Pemerintah baru berhasil mengeksekusi satu dari sembilan putusan perdata gugatan pemerintah atas korporasi terkait kebakaran hutan dan lahan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Oleh
Ichwan Susanto
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Hingga saat ini pemerintah baru berhasil mengeksekusi satu dari sembilan putusan perdata gugatan pemerintah atas korporasi terkait kebakaran hutan dan lahan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sejumlah strategi dan langkah dikerjakan setiap menyelesaikan sanksi perdata yang relatif baru bagi penegakan hukum lingkungan di Indonesia ini.
Satu putusan yang dieksekusi tersebut yaitu PT Bumi Mekar Hijau yang memiliki konsesinya di Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan terbakar pada tahun 2014 seluas 20.000 ha. Pengadilan Negeri Palembang membebaskan PT BMH dari tuntutan pemerintah senilai Rp 7,9 triliun. Kemudian proses banding bergulir dan menyatakan BMH harus membayar Rp 78 miliar.
Direktur Penyelesaian Sengketa Ditjen Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ragil Jasmin Utomo, Sabtu (6/10/2019) di Jakarta, mengatakan uang sejumlah Rp 78 miliar tersebut telah disetor ke kas negara sebagai pendapatan negara bukan pajak.
Meski pada prinsipnya dana tersebut diputus pengadilan untuk memperbaiki kualitas lingkungan yang rusak akibat terbakar, pemanfaatan dana tersebut tak langsung kembali ke tapak. Hal itu disebabkan sistem keuangan negara belum mengakomodasi kebutuhan pemulihan lingkungan hasil putusan perdata tersebut bisa langsung digunakan.
Ragil mengatakan pihaknya terpaksa menerima putusan itu meski nilainya hanya 1 persen dari tuntutan pemerintah. Ada sejumlah kejanggalan proses pengiriman relaas (surat panggilan) yang membuat pemerintah terlambat mengajukan kasasi. Pihaknya sempat melaporkan kejanggalan itu ke Walikota Jakarta Timur dan Badan Pengawas Mahkamah Agung.
Ada sejumlah kejanggalan proses pengiriman relaas (surat panggilan) yang membuat pemerintah terlambat mengajukan kasasi.
Selain BMH, ia mengantongi delapan eksekusi kasus kebakaran hutan dan lahan serupa senilai lebih dari Rp 3 triliun. Eksekusi Jatim Jaya Perkasa (Riau) dan Palmina Utama (Kalimantan Selatan) belum diproses karena menunggu relaas dan salinan putusan. “Di website MA sudah lihat putusannya, kami coba lacak (relaas dan salinan putusan) tetapi belum berhasil,” katanya.
Kasus terlama yaitu PT Kallista Alam di Aceh hingga kini masih berlarut-larut atau belum berhasil dieksekusi. Pekan lalu appraisal (penilaian aset) dilakukan kantor jasa pelayanan publik yang ditunjuk Ketua Pengadilan Negeri Sukamakmue tapi kehadiran petugas ini ditolak warga yang diduga berelasi dengan perusahaan. “Kami berkoordinasi dengan Polres Nagan Raya dan didampingi jaksa pengacara negara, tetap tidak ada jaminan keamananan sehingga kami mundur dulu,” ujarnya.
Kedatangan tim appraisal diperlukan untuk menilai nilai aset perusahaan. Hasil penilaian ini nantinya diserahkan ke pengadilan yang dilanjutkan ke kantor pelayanan lelang.
Sementara untuk PT Ricky Kurniawan Kertapersada di Jambi sedang dilakukan aanmaning kedua (pemanggilan kedua oleh pengadilan agar tergugat menjalankan putusan). Perusahaaan mengajukan usulan atau proposal untuk penyelesaian pembayarannya.
Ia menyebut lagi PT Waimusi Agroindah di Sumatera Selatan juga diupayakan eksekusi dan menemui kendala karena aset perusahaan diagunkan. Namun pihaknya melihat itikad baik perusahaan melakukan pembayaran bertahap.
Untuk tiga perusahaan lain yakni Nasional Sago Prima di Riau, Surya Panen Subur di Aceh, dan Waringin Agrojaya di Sumatera Selatan, dilakukan aanmaning. Pihaknya memiliki mekanisme lain jika perusahaan berbelit-belit menjalankan putusan. Salah satunya adalah, kejaksaan yang punya unit perdata berwenang mempailitkan perusahaan. Namun langkah ini butuh koordinasi dengan pihak lain karena terkait tenaga kerja dan dampak lain.
Selain delapan perusahaan yang tinggal menanti eksekusi ini, Ragil juga menjalani proses sidang lima perusahaan. Kelimanya yaitu PT Agro Tumbuh Gemilang Abadi (Jambi, senilai Rp 590,5 miliar), PT Kaswari Unggul (Jambi, senilai Rp 25,6 miliar), PT Kalimantan Lestari Mandiri (Kalteng, senilai Rp 299,8 miliar), PT Arjuna Utama Sawit (Kalteng, senilai Rp 359 miliar), dan PT Rambang Agro Jaya (Sumatera Selatan, Rp 199,5 miliar).
Pihaknya pun mendaftarkan tiga kasus lagi di pengadilan yaitu PT Sari Asri Rejeki Indonesia (Sulawesi Tenggara, senilai Rp 405,6 miliar), PT Pranaindah Gemilang (Kalimantan Barat, senilai Rp 238,6 miliar), dan PT Asia Palm Lestari (Kalimantan Barat, senilai Rp 273 miliar).
Sita jaminan
Secara terpisah, Syahrul Fitra dari Yayasan Auriga Nusantara mendorong agar proses hukum perdata diikuti sita jaminan akan aset perusahaan. Ini agar memudahkan eksekusi sebagai antisipasi akan kemampuan bayara tergugat maupun risiko melarikan diri dari tanggung jawab. Sita jaminan ini dimasukkan dalam materi gugatan.
Ia pun meminta agar KLHK memiliki kemampuan tracing aset yang kuat. Ini agar barang yang menjadi “sita jaminan” tersebut tidak sedang dikenai hak tanggungan. Selain itu, hak “sita jaminan” dinilainya tak bisa berupa izin hak guna usaha atau lahan konsesi perusahaan. “Area izin HGU atau konsesi kehutanan itu kan milik negara juga, jangan sampai menjadi obyek sita jaminan karena rugi dong menyita milik negara sendiri,” ungkapnya.
Syahrul pun mendorong agar KLHK memanfaatkan Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
Regulasi ini harus dimanfaatkan untuk menelisik dan menelusuri serta mensita jaminan-kan aset perusahaan yang berelasi atau perusahaan lain yang mendapatkan keuntungan dari perusahaan tersebut (beneficial ownership). Ini bisa dilakukan KLHK dengan bekerjasama PPATK.
Pemanfaatan beneficial ownership itu bertujuan membuka ruang potensi bayar perusahaan bila gugatan ganti rugi dan paksaan pemulihan lingkungan melebihi aset perusahaan itu saja. “Kerugian lingkungan sangat tinggi dan membutuhkan biaya pemulihan yang sangat besar, jangan sampai putusan-putusan perdata hanya macan ompong tapi benar-benar bisa dieksekusi,” ujarnya.