JAKARTA, KOMPAS - Sosok Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam kabinet yang akan ditunjuk Presiden dan Wakil Presiden terpilih RI Joko Widodo dan Ma’ruf Amin diharapkan dari kalangan profesional. Sosok itu pun diharapkan tidak hanya paham politik legislasi, tetapi juga memiliki loyalitas tunggal kepada Presiden.
Hal itu disebabkan posisi Menkumham akan menjadi sorotan publik dan menempati posisi krusial terkait sejumlah rancangan undang-undang (RUU) yang akan dilanjutkan pembahasannya oleh DPR bersama pemerintah setelah belum lama ini ditunda.
Sebagaimana diketahui, setelah rangkaian aksi mahasiswa dan desakan publik, sejumlah RUU ditunda pengesahannya dan akan dibahas DPR mendatang. RUU tersebut antara lain Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), RUU Mineral dan Batubara, RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan, dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Bahkan, revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang disetujui DPR dan pemerintah, hingga kini masih ditolak publik. Untuk itu, Presiden Joko Widodo mempertimbangkan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
Jalan sendiri
Pengajar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STH) Jentera, Bivitri Susanti, akhir pekan lalu, di Jakarta, mengatakan, munculnya protes dan keberatan publik dalam unjuk rasa mahasiswa menunjukkan suara publik yang tidak terwakilkan dalam sejumlah UU produk pemerintah dan DPR. Supaya hal serupa tak terulang, pos menteri yang menangani legislasi harus diisi profesional, bukan politisi.
”Selama ini, publik menangkap kesan apa yang menjadi sikap dan kebijakan presiden soal politik legislasi tak tergambarkan dalam undang-undang. Contohnya pada Undang-Undang KPK dan KUHP, yang cenderung menunjukkan menteri terkait seolah jalan sendiri,” kata Bivitri.
Penguasaan politik legislasi dan loyalitas tunggal sebagai pembantu presiden, tambah Bivitri, lebih mudah dipenuhi oleh mereka yang berasal dari kalangan profesional. Alasannya, kader parpol juga memiliki kepentingan dan loyalitas kepada pimpinan parpol. Kekuatan mengolah dan memahami politik legislasi juga penting karena lingkup tugas kementerian sangat luas, mulai dari penanganan sistem peradilan pidana terpadu hingga HAM.
Hal senada diungkapkan Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara. Ia menuturkan, posisi Menkumham lebih tepat diisi sosok dari kelompok profesional. Namun, dia harus mau mendengarkan masukan dan terbuka. ”Menkumham harus punya visi, ke mana hukum kita akan dibawa di masa depan,” katanya.
Guru Besar Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Erwan Agus Purwanto, menambahkan, Presiden Jokowi semestinya memilih pembantu yang bisa memenuhi janji kampanye.
”Tahun depan, fokusnya pembangunan SDM. Untuk bisa mewujudkan itu, reformasi birokrasi harus dijalankan. Karena janji harus dipenuhi, pembantu yang dipilih harus profesional dan punya kompetensi,” tuturnya.
Pengajar Fakultas Hukum UGM Zainal Arifin Mochtar menyatakan, selain berintegritas, rekam jejak calon menteri harus tidak tercela dan punya kapabilitas di bidang hukum.
Sebelumnya, Menkumhan dijabat Yasonna H Laoly, yang tercatat sebagai kader PDI-P. Terkait dengan sejumlah RUU yang ditolak publik, Yasonna pernah menyatakan, undang-undang yang dibuat pemerintah bersama DPR tidak mungkin memuaskan seluruh rakyat.