Pada awal tahun 1970-an Indonesia membutuhkan banyak cengkeh, terutama untuk pabrik rokok. Sebagai gambaran, 340 pabrik rokok di Jawa Tengah yang memproduksi sekitar 150 miliar batang rokok per tahun membutuhkan sekitar 11.500 ton cengkeh pada tahun 1970. Padahal, produksi cengkeh Jawa Tengah saat itu hanya sekitar 3.000 ton yang merupakan produksi dari sekitar 1,5 juta pohon.
Kekurangannya sekitar 8.500 ton terpaksa didatangkan dari daerah lain, termasuk Sulawesi dan Maluku. Namun, jumlahnya tidak memadai sehingga pabrik rokok terpaksa mengimpor cengkeh dari Zanzibar.
Terbukanya peluang perdagangan cengkeh mendorong masyarakat menanam cengkeh. Pemerintah daerah, seperti Jawa Tengah, juga membagikan sekitar 2 juta bibit cengkeh kepada masyarakat, terutama di Sragen, Karanganyar, Wonogiri, Klaten, Salatiga, dan Kudus. Namun, tentu saja butuh waktu 10-15 tahun pohon itu untuk bisa panen.
Sadar perdagangan komoditas ini mendatangkan keuntungan besar, mulai 1 Januari 1991 pemerintah mengatur tata niaga cengkeh nasional melalui Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC). Petani wajib menjual cengkeh hasil perkebunannya kepada BPPC.
Perdagangan cengkeh antarpulau atau antardaerah harus disertai dengan surat izin pengangkutan antarpulau cengkeh (SIPAP-C) dan surat keterangan asal cengkeh (SKA-C) dengan terlebih dahulu membayar sumbangan Rp 500 per kilogram cengkeh kepada BPPC.
BPPC yang memonopoli perdagangan cengkeh menimbulkan kemarahan petani karena petani tidak bisa lagi leluasa menjual cengkeh. Jika melanggar, ditangkap. Harga cengkeh juga ditetapkan sangat rendah sehingga petani tidak antusias merawat dan memanen cengkeh.
Bahkan banyak petani yang sengaja menebang pohon cengkehnya karena kesal harga cengkeh merosot dari Rp 15.000 per kilogram menjadi sekitar Rp 1.200 per kilogram. BPPC yang kontroversial, seiring dengan reformasi di negeri ini, kemudian dibubarkan pada awal 1998. (THY)