JAKARTA, KOMPAS – Dukungan publik terhadap Presiden Joko Widodo untuk segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu Komisi Pemberantasan Korupsi menguat. Tren tingkat kepuasan atas kinerja Presiden dan tingkat kepercayaan masyarakat yang masih bagus merupakan modal untuk tidak ragu menjawab kehendak rakyat sesuai dengan konteks demokrasi.
Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan dalam acara rilis survei LSI "Perppu KPK dan Gerakan Mahasiswa di Mata Publik", di Jakarta, Minggu (6/10/2019). Hadir sebagai penanggap, peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris.
Dari hasil survei yang dilakukan LSI pada 4-5 Oktober 2019 terhadap 1.010 orang secara stratified random samplingdi 34 provinsi dan toleransi kesalahan sekitar 3,2 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen, terungkap sebanyak 76,3 persen responden yang mengetahui tentang revisi UU KPK setuju Presiden mengeluarkan Perppu KPK. Ini sekaligus menjawab sebanyak 70,3 persen responden yang menilai revisi UU KPK cenderung melemahkan KPK dalam memberantas korupsi.
“Perppu harusnya menjadi jalan keluar. Presiden punya modal yang cukup baik dari tingkat kepercayaan untuk melakukannya. Dukungan publik itu masih ada. Jadi, tidak perlu ragu. Demonstrasi yang muncul dari mahasiswa itu juga bentuk mereka berharap ada sesuatu dari Presiden. Kalau tidak berharap, mereka tidak akan meminta kepada Presiden untuk berbuat sesuatu,” tutur Djayadi.
Demonstrasi yang terjadi pada 23-24 September 2019 disusul pada 30 September 2019 pun dinilai oleh 43,9 persen tak memiliki muatan politis untuk menggagalkan pelantikan Presiden. Ada pula 46,9 persen berpendapat ada dua kelompok berbeda yang melakukan aksi yakni demonstrasi mahasiswa dan demonstrasi kelompok anti Presiden. “Keduanya itu terpisah,” kata Djayadi.
Hal ini diperkuat dengan tren kepuasan kinerja Presiden pada Oktober 2019 yang masih berada pada angka 67 persen. Meski tetap masuk dalam kategori aman, tingkat kepuasan terhadap kinerja Presiden itu menurun dibandingkan pada Mei 2019 yang mencapai 71 persen. Angka tersebut sama dengan tingkat kepercayaan publik terhadap Presiden mengantongi, sedangkan tingkat kepercayaan terhadap KPK mencapai 72 persen. Sementara itu, angka untuk DPR hanya 40 persen.
“Atas dasar fakta ini, publik umumnya akan tetap mendukung Presiden jika nantinya menerbitkan Perppu. Apabila sebaliknya, Presiden bisa dianggap meninggalkan kehendak rakyat. Dalam negara demokrasi itu kan sikap pimpinan semestinya merupakan pencerminan kehendak rakyat. Terlebih lagi, melihat untuk isu ini jelas para elit di balik kebijakan ini,” kata Djayadi.
Ia menambahkan, posisi eksekutif di Indonesia secara kelembagaan juga sangat kuat sehingga tak perlu ada yang ditakutkan oleh Presiden jika mengambil jalan menerbitkan Perppu. Salah satu contoh penerbitan perppu dalam kondisi serupa, pernah dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadap Undang-Undang Pilkada yang disepakati mayoritas anggota DPR lalu segera ditandatangani dan langsung dibatalkannya sendiri.
Syamsuddin juga menyampaikan, Presiden tak perlu khawatir dengan pernyataan dari para elit, terutama terkait menciderai kewibawaan pemerintah hingga isu kemungkinan pemakzulan. “Ini bukan hanya salah paham, tapi sudah paham yang salah. Yang mengatakan itu tidak membaca konstitusi kita. Proses impeachmenttidak mudah dan harus ada pelanggaran hukum dan penilaian ada di MK,” ujar Syamsuddin.
Penerbitan Perppu yang dipandangnya sebagai solusi juga dapat bervariasi bentuknya. Pertama, Perppu bisa dikeluarkan untuk membatalkan keseluruhan undang-undang. Kedua, Perppu yang isinya menunda pelaksanaan atau implementasi UU diikuti dengan perbaikan substansi yang tidak berdampak buruk pada kinerja KPK. Terakhir, Perppu yang menolak sebagian isi dari regulasi baru itu.
Waktu keluarnya Perppu, lanjut Syamsuddin, dapat dilakukan setelah 17 Oktober 2019 jika tak kunjung ditandatangani. Sebab sesuai aturan undang-undang, jika Presiden tak kunjung menandatangani untuk mengundangkan maka dalam waktu 30 hari UU KPK itu langsung berlaku.
“Sekarang kalau memang setelah 17 Oktober, apakah sebelum atau setelah pelantikan? Waktu paling pas adalah setelah pelantikan, legitimasinya lebih kuat,” ujar Syamsuddin.
Pada Jumat (4/10/2019), para tokoh yang bertemu dengan Presiden pada 26 September 2019 juga menguatkan niat Presiden agar tak lagi ragu terbitkan Perppu. Salah satunya adalah mantan Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim yang menyampaikan agar perjuangan bangsa dalam melawan korupsi terus dilanjutkan dan diperkuat.