Sebenar-benarnya Indie
Tumbuh suburnya tarling dangdut di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, menimbulkan efek domino. Penyedia jasa streaming, penyelenggara konser, hingga organisasi pelindung hak musisi kecipratan rezeki. Usaha itu merebak hingga gang-gang sempit. Indramayu pun mendunia lewat streaming musik khas pantura itu.
Di ruang tamu, Turman (30), pemilik KR Studio, menatap layar komputer untuk mengedit video pernikahan dan mengunggahnya ke Youtube. Kamera, drone, kabel, kibor, tang, gelas, helm, minuman botol, hingga sendok bergeletakan. Ruang seluas 6 meter persegi itu ia sulap menjadi studio mini.
”Ya, begini. Tamu-tamu kalau datang cuek saja ngobrol di sini. Mereka mengerti,” ujar warga Desa Lombang, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, itu. Rumah Turman berada di antara area penjemuran gabah. Berjarak sekitar 50 meter dari jalan aspal, rumah itu terletak di gang yang hanya bisa dilalui sepeda motor.
Turman membuka KR Studio, usaha streaming atau jasa untuk menyiarkan acara di internet sejak Juni 2019, sekembalinya dari Korea Selatan. Ia berangkat ke Korsel untuk bekerja pada Juni 2016. Pegawai pabrik kabel bawah tanah itu bersikeras kembali ke Tanah Air untuk berkumpul bersama istri dan anaknya.
”Saya dicibir bodoh. Kontrak kerja dengan gaji Rp 25 juta per bulan siap diperpanjang, tetapi saya tolak,” ujar Turman, Jumat (20/9/2019). Jumlah itu jauh lebih besar dari upah minimum Indramayu sekitar Rp 2,1 juta. Turman lantas membuka usaha yang lazim disebut rumah produksi tersebut.
Ketertarikan Turman terhadap streaming dilandasi pengalaman bergabung dengan rumah produksi kawannya di Seoul, Korea Selatan, untuk menambah penghasilan. Ia menggelar live streaming penyanyi tarling dangdut (tardut) ternama tahun 2018.
”Saya menguasai streaming kebanyakan dengan otodidak. Pokoknya sepulang dari Korsel harus ada yang dikerjakan.”
Bermodal Rp 200 juta, Turman membuka KR Production. Kepanjangan KR itu sederhana saja, yakni Korea. Ia menggunakan tabungannya selama bekerja di Korsel. Usaha itu terus berkembang.
Tidak hanya konser musik, Turman juga menggelar streaming untuk sandiwara semacam ketoprak, pernikahan, khitanan, pengajian, hingga keberangkatan jemaah haji agar sanak saudara empunya hajat di mana pun bisa ikut menonton. ”Rata-rata, saya menerima order setiap dua hari. Bulan (September) ini, 15 hari ke depan sudah ada job (pekerjaan),” ucap Turman.
Tarif menyiarkan acara itu bervariasi. Pengajian, misalnya, sekitar Rp 1,5 juta, sandiwara Rp 2,5 juta, dan konser Rp 1,7 juta. ”Setiap tarif dihitung per hari. Kalau acaranya berlangsung sejak siang sampai malam, boleh saja,” ujar Turman.
Sekali disiarkan, jumlah penontonnya bisa 2.000 orang. Siaran konser banyak ditonton TKI, seperti di Hong Kong dan Taiwan, yang rindu alunan irama kampung halaman. Tak sedikit pula dari mereka membagikan video itu. ”Sejak empat tahun lalu, streaming marak di Indramayu. Di Desa Lombang saja, tersedia enam usaha streaming,” ujarnya.
Ia meyakini, usaha streaming di Indramayu tumbuh lebih subur dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten sekitarnya, seperti Cirebon, Kuningan, dan Majalengka. Turman tak tahu jumlah usaha streaming di Cirebon, Kuningan, dan Majalengka, tetapi banyak order datang dari kabupaten-kabupaten itu ke Indramayu.
Geliat usaha itu dipicu maraknya tardut di Indramayu. Tardut yang merasuk hingga desa-desa dimotori tiga pilar utama: kesenian lokal, musisi kreatif, dan para penggemar militan di kantong TKI.
Pada Agustus 2019, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia mencatat ada 1.893 pekerja migran Indonesia (PMI) asal Indramayu. Jumlah ini meningkat dari periode yang sama 2017 atau 1.599 PMI.
Di kota besar lain, bahkan Jakarta, sebagian masyarakat bisa jadi kurang mengenal artis seperti Dian Anic, Diana Sastra, Susy Arzetty, dan Nunung Alvi. Namun, di pantura, khususnya Jabar, mereka adalah para ratu yang bertakhta di Kabupaten Indramayu, Subang, dan Cirebon. Para penyanyi itu dielu-elukan kawulanya, masyarakat hingga desa-desa lewat jalan yang sempit saat mereka berpentas.
Dian Anic selain bernyanyi juga ikut membentuk rumah produksi sendiri untuk menambah pundi-pundinya dari streaming dan menggunggah video di Youtube. ”Kalau Dian manggung, tarifnya sudah termasuk streaming. Tarif tergantung tujuan” ucap Heri Kurniawan (40), suami sekaligus manajer Dian.
Di Kabupaten dan Kota Cirebon, misalnya, tarif itu sebesar Rp 28 juta dan di Indramayu Rp 30 juta. Setelah Dian tampil, keesokan harinya, Heri memecah video streaming berdasarkan judul lagu kemudian diunggah ke Youtube. Cara ini membuat akun Dian terus aktif.
Pentas ke luar negeri
Klip lagu ”Kecewa” sudah ditonton lebih dari 2,4 juta kali. Klip lagu ”Batur Seklambu” bahkan ditonton lebih dari 3,2 juta kali. Begitu besarnya antusias para perantau, mereka menanggap Dian yang lahir dari keluarga nelayan untuk pentas di Taiwan tahun 2017 dan Hong Kong tahun 2016.
Menurut Ketua Umum Lembaga Musik Seniman Pantura (L-Musentra) Adung Abdulgani, bisnis streaming di Indramayu merebak karena didorong kerinduan TKI asal kabupaten itu terhadap kampung halamannya. ”Permintaan di Taiwan, Hong Kong, dan Arab Saudi untuk menonton tardut sangat tinggi. Ada lebih dari 100 usaha streaming di Indramayu,” katanya.
Di sejumlah jalan, bisnis itu berimpit-impitan dengan penyedia konser musik tardut dan sandiwara. Di Jalan Mayor Dasuki, misalnya, terlihat paling tidak 27 ragam usaha itu. Plang-plang berjejalan dengan nama seperti Bima Mandala, Raka Nada, Elliska, Aneka Tunggal, Darma Zaputra, dan Nurista Nax. Jagad tarling begitu besar hingga usaha-usaha tersebut tetap eksis dan guyub meski sangat ramai.
”Kami juga melindungi musisi dengan mendaftarkan lagu melalui aplikasi agregator. Kalau ada akun yang menggunakan lagu itu, musisi mendapatkan haknya,” kata Adung. Hingga saat ini, L-Musentra telah mendaftarkan sekitar 500 lagu sehingga penyanyi, pembuat video, hingga penciptanya menerima royalti. Lembaga itu juga turut mendulang rezeki dengan memperoleh penghasilan dari karya-karya yang didaftarkannya.
Cakram kompak tardut yang dijajakan di kios-kios pun laris. Adung mengupayakan agar cakram kompak tardut bisa dijual jaringan minimarket. ”Lucunya, ada penyanyi tardut yang minta produsen cakram kompak ilegal membajak lagunya. Ia ingin lebih dikenal karena cakram kompak tardut amat laku,” ujarnya.
Adung mengumpamakan kosmis tardut yang berpusar di pantura itu sebagai dinamika indie. Musisi-musisi indie kerap membuat lagu, merekam, dan mendistribusikannya untuk kalangan mereka sendiri.
”Dari masyarakat pantura, oleh masyarakat pantura, untuk masyarakat pantura. Inilah indie sebenar-benarnya indie,” ujar Adung.