Saatnya Merebut FIR dari Singapura
Semua pemangku kepentingan sudah waktunya bersatu dan memiliki visi yang sama, yaitu kepentingan nasional, dalam upaya mengembalikan kendali ruang udara (FIR) wilayah Kepulauan Riau. Ruang udara yang mencakup wilayah teritorial RI dan Zona Ekonomi Eksklusif itu kini dikendalikan oleh Singapura yang ingin membuatnya sebagai daerah latihan militer.
Pengambilalihan kendali ruang udara di Kepulauan Riau itu sebenarnya sudah diamanatkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, khususnya Pasal 458. UU tersebut memberi batas waktu hingga 2024. Presiden Joko Widodo sendiri melalui Instruksi Presiden tertanggal 18 September 2015 meminta agar pengambilalihan dilakukan lebih cepat, yaitu pada 2019.
Namun, diplomat senior Makarim Wibisono menangkap adanya perbedaan persepsi di antara pihak-pihak di dalam Indonesia. Hal ini membuat negosiasi dengan Singapura berlangsung lama.
”FIR (flight information region) itu bukan urusan kedaulatan atau keselamatan, melainkan kedaulatan dan keselamatan alias satu kesatuan,” kata Makarim, Kamis (3/10/2019), seusai diskusi Pusat Studi Air Power di Jakarta.
Upaya pengambilalihan ruang udara itu adalah hal yang esensial sehingga, menurut Makarim, tidak perlu dilakukan terburu-buru. Apalagi, undang-undang memberi batas waktu hingga 2024. Ia mengamati, pengambilalihan FIR Singapura akan lebih mudah jika pihak-pihak terkait memiliki suatu kesatuan pandangan, yaitu kepentingan nasional.
Upaya pengembalian FIR ini memang kerap dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda. Kementerian Perhubungan dan Kementerian Luar Negeri melihat FIR sebagai persoalan keselamatan penerbangan. Di sisi lain, TNI AU melihatnya dari sudut pandang kedaulatan. ”Harusnya kedua hal itu tidak dipisahkan. Ini adalah soal kepentingan nasional,” ucap Makarim.
Dalam setiap perundingan, terlebih lagi di tingkatan internasional, kepentingan nasional jadi pakem dalam berunding. Presiden perlu mengadakan pertemuan dengan semua pemangku kebijakan untuk menemukan titik tengah, definisi dari kepentingan nasional terhadap kendali ruang udara tersebut. ”Kalau kita tidak punya satu visi, kita pasti lemah. Kalau kita bersatu, dulu melawan Belanda tanpa senjata pun kita bisa,” katanya.
Mantan Kepala Staf TNI AU Marsekal (Purn) Chappy Hakim yang selama ini selalu mengedepankan aspek kedaulatan mengatakan, ia bisa menerima argumen Makarim. Indonesia, tambahnya, harus bisa meyakinkan dunia internasional bahwa sebagian besar FIR yang ditangani Singapura itu adalah wilayah teritorial Indonesia. Tentunya setelah itu Indonesia harus bisa menjamin sistem informasi penerbangan di FIR. ”Sekarang Singapura mengadakan danger area di wilayah kita. Daerah itu tidak boleh dilintasi siapa pun,” kata Chappy.
Aeronautical Information Publication yang dikeluarkan Singapura tahun 2018 menyebutkan, danger area tidak boleh digunakan negara lain karena untuk latihan perang militer Singapura. Padahal, danger area itu sebagian ada di wilayah teritorial dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Akibatnya, pesawat-pesawat komersial harus sedikit berbelok agar tidak melewati danger area ini.
Latihan militer
Pakar hukum udara Supri Abu mengatakan, perbedaan persepsi justru terjadi di antara lembaga Indonesia. Salah satu contoh adalah pertemuan antara Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Senior/Menteri Koordinator Bidang Keamanan Nasional Singapura Theo Chee Hean pada 12 September 2019. Dalam pertemuan itu dihasilkan kesepakatan tentang daerah latihan militer untuk Singapura. Kesepakatan ini yang akan diajukan dalam pertemuan antara kepala negara Indonesia dan Singapura. Atmadji, Asisten Menko Kemaritiman Luhut Pandjaitan, mengatakan, perkembangan soal FIR ini akan dibahas dalam pertemuan pemimpin ASEAN pada Selasa, 8 Oktober 2019, di Singapura.
”Singapura ingin latihan di daerah teritorial kita bisa melibatkan pihak lain sebagai imbalan pengembalian FIR yang menjadi hak kita,” kata Supri Abu.
Menurut dia, setelah FIR diambil, Indonesia bisa membicarakan penggunaan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif untuk latihan militer Singapura. Ia menilai, permintaan Kemenko Kemaritiman agar Kemhan dan Kemenhub membahas Defense Cooperation Agreement (DCA), termasuk daerah latihan militer sebagai pertukaran FIR, lemah dasarnya.
Pada 1995 hingga 2003, memang ada DCA yang mengatur perjanjian penggunaan sebagian wilayah Indonesia untuk latihan militer Singapura. Sementara Indonesia mendapat perjanjian ekstradisi. Akan tetapi, perjanjian tersebut selesai tahun 2003. Pasalnya, Singapura banyak melakukan pelanggaran di wilayah RI dan dalam setiap latihan bersama, Singapura kerap mengikutsertakan pihak ketiga dari negara lain. Lalu, belum ditemukan titik temu akan masa berlaku perjanjian tersebut. Singapura ingin 25 tahun, Indonesia ingin 5 tahun.
Tahun 2007, Indonesia dan Singapura menandatangani DCA yang baru. Akan tetapi, perjanjian ini tidak diratifikasi oleh DPR karena berbagai kontroversi terkait wilayah. Dalam DCA tersebut, disebutkan bahwa Angkatan Udara Singapura bisa melakukan pengecekan teknis dan latihan terbang di zona A1 serta latihan militer di zona A2. Selain itu, Angkatan Laut Singapura dengan dukungan Angkatan Udara Singapura juga dapat melaksanakan latihan menembak peluru kendali sampai dengan empat kali latihan dalam setahun di Area B. Sebaliknya, Indonesia tidak boleh latihan di wilayah Singapura.
Dalam dokumen yang diperoleh Kompas, ada kemungkinan wilayah A1 tidak digunakan lagi sebagai daerah latihan militer Singapura karena sudah padat penduduk. Akan tetapi, Singapura meminta ada perluasan di daerah A2. Di daerah tersebut, Angkatan Udara Singapura bisa latihan militer, termasuk menembak dengan 60 penerbangan dan 20 pesawat militer per hari. Angkatan Laut Singapura juga bisa latihan militer dan mengajak pihak ketiga. Sementara di daerah B, latihan militer bisa dilakukan, baik Angkatan Laut Singapura maupun Angkatan Udara-nya, serta bisa melibatkan pihak ketiga.
Sejarah
Dalam konvensi International Civil Aviation Organization (ICAO) di Dublin, Irlandia, pada 1946, Singapura masih dikuasai Inggris, sementara Indonesia baru merdeka. Inggris dianggap mumpuni secara peralatan dan sumber daya manusia. Oleh karena itu, Singapura dan Malaysia mengelola FIR di wilayah Kepulauan Riau. Singapura memegang kendali sektor A dan C, Malaysia mengendalikan sektor B.
Tahun 1993, Indonesia mencoba mengambil kembali FIR pada pertemuan ICAO di Bangkok. Upaya ini gagal. Indonesia dianggap belum memiliki peralatan dan infrastruktur yang memadai untuk mengendalikan FIR Kepri. Akibatnya, hingga hari ini seluruh penerbangan di wilayah Kepri, termasuk Natuna, harus menunggu izin dari otoritas penerbangan Singapura. Hal ini juga berlaku terhadap pesawat TNI AU.
Jasa penerbangan tersebut juga mendatangkan devisa bagi Singapura. Indonesia sebagai negara yang lebih besar seharusnya bertanggung jawab atas wilayahnya. Apalagi, saat ini semakin banyak penerbangan di wilayah Kepri walaupun belum mengalahkan kesibukan di Bandara Soekarno-Hatta. ICAO sendiri pada 2017 telah menilai standar layanan navigasi Indonesia telah mencapai 84.09 persen atau di atas rata-rata global 62.43 persen. Tujuh aspek lainnya terkait keselamatan penerbangan juga sudah di atas rata-rata.
Urusan pengendalian ruang udara ini adalah hal penting yang tidak perlu buru-buru. Sebelum melangkah, diperlukan satu kesatuan visi di antara instansi di Indonesia. Pemeo lama, bersatu kita teguh bercerai kita runtuh masih menemukan kebaruannya hari Selasa (8/10) mendatang.
(Edna C Pattisina)