JAKARTA, KOMPAS - Tindak pidana pemilu yang terjadi di sejumlah daerah menjadi catatan khusus penyelenggaraan Pemilu serentak 2019. Rendahnya vonis hukuman menyisakan kekhawatiran bakal terus berulangnya praktik tersebut di masa penyelenggaraan pemilu berikutnya.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi bertajuk “Penegakan Hukum Pidana Pemilu, Dinamia, dan Masalahnya,” pada Senin (7/10/2019) di Jakarta. Diskusi tersebut diselenggarakan menyusul hasil riset putusan pengadilan terkait pidana pemilu yang dilakukan lembaga kajian hukum dan peradilan Indonesia Legal Roundtable (ILR).
Dalam paparannya, Komisioner Komisi Yudisial (KY) Sukma Violetta mengatakan bahwa pihaknya melakukan 244 pemantauan terkait perkara Pemilu 2019. Dari jumlah tersebut, 200 di antaranya merupakan permohonan persidangan dari masyarakat dan sisanya merupakan inisiatif KY.
Berdasarkan persidangan diketahui bahwa 22 perkara pidana terbukti bersalah dan dikenai sanksi. Sementara dua gugatan lain, masing-masing perkara tata usaha negara dan perkara perdata, ditolak.
Dari jumlah perkara pidana pemilu yang terbukti salah dan dijatuhi sanksi, sebelas perkara diketahui hanya diberikan sanksi pidana percobaan. Sanksi pidana dengan hukuman di bawah 1 tahun ada tujuh perkara dan selebihnya divonis bebas.
Sukma mengatakan, banyak sanksi yang sifatnya hukuman percobaan cenderung tidak memberikan efek jera apapun bagi pelaku. Ia menambahkan, hukuman paling banyak yang diberikan adalah selama tiga bulan dan atau bebas. “(Dianggap) Business as usual, (padahal) praktik tercela,” sebut Sukma.
Selain itu, dalam pantauan KY diketahui pula bahwa pengadilan tidak memiliki manajemen tersendiri dalam menangani pidana pemilu. Hal ini merupakan perilaku yang tidak menganggap bahwa proses pemilu merupakan perkara penting untuk kelanjutan demokrasi.
Sukma mengatakan, seharusnya kasus-kasus pidana pemilu ditangani secara lebih tegas. Hal ini menyusul praktik politik uang yang terkait pidana pemilu tersebut, selain penggunaan fasilitas negara saat kampanye serta kampanye di tempat ibadah maupun pendidikan yang menjadi jenis pidana pemilu dimaksud.
Politik Uang
Direktur Eksekutif ILR Firmansyah Arifin pada kesempatan yang sama mengatakan bahwa pada Pemilu serentakk 2019 terdapat 320 kasus pidana pemilu yang terbukti dan divonis bersalah di tingkat pengadilan negeri dan tinggi. Jumlah itu berasal dari 348 kasus pidana pemilu yang sudah divonis di 160 pengadilan negeri dan 28 pengadilan tinggi.
Jenis pelanggaran pemilu didominasi praktik politik uang. Temuan ILR menunjukkan ada 72 kasus politik uang dalam Pemilu serentak 2019 yang diadili di pengadilan. Jenis pelanggaran kedua terbesar adalah memanipulasi perolehan suara, dengan 56 kasus.
“Jenis pelanggaran Pemilu 2019 paling banyak adalah politik uang. Ini bukan rumor, ada 72 kasus politik uang (yang sudah divonis pengadilan),” sebut Firmansyah.
Ia menambahkan, jika dibandingkan dengan Pemilu 2014, jumlah pidana pemilu pada tahun 2019 meningkat 58,3 persen. Sebagian besar kasus terkait dengan pemilu legislatif dan hanya 13 kasus terakit dengan pilpres.
Untuk itulah, tambah Firmansyah, diperlukan penguatan perspektif dan komitmen penegak hukum untuk memberikan efek jera kepada pelaku pidana pemilu. Selain itu membangun kesepahaman hakim dalam melihat aturan tidnak pidana pemilu dan hukum acara peradilan pemilu. Selain itu mendorong transparansi pelanggaran pidana pemilu di pengadilan, KPU, dan Bawaslu. Firmansyah juga menilai pentingnya menyiapkan dan meningkatkan integritas penegak hukum dan penyelenggara pemilu serta merumuskan kembali ketentuan-ketentuan pidana pemilu secara konsisten dan sistematis.
Sementara menurut Bagja, penegakan hukum pidana pemilu dalam Gakkumdu (Sentra Penegakan Hukum Terpadu) antara Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan memiliki sejumlah problem. Terutama terkait dengan isu regulasi dan sumber daya manusia (SDM) serta akses.
Pada sisi regulasi misalnya, belum diaturnya mekanisme penerusan laporan dari Bawaslu kepada kepolisian yang terkaiit satu laporan dengan dua peristiwa pidana. Laporan ini dimana ada satu peristiwa dinyatakan lengkap dan satu peristiwa belum lengkap.
Pada sisi SDM dan akses, terdapat perbedaan persepsi dalam menafsirkan unsur pidana pemilu di Sentra Gakkumdu. Selain itu kendala pembahasan Gakkumdu dimana kepolisian dan kejaksaan induk lokasinya jauh dari kabupaten/kota wilayah pemekaran.
Adapun menurut Titi, saat ini penting mendorong evaluasi pasal-pasal tindak pidana . Ia menyebutkan tidak semua tindakan harus dipidanakan. “Evaluasi pasal pemidanaan dan kedepankan sanksi administratif,” ujar Titi.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.