Mitigasi untuk Melepas Duka
Kamis (26/9/2019) pagi, jalanan Kota Ambon, Maluku, mendadak riuh. Penyebabnya, gempa bermagnitudo 6,5 yang terjadi pukul 08.46 WIT. Orang-orang berlari sekuat tenaga. Mereka menjauhi pesisir, berebut menuju dataran tinggi. Namun, lebih dari sekadar kuat berlari, hidup di tanah rawan bencana, warga butuh langkah terencana.
”Air nae... air Nae... air Nae.” teriakan itu dengan cepat menguasai langit Ambon, Kamis pagi. Istilah untuk tsunami dalam bahasa setempat itu seperti menggambarkan dentang lonceng kepanikan warga.
Banyak warga berlari menerobos jalanan ramai. Raungan gas sepeda motor juga terdengar kencang menandakan hati pengemudi yang cemas. Akibatnya, lalu lintas kota pun jadi tak karuan. Kemacetan terjadi di sana-sini. Bahkan di sebagian besar titik, banyak kendaraan tak bergerak. Ujian tak hanya itu. Lolos dari padatnya jalan raya, warga terus berlari lewat lorong dan gang sempit sambil mencari celah menuju ketinggian.
Terjebak dalam hiruk pikuk itu, Kompas berusaha menenangkan hati warga yang resah. Mengutip data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, gempa itu tak berpotensi tsunami. Namun, semuanya tak dihiraukan.
Guncangan sekitar lima detik itu begitu traumatis. Banyak warga teringat kejadian gempa dan tsunami yang melanda Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, hingga Selat Sunda. ”Katong seng mau mati tempo. (Kami tidak mau meninggal lebih cepat). Ayo lari,” ujar Boim (25), pedagang Pasar Mardika.
Pasar di pusat kota itu berdiri di tepi Teluk Ambon. Pertemuan Kompas dengan Boim itu terjadi sekitar 500 meter dari pasar. Boim mengatakan, setelah digoyang gempa, ia berlari menuju dataran tinggi di Karang Panjang. Dia bahkan mengerahkan semua kekuatan fisiknya untuk tiba di Karang Panjang lebih dulu ketimbang warga lainnya.
Selain ke Karang Panjang, warga juga berlari menuju dataran tinggi lainnya, seperti Gunung Nona, Galunggung, dan Kayu Putih. Tak keliru, daerah itu jadi pilihan utama. Ketinggian tiga titik itu lebih dari 30 meter di atas permukaan laut. Jarak dari pesisir pantai berkisar 1-2 kilometer.
Akan tetapi, semuanya tetap tak mudah bagi beberapa kalangan. Sekitar 30 menit setelah gempa, masih banyak yang belum mencapai ketinggian. Mereka kebanyakan warga lanjut usia.
Kondisi itu bukan kabar baik menuju proses mitigasi bencana yang ideal. Dalam simulasi gempa dan tsunami, BMKG mengingatkan, jika guncangan terasa lebih dari 20 detik, masyarakat diminta segera meninggalkan pesisir. Alasannya, gempa berpotensi memicu tsunami. Oleh karena itu, warga diminta lebih cepat menjauh sebelum tsunami yang melaju hingga 700 kilometer per jam itu menyentuh pesisir.
Beruntung, tidak ada tsunami hari itu. Entah berapa korban jiwa yang muncul jika tsunami menghantam Ambon yang kini kian padat. Kawasan itu berjejer di pesisir sepanjang 6 kilometer. Lebar dari pantai ke kaki bukit pun kurang dari 1 kilometer.
Di dalamnya, permukiman penduduk tumbuh berjejalan bersama kantor pemerintahan, sekolah, pusat perbelanjaan, bank, kantor media massa, markas TNI/Polri, dan pasar tradisional. Pada saat jam sibuk seperti ketika gempa terjadi, sekitar 200.000 jiwa beraktivitas di sana.
Berharap kecepatan tsunami berkurang, saat ini tak mudah. Mangrove di Teluk Ambon tak bisa diandalkan lagi. Data Pusat Penelitian Laut Dalam di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menyebutkan luas mangrove Teluk Ambon semakin menipis.
Jika tahun 1986 luas mangrove masih tercatat 49,5 hektar, pada 2018 luasnya menyusut hingga kurang dari 30 hektar. Hutan mangrove di pesisir Ambon sebagian besar telah berubah menjadi permukiman dan infrastruktur lainnya.
”Praktis Kota Ambon tak punya tameng alam yang kuat lagi menghadapi bencana. Padahal, mangrove yang tumbuh rapat dapat meredam kecepatan dan energi tsunami secara signifikan. Jadi, sekarang ini, satu-satunya cara adalah berlari secepatnya,” kata Daniel Pelasula, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang lebih dari 20 tahun meneliti mangrove di Ambon.
Semua fakta itu seperti meninggalkan ironi. Jadi kota dengan jejak gempa dan tsunami yang panjang, tidak mudah bagi warga Ambon menemukan tanda penunjuk jalur evakuasi ataupun tempat berkumpul. Gempa masih menimbulkan ketakutan.
Jejak panjang itu pernah ditulis Georg Eberhard Rumphius dalam ”De Levensbeschrijving van Rumphius” yang dialihbahasakan oleh Frans Rijoly. Rumphius menulis, gempa besar diikuti tsunami pernah terjadi di Ambon pada 17 Februari 1674. Naturalis Jerman itu mencatat lebih kurang 2.300 orang meninggal, termasuk istri dan anaknya.
Rawan gempa
Meski tak sebanyak peristiwa 345 tahun lalu, korban jiwa akibat bencana kali ini masih muncul. Gempa yang juga terasa dan menggucang Kabupaten Maluku Tengah dan Kabupaten Seram Bagian Barat itu tetap meninggalkan duka yang mendalam.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 37 orang meninggal, 75 orang luka berat, dan 74 orang lainnya luka ringan. Warga yang mengungsi pernah mencapai 115.290 orang. Di Maluku, jumlah korban meninggal akibat gempa itu adalah yang terbanyak sepanjang Indonesia merdeka.
Kepala Seksi Data dan Informasi BMKG Stasiun Geofisika Ambon Andi Azhar Rusdin mengatakan, gempa yang berpusat di darat Pulau Seram itu disebabkan pergerakan Sesar Kairatu. Di Maluku terdapat banyak sesar lokal aktif. Itulah sebabnya, Maluku sering dilanda gempa. Jumlah kejadian gempa lebih dari 1.000 kali dalam satu tahun.
Pada tahun 2016 tercatat 1.222 kejadian, 1.392 kejadian (2017), dan 1.587 kejadian (2018). Sepanjang Januari hingga September 2019 telah terjadi 2.367 gempa. Di daerah yang sering terjadi gempa, menurut Andi, tidak tertutup kemungkinan juga terjadi tsunami. Dari rekaman sekitar 250 kali tsunami di Indonesia, 50 kejadian di antaranya terjadi di Kepulauan Maluku.
Dari total 1.231 desa/kelurahan di Provinsi Maluku, 862 daerah di antaranya atau 71 persen berisiko dilanda tsunami. Di daerah rawan itu berdiam sekitar 1,6 juta jiwa penduduk. Masyarakat sebenarnya semakin peka dan sadar akan bahaya tsunami. Mereka secepatnya berlari menuju ketinggian tanpa menunggu aba-aba.
Akan tetapi, semuanya tidak cukup. Selain menyelamatkan diri saat gempa dan tsunami, masyarakat dan pemerintah daerah wajib melakukan mitigasi mandiri lainnya. Salah satunya terbiasa membangun rumah tahan gempa. Dalam kasus gempa Ambon, banyak rumah roboh. Data BNPB menyebutkan, rumah rusak berat akibat gempa mencapai 1.979 unit dan rumah rusak ringan 3.474 unit.
Hal itu terlihat di Desa Liang, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah. Rumah milik Umar Rehalat (40), misalnya, berukuran 12 meter x 8 meter, hanya ditopang besi pada empat sudut. Untuk mengeratkan tembok, pada setiap tiga meter dipasang paku sebagai pengaitnya.
Rumah ”bakancing”
Dampaknya mengkhawatirkan. Saat gempa datang, rumah itu tak kuasa menyambutnya, ambruk. Istri serta anak Umar terperangkap di rumah runtuh. Setelah susah payah, mereka beruntung berhasil ke luar dengan cara merayap.
Umar mengatakan belajar banyak dari kejadian ini. Dia tidak ingin jadi korban atau kehilangan orang-orang tercinta. ”Ke depan kami akan membuat rumah berbahan papan saja agar bisa lebih aman kalau gempa datang,” katanya.
Kepala BNPB Doni Monardo mengatakan, masyarakat setempat sebenarnya punya modal kuat meminimalkan dampak gempa. Salah satunya lewat keberadaan rumah model bakancing. Rumah itu diyakini sebagai pertahanan masyarakat tempo dulu menghadapi guncangan gempa di Maluku.
Dinding rumah terbuat dari anyaman bambu yang dilapisi semen. Sebagian besar konstruksi rumah terbuat dari kayu. Doni mengatakan, konstruksi rumah semacam itu tidak lepas dari aturan yang dibuat pada zaman kolonialis Belanda.
Menurut dokumen yang diperoleh BNPB, salah satunya dari surat kabar di Belanda, Algemeen Handelsblad, pada 16 April 1938, Pemerintah Hindia Belanda tidak mengizinkan berdirinya bangunan batu besar di Ambon. Tinggi bata rumah yang diizinkan tidak boleh lebih dari satu meter.
”Ke depan, ini bisa menjadi panduan untuk membangun bangunan meminimalkan gempa,” kata Doni. Di tengah potensi dampak bencana yang semakin tinggi, tidak bijaksana hanya mengandalkan kecepatan berlari. Masyarakat di daerah rawan bencana butuh pengetahuan yang lebih terencana agar semuanya berakhir bahagia.