Pelestarian Satwa dari Selembar Tenun Sumba
Keindahan Sumba, Nusa Tenggara Timur, tak hanya tergambar pada luasnya padang savana. Tenunnya pun menyimpan sejuta cerita. Dari jalinan benangnya terekam kearifan lokal yang menyiratkan pesan lestari kekayaan alam Sumba.
Mama Karini Hara (52) membentangkan kain tenunnya. Kain berukuran 2 meter x 4 meter itu bergambar kakaktua jambul jingga (Cacatua sulphurea citrinocirstata). Warnanya merah menyala berpadu dengan oranye dan biru tua. Corak dan warna kain itu mengundang mata memandangnya. Selain indah, motifnya pun tergolong rumit.
”Saya menenunnya sejak enam bulan lalu. Motif kakaktua menjadi motif turun-temurun. Motif ini diajarkan ibu, nenek, dan pendahulu kami,” tutur Mama Karini dalam festival kain Sumba di Waingapu, Sumba Timur, Juli lalu.
Kakaktua dalam kain itu digambarkan hinggap di ranting berhias bunga berkelopak empat dan delapan. Garis-garis dengan motif kotak turut menghias kain. Warna cerah mendominasi seperti cerminan warna jingga pada jambul kakaktua.
Mama Karini merekam betul wujud kakaktua Sumba. Menurut dia, kakaktua sering dijumpai di ladang semasa ia kanak-kanak. Burung itu biasa datang bergerombol dan memakan jagung di ladang. Bagi masyarakat Sumba, kakaktua jambul jingga menjadi lambang kebersamaan dan musyawarah.
”Kakaktua itu hidup berkelompok dan nuri hidup berkawan. Sama dengan kita, manusia tak bisa hidup sendiri. Harus berkelompok dan bersama-sama,” kata Mama Karini.
Kakaktua mengingatkan masyarakat pada kebijakan bermusyawarah, hukum tertinggi dalam adat Sumba. Tetua adat Kampung Billa, Sumba Timur, Katanga Pei Pekuai (70), mengatakan, setiap kali ada persoalan, musyawarah antartetualah yang diutamakan. Hasil musyawarah akan ditaati warga. Pengaruhnya lebih kuat ketimbang aturan atau hukum negara.
Manutata atau ayam hutan juga menjadi motif yang paling sering ditemukan dalam lembaran kain tenun Sumba. Di antara motif fauna, manutata adalah motif yang paling banyak dipakai. Manutata bisa digambarkan sedang berjalan, menunduk sambil mematuk tanah, atau melebarkan sayapnya.
Manutata bagi para penenun dianggap istimewa karena mengandung makna yang tinggi dalam agama Marapu, agama asli masyarakat Sumba. Manutata menggambarkan sosok yang tinggi yang mengayomi kehidupan sekitarnya. Manutata seolah seperti pembimbing, kokoknya mengingatkan pagi, dan setiap bagiannya memberi arti ekonomi dan religi.
Dalam setiap upacara adat, hati ayam digunakan sebagai sarana untuk melihat masa depan. Gambar dan patung ayam juga menghiasi makam-makam pemimpin Marapu. Hal itu menggambarkan betapa pentingnya manutata dalam kehidupan orang Sumba.
Julang juga menghiasi wajah tenun Sumba. Julang sumba (Rhyciteros everetti) dikenal sebagai ”nggokaria” dalam bahasa Sumba. Nggokaria adalah lambang petani hutan. Ia terbang sambil menyebarkan biji agar tumbuh tanaman baru dalam hutan. Dalam kisah rakyat Sumba, julang merupakan penjelmaan dari Raja Ndelu atau Maramba Ndelu. Ia berhasil naik ke langit tingkat delapan.
Namun, ia meninggal dan hidup kembali sebagai julang yang pulang membawa biji jagung untuk kemakmuran rakyatnya. Kisah julang itu turut diabadikan dalam selembar tenun. Julang ditenun dengan warna kuning pucat dengan sayap biru tua dengan paruh berwarna merah. Motifnya mengingatkan rakyat Sumba tentang Sang Raja yang mengayomi rakyatnya.
Penenun Sumba membuatnya dengan penuh ketekunan dan sepenuh jiwa. Mereka memulainya dengan memilin benang, mengikat kain, mencelup, menyimpan kain hingga meresap, dan menenun sesuai dengan motif yang direncanakan. Dari kain itu, ribuan penenun Sumba menggantungkan hidup dari hasil karya mereka.
Kunci budaya
Selembar kain tenun Sumba tak hanya memberi nilai ekonomi. Lebih dari itu, kain bermotif satwa juga menjadi pengikat batin warga dengan alam sekitarnya. Setidaknya, ada 35 burung yang menjadi motif kain tenun Sumba. Sumba merupakan bagian kawasan Wallacea yang punya keragaman fauna cukup tinggi, termasuk kakaktua.
Kakaktua menjadi pengingat akan pentingnya burung itu dalam semesta Sumba. Jauh sebelum ditetapkan sebagai satwa dilindungi, kakaktua menjadi burung yang dilarang untuk diburu di Sumba. Larangan itu ada dalam adat Sumba.
Salah satu pesannya adalah ambu kutu dunja mata da kaka, lakandoaka, ambu hambulunja nggoru da buti lunggu ana. Artinya, janganlah menggendong burung kakaktua dalam sarangnya dan jangan iri pada seekor monyet yang sedang menggendong anaknya. Penghormatan pada satwa itu berpengaruh pada habitat mereka.
Di hutan Billa yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi Manggaweti (Matalawa), tempat kakaktua jambul jingga dan julang sumba banyak terlihat, warga sangat menghormati hutan. Di kawasan ini, setiap kali warga hendak menebang satu pohon di hutan, mereka harus meminta izin adat. Musyawarah pun digelar untuk memberi keputusan.
”Warga Sumba terbiasa patuh pada adat. Mereka percaya siapa pun yang melanggar akan kena hukum alam. Bisa terkena musibah, bahkan meninggal seketika,” kata Yeremias Halakudu (45), warga Billa, Sumba Timur.
Kearifan lokal itulah yang menjadikan alam Sumba selaras hingga saat ini. Maman Surahman, Kepala Balai TN Matalawa, mengatakan, kearifan lokal punya peran penting dalam upaya konservasi. Dengan adanya satwa sebagai kunci budaya, upaya konservasi bisa terjembatani. ”Ada keselarasan di dalamnya,” katanya.
Sumba dengan budaya tenunnya mencipta keseimbangan lingkungan. Sekali hutan berkurang atau hilang, keberadaan flora dan fauna pun terancam. Jika itu terjadi, berbagai satwa hanya bisa dilihat lewat jalinan tenun semata. (ARIS PRASETYO/LUKI AULIA)