara menghasilkan kopi yang berkualitas sesuai permintaan pemilik kedai. Selain menjual dalam bentuk green bean dengan ditumbuk, ia juga memetik ceri kopi berwarna merah. ”Harganya menjadi Rp 35.000 per kg untuk biji beras kopi,” ucapnya.
Dani Hardiana (28), pemilik kedai kopi Natupala, Kuningan, mengatakan, potensi kopi Seda cukup besar. ”Sejumlah kedai kopi di Bandung, Jabar, meminta pasokan kopi Seda hingga setengah ton biji beras kopi untuk sebulan. Tetapi, yang bisa kami penuhi hanya 60 kilogram,” ujar Dani yang juga warga Seda.
Menurut Kepala Seksi Ekonomi dan Pembangunan Desa Seda Ucu Cutarso, kopi belum menjadi komoditas unggulan di desa. Luas sawah tercatat 70,28 hektar, sementara lahan kering sekitar 116 hektar. Pihaknya tidak mengetahui luas areal kopi. Produksi kopi tahun ini diperkirakan 20 ton, turun dari tahun lalu, yakni 35 ton.
Sejumlah kedai kopi di Bandung, Jabar, meminta pasokan kopi Seda hingga setengah ton biji beras kopi untuk sebulan. Namun, yang bisa dipenuhi hanya 60 kilogram.
Namun, pihak desa berkomitmen mendorong budidaya kopi dengan membeli alat pengupas kulit kopi dan mesin sortir. ”Kami baru memesannya. Kendala lainnya adalah banyak pohon kopi berada di Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) sehingga tidak bisa digarap,” katanya.
Kepala Balai TNGC Kuswandono mengatakan, tidak ada zona di TNGC untuk pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, termasuk kopi. Namun, pihaknya berencana membuat wisata sejarah kopi Ciremai. Wisatawan nantinya dapat menikmati kopi hasil kebun petani. ”Kami masih menginisiasi wisata kopi di Cibeureum,” ucapnya.
Kopi Cibeureum sudah lebih dulu dikembangkan oleh pegiat kopi dan pemilik kedai di Cirebon. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Cirebon turut mendampingi petani di sana.
Kami masih menginisiasi wisata kopi di Cibeureum. (Kuswandono)
Sekretaris Daerah Kabupaten Kuningan Dian Rachmat Yanuar mengatakan, pihaknya tengah berupaya mengembangkan kopi Kuningan, antara lain, memperkenalkannya dalam acara Tour de Linggarjati yang dihadiri pebalap sepeda dari luar negeri. ”Namun, pengembangan kopi Kuningan perlu komitmen dari semua pihak,” katanya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kuningan, luas tanam kopi di daerah itu pada 2017 mencapai 1.631 hektar atau menurun dibandingkan tahun sebelumnya, yakni 1.865 hektar. Meski demikian, produksinya meningkat dari 75 ton pada 2016 menjadi 1.120 ton di tahun berikutnya.